Era moderenisasi menguasai bumi, semua hal baik barang atau jasa ada nilainya sendiri. Sentralisasi keuangan tak menyebar dengan adil, hingga kadang mengharuskan usia yang belum pantas turut memperjuangkan harga diri. Bertaruh pada peruntungan, memperkaya diri guna masa depan menanti. Tak begitu miskin, tapi tak juga kaya, hidup seadanya dan tak menutup kemungkinan akan kekurangan suatu hari nanti. Memutuskan tetap memeras keringat, agar hidup lebih mandiri.
"Suwittt....swittt...Cie juara kelas, nengok dikit dong." Goda Hanung melihat Aluna lewat dengan nampan di tangan.
"Aku tak ada waktu meladeni mu paman, sedang kerja." Aluna labas tanpa mampir.
"Yehh, sombong amat tuh bocah. Kintilin ah." Hanung kurang kerjaan, membuntuti Aluna dari belakang.
Meski sedang ramai Aluna tak pernah mengabaikan Hanung, jadilah cs tidak seumuran itu uring-uringan tidak disapa seperti biasanya. Usut punya usut berkat penyelidikan dadakan Hanung, diketahui Aluna bekerja di rumah makan Padang yang ada di tengah pasar. Hanung menyerngit, langsung menemui Aluna yang sibuk mondar-mandir dalam rumah makan.
"Bos harta benda tumben mampir?" Joko pemilik rumah makan menyapa Hanung.
"Biasa pak Joko sedang ingin makan masakan khas keluarga pak Joko yang mantap." Alibi Hanung.
"Monggo masuk pak, mau di bungkus seperti biasa atau makan disini pak?" Karena biasanya Hanung hanya pesan via pesan antar.
"Makan disini untuk dua orang ya." Pinta Hanung ramah.
"Ayo pak duduk di bangku dekat kipas, biar pas makan lebih nikmat." Saran Joko.
"Eh, tapi boleh tidak aku makan dengan Aluna, aku janji mentraktirnya kalau pintar sekolah." Hanung sedikit berbohong.
"Oh, boleh-boleh, duduk dulu pak nanti tak suruh ke depan Aluna nya." Timpal Joko lantas menyuruh pelayan servis dengan baik Hanung.
Hanung melihat Aluna sedikit melotot padanya. Mulut kecilnya meromet seperti tak terima diikuti sampai tempat kerja. Aluna tahu Hanung akan tanya panjang lebar seperti kebiasaan mereka bertukar pikiran. Tapi Aluna sedang ngambek besar dengan Hanung. Bisa-bisanya Hanung mempekerjakan anak magang lain selain dirinya padahal setiap liburan jatah Aluna meraup rupiah di toko perhiasan Hanung.
"Aku tak minta hidangan mata melotot Aluna, cepat duduk ada yang ingin aku bahas." Hanung menarik kursi di sampingnya.
Aluna manut saja. "Aih kita sedang perang dingin paman, jangan merayu ku dengan nasi Padang tak akan mempan."
"Sejak kapan kita perang dingin?" Hanung tercengang, ternyata ada hal yang tak ia tahu telah menyinggung Aluna.
"Ish apalah, paman kan tahu aku pekerja tetap disana kalau liburan. Kemarin waktu mau daftar kenapa sudah ada pekerja baru, kan aku jadi tidak punya jatah." Bibir manyun Aluna menandakan kekecewaan.
"Karyawan baru, siap.... Ohh, yaelah Aluna makanya tak usah segala ngambek, kau ini belum apa-apa sok tahu sih, itu anakku bukan karyawan." Jelas Hanung.
Aluna yang salah paham jadi garuk kepala meski tak gatal. "Yang benar?"
"Iya, lagipula mau seratus karyawan kalau kau yang melamar tetap aku prioritaskan, seperti tak tahu saja istriku penggemar mu nomer satu." Tukas Hanung, mengingat kedekatan sang istri dengan aluna.
"Ah, Tante dekat denganku karena suka sekali menjadikan ku ladang uji cobanya, terakhir aku nyaris gundul samai ujung kaki karena dia beli penghilang bulu." Ceriwis Aluna.
"Hahahhahah, tapi dia tak pernah sedekat itu dengan karyawan toko, kau berarti kesukaannya." Timpal Hanung.
"Kesukaan darimana paman, ya jelas tak dekat dengan karyawan toko, emang kapan istirahat karyawan paman, ada saja pelanggan dan tolong digaris bawahi Tante suka singut sama karyawannya yang leha-leha jadi dikira galak sama karyawannya." Adu Aluna.
"Ya begitulah, kau akan tahu rasanya jadi Tante mu setelah punya toko sendiri." Hanung menjaga reputasi istrinya yang kadang memang seperti macan beranak.
"Yasudah ayo makan, aku traktir katanya kau juara dua di kelas." Hanung dengar dari ibu-ibu pengantar sayur keliling.
"Iya, ah tapi tak seru bisa-bisanya aku dituduh curang, wali kelas ku sampai datang ke rumah saat sekolah libur karena desakan para wali murid." Aluna mulai mengambilkan nasi untuk piring Hanung.
"Hah, serius?" Tangan Hanung menerima uluran piring berisi nasi dari Aluna.
"Begitulah." Aluna malas menceritakan hal yang membuat dirinya terlihat sepele dimata orang.
"Aih sirik mungkin, pindah sekolah saja mau tidak?" Tawar Hanung.
"Jangan paman, aku sedang merencanakan pemberontakan dan pembuktian, enak saja di anggap remeh, dikira aku tak berjuang untuk di posisi dua." Semangat menggebu menguasai Aluna.
"Aku suka semangat mu, teruskan. Tapi nanti dulu lah bicara semangatnya, sekarang waktunya makan, ah aku pesan jeruk hangat." Hanung berkata sembari kunyah makanan.
"Oke."
Mereka makan dalam diam, berlanjut bicara ngalor ngidul. Sampai pindah tempat karena takut mengganggu kenyamanan pelanggan lainnya. Tambah orang karena Hanung mengundang Joko. Memperebutkan Aluna untuk jadi karyawan di tempat masing-masing. Tak tahu saja Aluna malas meladeni istri keduanya yang cerewet dan ada saja maunya kalau dengan Aluna. Aluna selalu jadi bahan percobaan, kalau bisa memilih Aluna ingin kerja di toko baju saja. Tapi rupiah yang di perolehannya tak sebanyak jika bekerja di tempat Joko atau Hanung.
"Loh anak ibu kenapa lesu begitu?" Mawar yang bersiap menutup kedai di hampiri Aluna.
Menghela nafas dalam. "Hahhhh, aku lelah Bu."
"Tuhkan, ibu bilang juga apa, kerja tempat ibu saja nanti ibu bayar dilebihkan tak seperti biasanya, ini malah kerja tempat orang." Mawar sudah melarang tapi Aluna bandel.
Aluna pikir untuk apa digaji kerja dengan orangtuanya sendiri. Aluna butuh dana dari orang lain. Uang yang benar-benar bisa disisihkannya tanpa merasa ragu dan cemas kalau sewaktu-waktu ibunya butuh uang mendadak. Lagipula ibunya sudah ada yang membantu, Aluna tak tega mengambil uang pemberian ibunya yang harus membayar tenaga bude-bude juga.
"Cari pengalaman loh Bu, Aluna lelah sekali cuci piring se-Indonesia raya." Keluh Aluna.
"Hahahaha, berlebihan sekali." Mawar mencubit gemas hidung mungil Aluna.
"Nanti ibu pijit sampai rumah ya." Tawar Mawar menghibur hati sang anak.
"Kebalik, kenapa jadi ibu yang berbakti kepada anak?" Pandangan Aluna horor ke arah Mawar.
Menaiki angkutan umum, turun dengan menjinjing perkakas kewajiban kedai. Menyeret kaki di tengah tubuh yang letih, perjalanan masuk gang yang berjarak dua puluh meter terasa berkilo-kilo bagi Aluna. Hari ini pekerjaannya menumpuk dua kali lipat. Kebanyakan mengobrol dengan Hanung dan Joko, perihal masa depan tak tahu di dapur rumah makan cucian piring seabrek. Niat di bantu karyawan lain, Aluna menolak tegas, karena dari situlah dia dapat uang. Jika melibatkan orang lain, rasanya dia mengais tenaga orang lain untuk gaji yang diterimanya.
Meluruskan kaki usai mandi, kini Aluna berada di atas ranjang. Ingin hati selonjoran sembari berbaring, namun rambut basah terbuntal handuk jadi penghalang. Ibunya melarang keras, habis keramas rebahan. Memilih membaca buku kita sukses seratus hari, Aluna menimbang langkah apa yang harus diambilnya setelah ini.
"Beuh, yang mau kaya raya diusia dua puluh, gak kasih kendor pokoknya ya kak." Karin menyelinap masuk.
Aluna mengerutkan dahi, seingatnya dia sudah mengunci pintu sebelum gangguan datang. "Masuk lewat mana?"
"Jendela kakak kan belum aku kunci, hehehe." Karin ngenyir kuda.
"Dasar modus." Jengah Aluna, karena adiknya akan bersikap manja padahal Aluna sendiri butuh di manja.
"Kak, bantu aku boleh?" Lihat, dia mulai merayu dengan nada lembut di telinga.
"Tidak!" Tolak Aluna segera mungkin.
"Ish, kakak kan belum dengar aku minta tolong apa. Harusnya tanya dulu dong." Dumal Karin, menghempaskan tubuh di samping Aluna.
"Apasih? Lagian kenapa harus minta tolong padaku, aku sedang letih tak ingin di ganggu." Aluna yang sekarang jauh lebih berani mengutarakan suasana diri.
"Ish kalau tidak kakak ya tidak bisa." Karin mesam-mesem seperti sedang kesemsem.
Perhatian Aluna beralih ke adiknya yang tiba-tiba diam dan memandang langit-langit kamar Aluna dengan senyum-senyum sendiri. "Apa?"
"Kak, emmm.... gimana ngomongnya ya. Sebenarnya....kak, ih gimana dong ini. Akutuh...emm gak jadi deh." Karin membalik badan, menenggelamkan separuh muka di bantal.
Aluna keheranan, menggelitik perut Karin sampai terbahak tak terkendali. "Hahahha....akhh.....hahah...hahah...ampun!"
"Hah... kak,,....tol...ong." Perut Karin nyaris kram karena tawa yang tercipta paksa.
"Jangan tiba-tiba tak jadi begitu, kau membuatku penasaran. Tingkah mu itu seperti orang yang sedang jatuh cinta saja." Ucap Aluna setelah pengalaman mengahadapi masa pubertas Tina.
"Aku suka Bondan." Karin berucap cepat hingga Aluna tak bisa menangkap jelas ucapannya.
"Hah, apa?" Berharap adiknya mau mengulang ucapnya.
"Tau ah, males ngomong sama kakak." Tiba-tiba ngambek dan turun dari ranjang.
"Eh, kau itu kerasukan atau bagaimana, tiba-tiba ngambek, ayo katakan mau apa?" Todong Aluna.
"Tidak JADI KAKAK MENYEBABKAN!" Karin ngibrit, kali ini lewat pintu.
Brakkkk!!!!!!!
Aluna mengelus dada, kaget dengan tingkah adik bungsunya itu. "Ada-ada saja tingkahnya, untung dia tak liat uang di balik bantal yang aku selipkan."
"Sudah was-was di tilep beli eskrim padahal." Aluna bergidik ngeri.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
🍒⃞⃟•§¢•🎀CantikaSaviraᴳᴿ🐅
ayo buktikan sama gurumu Aluna kalau kamu pintar
2024-03-17
1
🍒⃞⃟•§¢•🎀CantikaSaviraᴳᴿ🐅
kok ada yg guru yg percaya sama kemampuan muridnya
2024-03-17
1
🟡ᴳᴿ🐅⍣⃝ꉣꉣ𝕬ⁿᶦᵗᵃ🤎𓄂ˢᵐᴾ࿐
Nah loh kan firasat ku benar klo Karin suka Bondan
Aluna gk dengar lg perkataan karin klo dia suka Bondan
Bondan suka Aluna, pasti salah satu kk beradik harus mengalah karena cinta 😩
2024-02-07
4