"Aku mau bicara!" Bondan menyeret tangan Aluna ke dalam kelas.
"Aku harus pulang." Aluna malas berurusan dengan Bondan meski ia suka.
"Nanti ku antar." Semakin erat genggaman itu, hingga Aluna mengintil tanpa berontak.
Bondan selalu begini, kumat dengan kebiasaan bicara saat pulang sekolah. Menunggu sepi, menyisakan anak-anak dengan sebidang ekstrakurikuler yang berseliweran. Menjadikan mereka bahan gosip satu sekolahan. Aluna kebal meski harus menghadapi kebisuan dari teman sebangkunya nanti.
"Bisa-bisanya kau sama sekali tak menjengukku?" Protes Bondan saat masuk entah kelas kosong dekat parkiran yang Aluna kurang sadar saat masuk.
"Maaf aku tak bisa." Aluna tertimpa banyak masalah tiga hari belakangan ini.
"Kau tega, padahal Tina selalu menempel padaku di rumah sakit. Empet sekali rasanya, mungkin aku jadi lama sembuh karena dia terus-terusan berada di dekatku." Keluh Bondan.
"Hah, Tina?" Aluna mangap tak percaya.
"Hmm, katanya dia mengajakmu tapi kau tak mau lebih memilih kerja daripada menjengukku walau lima menit saja." Adu Bondan.
"Dan kau percaya?" Runyam sekali pertemanan Tina dengannya.
"TIDAK! Jangan menganggap aku bodoh. Wanita ular macam Tina mana bisa dipercaya. Kesal saja jika kau benar-benar tak perduli padaku, sedang aku selalu memikirkan dirimu." Timpal Bondan sedikit menaikkan nada bicaranya.
"Bondan maaf, bisakah kau antarkan aku pulang sekarang?" Isi kepala Aluna seperti mau pecah.
Kenapa keburukan yang menimpa dirinya selalu berkaitan dengan Tina. Seolah semua masalah muncul karena provokator darinya. Aluna mencoba memikirkan kemungkinan pikiran Tina saat melakukan itu. Rasanya Tina tak mungkin menebar kebencian atas dirinya dihadapan orang lain. Tina sahabatnya, Tina selalu membela Aluna dalam susah. Langkahnya paling depan setelah Bondan saat ada penindas merundung dirinya.
Tiba di rumah Aluna lekas berganti pakaian, kepalanya mumet. Dia bahkan mengusir Bondan, menghindari fitnah karena di rumahnya hanya dia seorang. Jika dulu dia urakan, tak perduli pulang jam berapa dan dengan laki-laki mana. Kini saat mengenakan hijab semuanya berangsur rubah. Perilaku dan cara pandang, serta setiap tindakan yang dia ambil dipikirkan baik-baik dan matang, meski usianya masih amat muda. Aluna benar-benar meninggalkan dunia gelapnya menuju terang benderang walau halau melintang menerjang setiap langkah.
"Loh tumben ganti baju?" Mawar mengamati anaknya yang mengenakan baju kaos lengan panjang dan celana santai, tak lupa jilbab menghiasi kepalanya.
"Tadi pulang dulu, diantar Bondan." Timpal Aluna.
"Sekarang mana Bondan, suruh mampir biar ibu sajikan makanan." Mara celingukan.
"Aku kesini naik angkot, Bondan baru sembuh jadi ku suruh cepat-cepat pulang." Terang Aluna tak sepenuhnya bohong.
"Yang benar, bukan kau usir kan?" Curiga Mawar.
Aluna geleng kepala. "Tiga hari dia absen karena demam virus."
"Kok bisa, kenapa baru bilang? Harusnya kita menjenguk Bondan." Tutur Mawar syok.
"Orangnya sudah sembuh Bu, tak perlu di jenguk lagi." Aluna mulai mengambil gelas dan piring kotor yang harus dia cuci.
"Kau ini jangan beberes dulu, ibu belum selesai bicara." Mawar mencegah tangan Aluna mengambil gelas di dekat ia berdiri.
"Hm, ibu mau bicara apa?" Tahukah ibunya saat ini Aluna tak minat mengobrol dengan siapapun.
"Bondan itu terlalu baik Aluna, jangan kau samakan dia dengan teman laki-laki SMP mu yang urakan, yang kerjaannya hanya mengajakmu tawuran sana sini, menindas adik kelas, dan bolos jamaah." Tutur Mawar.
Mawar mengambil nafas sejenak, lantas melanjutkan argumennya. "Bondan bahkan rela mencari mu keliling sekolah saat ibu kelabakan mencari mu yang ternyata dikunci dalam kamar mandi. Mengantarmu hujan-hujanan, berujung kena demam virus."
Aluna tak mencela sedikitpun, apa yang dikatakan ibunya benar, hingga membuat mulutnya bungkam. Biar mulut ibunya yang bergerak. "Besok, kau harus bawa titipan ibu untuk anak tampan kesayangan ibu."
Bosan mendengar ocehan ibunya perkara Bondan yang tak usai sedari satu jam lalu kedatangannya, Aluna memilih keliling pasar. Kakinya menelusuri lorong pasar yang ramai, hingga matanya melihat tindak kecurangan seorang pelanggan. Saat pemiliknya toko lengah, barang dagangannya raib. Aluna abai, namun hari nuraninya menjerit.
"Cantik-cantik kok maling." Senggol Aluna pada gadis berpenampilan mewah yang entah mengantongi berapa banyak barang curiannya.
Wanita berparas cantik itu menengok. "Gak usah ikut campur!"
Meski lirih suara wanita itu kental akan nada ancaman. Aluna melihat ke kaca di sebrang mereka, rupanya wanita ini tak sendiri, dua laki-laki di sebelah kiri mereka adalah komplotan. Melirik cepat, oke Aluna paham ada senjata di balik saku jaket sang pria. Memperhatikan sekitar cukup ramai, penjaga toko juga banyak pria, di pojok ada penjaga pasar yang sedang keliling.
Sengaja menyapa penjaga pasar yang keliling dengan bahasa daerah, berharap orang itu tak paham. "Bade kamana wa?"
"Atuh keliling dong neng, biasalah gawe." Sahutnya ramah.
Basa-basi tanya kabar, selanjutnya Aluna berlagak menyalimi orang penuh tato itu. "Wa aya copet, Tah awewe geulis, jeng dua lalaki, mawa peso."
"Njirr, nu balek."
Sigap petugas kemanan langsung mendekati kedua pria bersenjata, menendangnya hingga tersungkur, pria satunya hendak kabur langsung diamankan penjaga toko karena paham situasi. Wanita cantik itu hendak pergi, Aluna dengan sengaja menaruh kaki melintang. Jatuhlah wanita itu, dari tas yang dibawanya menggelinding beberapa cincin berlian yang dirampasnya.
"Yakkkk, anak kecil pembawa sial!" Pekik wanita itu yang jatuh tengkurap.
Hendak berdiri, Aluna mencegah dengan duduk diatas wanita tersebut. "Aku enteng kok, cuma empat puluh satu kilo kalau belum naik."
"Awas kau, tunggu pembalasanku!" Siapa namamu hah?" Wanita itu berontak.
Aluna bukan gadis hebat, dia hanya punya pengalaman lebih dalam kelahi, dia tak akan kalah meski melawan orang yang usianya beberapa tahun lebih tua di bandingnya. "Diam sedikit bisa tidak, kau membuat duduk ku jadi tak nyaman."
Perkara penangkapan maling dadakan beres. Semua berjalan begitu cepat, senjata yang sempat ditodongkan pada penjaga pasar berhasil di tangkis dengan tongkat pengamanan yang dibawanya. Pemilik toko perhiasan juga sigap menelpon polisi untuk mengamankan tersangka. Untung tata kota cukup apik, meletakkan setiap pos polisi di setiap titik pasar. Tak perlu menunggu lama, tiga orang tersangka di gelandang ke kantor polisi terdekat.
"Aluna, kau ini kumat kembali dengan bertindak sok jago." Ledek paman pemilik toko yang dikenalnya.
"Ah basi sekali ucapan terimakasih paman, aku tahu aku memang jago." Kikik Aluna.
"Makasih ya Aluna, lain kali kau harus memberi tahu terlebih dahulu orang dewasa, meski kau punya keberanian kau masih terhitung bocah ingusan." Orang itu mendekati Aluna, dan mengelus kepala Aluna cemas.
"Iya sama-sama, masa cuma terimakasih saja, minimal angkat aku jadi mantu lah paman." Canda Aluna lantas kabur dengan larian secepat kilat miliknya.
"Dasar gadis satu itu, tahu saja aku punya anak lelaki seumuran dirinya." gumam pemilik toko.
Sementara di tempat makan milik ibunya, Mawar celingukan mencari Aluna. Pamit beli jus Tante Lala di di dekat parkiran kenapa tak kunjung kembali. Mawar takut anaknya itu kumat. Kumat kabur diam-diam tanpa pamit.
"Disitu kau rupanya, ibu pikir kau kumat lagi." Tegur Mawar saat melihat anaknya duduk dekat warung lengkap dengan jus alpukat di tangan.
Aluna menoleh ke arah ibunya. "Kumat apasih Bu, perasaan Aluna selalu salah dimata ibu."
Mawar gelagapan, tak sangka anaknya akan membalas perkataannya, biasanya Aluna diam saja meski dikatai. "Maaf bukan begitu maksud ibu. Ibu kira kau pulang tanpa pamit seperti kebiasaan saat SMP."
"Wajar aku kabur-kaburan untuk main Bu, usiaku memang harus banyak bermain bukan dituntut membantu perekonomian keluarga sedang anak satunya diberi perlakuan khusus." Aluna tak iri, tapi perbedaan itu semakin hari semakin kental rasanya.
"Aluna kita sudah sering bahas ini, maaf ibu melibatkan mu. Kalau Aluna tak suka Aluna boleh sesekali main, biar ibu sendiri yang menjadi kedai." Mawar ingin Aluna membantu, tapi dia juga sadar yang dikatakan anaknya itu benar.
"Sudahlah Bu tak usah di bahas, malas jadi tontonan orang-orang." Aluna tahu dari sepenggal kata bisa menimbulkan perkara besar seperti yang sudah-sudah.
Ibunya selalu sensitif jika Aluna membahas Tina. Sepertinya Aluna memang anak pungut. Dan Aluna mulai memutar ulang ingatan bagaimana dirinya disia-siakan padahal ia selalu anak pertama dituntut jadi dewasa di usia belia. Kumat dengan pikiran iri hati yang membuatnya melamun di lorong pasar dekat kedai. Hingga nampak melas dan ada orang lewat memberinya uang.
"Ibu, ini uangnya jatuh." Aluna mengejar orang yang menjatuhkan uang di dekat dirinya duduk.
"Ambil saja nak, ibu tahu kau sedang sulit jadi pakailah dengan bijak." Timpal ibu-ibu yang kesukaran dengan segenap barang belanjaannya.
Astagfirullah, apa ibu ini pikir Aluna sedang mengemis. "Ah sepertinya ini tahu sekali saya butuh uang jajan, kalau begitu biar saya antar Bu."
Aluna mengambil beberapa barang bawaan ibu itu. "Ya Allah, apa kau bisa membawanya?"
"Aku Aluna Bu, kecil-kecil begini kuat seperti Samson." Balas Aluna lantas meminta sang ibu menuntun jalannya ke tujuan si ibu.
Sampai di mobil kepunyaan si ibu. "Makasih ya nak, semoga kau jadi anak sukses di kemudian hari.
"Saya yang terimakasih Bu, hati-hati di jalan Bu."
Aluna mengantongi uang seratus ribu ditangan. Kegirangan, sebab keberuntungan berpihak padanya hari ini. "Apa aku buka jasa kuli panggul saja ya?"
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Kavirajasena
Itu yang menjadi beban pikiran Aluna, rasa iri hatinya seharusnya disingkarkan agar tidak membawa pemikiran negatif
2024-05-14
1
❤️⃟Wᵃf🍾⃝ᴛͩʀᷞɪͧsᷠʜͣᴀ
teman rasa predator ini mah.. pura" baik didepan nusuk dibelakang, jauhi ajh tmn keknya gini.. 🙄
2024-05-14
1
💙 Ɯιʅԃα 🦅™ 📴
Biarpun udah tobat tapi Aluna hebat bisa kumat lagi buat nolong orang😂
2024-05-13
1