Byurrr....
Tep, racikan air berwarna kecoklatan rasa debu, pembersih lantai dan jejak sepatu sedikit tertelan dalam mulut. Meludah otomatis, melotot tak percaya, pelajaran belum di mulai dan Aluna harus basah kuyup. Menelisik siapa penyebab kesialan pagi ini, setelah tahu Aluna ingin melayangkan bogem mentah namun tertahan karena orang itu lebih dulu menghampirinya dengan drama belas kasih.
"Astagfirullah, Aluna maaf aku kira tak ada orang." Eva mengelap tubuh Aluna yang kena siram serampangan dengan serbet di tangan.
"Hachim....Hachim." Seketika bersin-bersin, Aluna mulai curiga dengan lap yang digunakan Eva.
Mencegah tangan Eva yang aktif membersihkan sana sini. "Udah gak usah di lap, gak guna."
"Ya Allah Aluna maaf ya, aduh gimana dong ini, lagian kenapa sih lewat gak bilang?" Meski salah Eva tetap mencari pembenaran.
Aluna ingin menangis saja rasanya, kenapa harus di hari Senin, dia pakai baju putih abu-abu, sangat merepotkan mencucinya nanti. "Eva kau bisa pel kembali lantai ini, aku harus ke toilet."
"Yasudah, maaf ya aku tak bisa menemani." Timpal Eva dengan raut cemas.
Aluna melepas jilbab dan seragamnya, mengambil air bersih guna membasuh wajahnya yang terasa kotor. melihat jilbab abu-abunya tak begitu basah, beralih ke baju yang sepertinya tak bisa di selamatkan. Mengambil jaket yang sengaja disimpannya dalam tas. Melepas kaos dalam yang turut basah, Aluna membalut dirinya dengan jaket tersebut. Mengenakan jilbab secara asal karena tak ada cermin, lalu merapikan semuanya terburu karena bel sudah berbunyi.
"Arghhh sial." Masalah apalagi kali ini, pintu kamar mandi tak bisa dibuka.
"Halo, apa ada orang di luar?" Monolog Aluna tanpa sahutan.
"Duagh....duaghhhh....duaghhh." Aluna menggedor pintu kamar mandi dari dalam.
"Hah, terpaksa harus panggil bantuan." Jemari Aluna sibuk mengetik pesan yang akan dikirimkannya pada Tina.
Menunggu beberapa menit tak ada balasan, Aluna menghubungi Tina, kali ini Aluna menelponnya. "Berdering, lantas kenapa tak di angkat."
Menepuk jidat sendiri cukup santar. "Aih, pasti upacara."
Pupus sudah harapan Aluna untuk segera keluar dari kamar mandi. Menikmati keterjebakkan itu dengan memasang headset di telinga, lantas mendengarkan lagu metalik kegemarannya. Harus bersabar sampai upacara selesai, barulah dia bisa keluar. Harapan besar, mengingat lepas upacara murid pasti berbondong ke WC untuk sekedar buang air kecil atau bermalas-malasan dengan pura-pura cuci tangan dan lain sebagainya.
Tanpa sadar airmatanya merembes, Aluna begitu terpukul dengan kejadian merugikan ini. Dirinya baru saja ingin memulai sesuatu yang baik, namun jalan yang di tempuhnya begitu sulit. Upaya maksimal untuk bisa ikut upacara, namun harus gagal karena insiden tak terduga. Belum lagi guru BK yang sudah mewanti-wanti agar ikut upacara kali ini, dikarenakan sudah empat kali mangkir dari upacara.
"Kenapa begitu sial, kenapa juga harus hari Senin semuanya terjadi." Monolog Aluna.
"Kenapa harus terjadi saat aku ingin memperbaiki diri, dan kenapa tak ada yang mengerti semua begitu sulit untukku." Aluna semakin terpuruk.
Menarik nafas cukup dalam, Aluna segera menghapus jejak airmata, lantas menguatkan diri dengan tersenyum. "Kenapa harus curhat di WC, dikira setan sini aku curhat dengan mereka kan gawat."
Sibuk dengan ponselnya, tiba-tiba Aluna dikejutkan dengan lampu toilet yang tiba-tiba padam. "Aduh, jangan bilang setannya ngambek nih."
Menyalakan senter ponsel, dia harus bersandar dalam kesendirian. Kakinya mulai pegal, tak mungkin juga dia jongkok seolah akan buang air besar di atas kloset. "Kenapa lama sekali selesainya."
"Ah, sudah satu jam, harusnya upacara selesai empat puluh menit saja." Gerutu Aluna.
"Pegel juga lama-lama." Memutuskan untuk duduk di tepian lantai yang tak basah.
Memeluk lutut yang ditekuk, Aluna menenggelamkan kepalanya diantara lutut itu. Hari ini bukan kali pertama dia dikecewakan keadaan. Meski terbiasa, rasanya tak adil saja. Sungguh jika diberi pilihan, Aluna memilih untuk tidur di kasurnya daripada berangkat sekolah. Namun kewajiban sebagai seorang pelajar membuatnya bertekad untuk sekolah meski tak optimal mengikuti pelajaran karena kantuk melanda. Naas, bukannya tidur di kelas Aluna harus rela tidur di dalam toilet dalam keadaan gelap. Ya, Aluna tertidur karena terlalu lama menunggu pertolongan.
Brakkkkk
Aluna terperanjat, nyaris terkena pintu yang di dobrak paksa dari luar. "Kau...."
Bondan menarik Aluna keluar dari kamar mandi. "Kenapa tak berteriak dan cari pertolongan, kenapa kau begitu bodoh?"
Aluna meringis, karena genggam jemari Bondan begitu sakit. "Ketiduran."
"Bisa kau tidur dalam kondisi seperti itu hah?" Teriak Bondan.
"Kenapa memarahi ku, memangnya aku sengaja mengunci diri di toilet, inginnya juga aku keluar daritadi. Ngomong-ngomong, tolong lepaskan tanganku, sakit." Sungut Aluna.
Tersadar kalau dirinya nyaris melukai Aluna. "Maaf, ayo pulang."
"Kau saja yang pulang, aku masih harus sekolah." Tolak Aluna.
"Tolong perhatikan sekitar, semua sudah pulang tersisa kau di kamar mandi." Pekik Bondan.
Aluna mengikuti saran Bondan, dan benar saja tak ada sepotong orangpun. "Hah, serius? Berapa lama aku tidur?"
"Kau latihan mati, bukannya tidur." Bondan menyentil kening Aluna.
"Aduh, sakit tahu." Mengusap bekas sentilan Bondan.
"Aku antar pulang!" Putus Bondan.
"Eits, tak mau. Aku mau naik angkot saja." Aluna tak ingin menambah masalah jika pulang diantar Bondan.
"Cerewet." Bondan menarik paksa Aluna.
"Eh....eh...eh, tunggu dulu." Sekuat tenaga Aluna melawan tarikan Bondan.
"Apalagi?" Kesal Bondan.
"Pintunya gimana?" Aluna menunjuk ke arah pintu kamar mandi yang copot berkat tendangan Bondan.
Bondan tak habis pikir dengan jalan pikiran Aluna, saat seperti ini masih sempat memikirkan pintu yang mengunci dirinya. "Brukkkk, bughh, brukkk...pintu sialan."
"Yak, kenapa semakin di rusak sih." Pusing Aluna, maksud hati agar diperbaiki sedikit malah semakin rusak.
Menghiraukan Aluna, Bondan terus menggandeng Aluna ke parkiran. Sesak dan padat, bahkan sulit untuk dilewati adalah gambaran parkiran sekolah. Namun detik ini, semua melompong, terlihat luar dan sedikit seram. Aluna tersenyum miris, sambil memandangi tangannya yang digandeng Bondan. Tangan lelaki yang kerap menolongnya dalam segala situasi. Terus menyatakan cinta, selalu ditolaknya namun tak berhenti ada untuk Aluna. Miris sekali bukan, harusnya Aluna bisa dengan leluasa membalas cinta Bondan. Tapi sulit, karena Tina lebih dulu menyukainya.
"Naik!" Pinta Bondan.
Aluna berpikir keras, bagaimana dia bisa menaiki motor ninja dengan rok span panjang. "Hehehe, susah."
"Harusnya aku bawa mobil tadi, yasudah ayo kita naik jasa online mobil saja." Ucap Bondan seringan bulu.
"Motormu?" Kadang pikiran orang kaya sulit dimengerti.
"Tinggal saja, sudahlah jangan memikirkan benda mati, kau lebih penting." Ujar Bondan, tak tahu saja dia Aluna berdebar.
"Emmm, sebaiknya kita naik motor mu saja." Tawar Aluna.
Berpikir sejenak, Bondan merogoh tasnya dan mengeluarkan celana olahraga. "Pakai ini!"
Mengambil dengan gesit celana pemberian Bondan, Aluna berlari ke arah kamar mandi untuk ganti. Tak tinggal diam, Bondan mengikuti Aluna. Bondan takut kejadian buruk menimpa Aluna dua kali. Sudah teramat sering hatinya sakit karena Aluna bernasib buruk. Keburukan yang berasal dari taman sekelasnya. Bukan berarti selama ini Bondan diam saja, namun lawannya wanita sulit menang melawan jelmaan ular.
Aluna keluar sedikit tak percaya diri. "Lihat, kedombrongan."
"Hahahah, kau seperti marmut saja." Gemas dengan Aluna, Bondan tak kuasa untuk tak mengusak kepala gadis pujaannya itu.
Tangan Aluna melingkar di perut berotot Bondan, dia lelah dan perjalanan masih cukup jauh. Kepalanya jatuh di pundak Bondan, Aluna sudah ijin lebih dulu melakukan itu. Aluna mana tahu kalau Bondan terasa melayang ke nirwana saat ini. Setengah perjalanan hujan deras mengguyur, Bondan menghentikan motornya di depan sebuah warung.
"Kau kedinginan?" Mata menelisik Aluna yang mengigil.
"Kita trabas saja boleh? Aku rindu kasur ku."
Berdebat tentu saja dilakukan untuk mencapai titik sepakat melanjutkan perjalanan. Selain kedinginan, sejatinya perut Aluna merasa perih, kelaparan. Bagaimana tidak kelaparan jika dia berangkat tanpa menyentuh sarapan, dan pulang pukul lima sore ditambah guyuran hujan. Memang benar dia tak melakukan aktivitas dan hanya terkurung di kamar mandi, tapi bukan berarti bernafas tak perlu energi. Aluna rasa energinya terkuras karena tidur tidak dalam posisi yang tepat.
"Astagfirullah, Aluna kenapa hujan-hujanan nak?" Mawar tergopoh melihat anaknya berdiri di depan pintu utama.
"Assalamualaikum, aku pulang Bu....
Brughhhh
"Astagfirullah!" Jerit Mawar, melihat anaknya tiba-tiba ambruk. Aluna pingsan.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
💫0m@~ga0eL🔱
emang bisa y, mati latihan dulu 🤭
2024-10-02
2
𝓪𝓼𝓪𝓷 ⋆࿐ [𝐡𝐢𝐚𝐭]
teman emang sering gitu, sering ngerjain teman pura² gak sengaja, hedehhh bikin emosi liatnya/Facepalm/
2024-05-14
1
ᴳ𝐑᭄🍁Yunit𝐀⃝🥀❣️𖤍ᴹᴿˢ᭄
hadeuh bukannya membantu membersihkan baju Aluna malah pergi
2024-05-14
1