Genap satu semester Aluna berkecimpung memutar orak di dunia pendidikan. Tak sekali dua kali absen karena telat bangun, atau jatuh sakit. Semuanya dipertaruhkan seminggu ke depan. Aluna harus mengulang semua mata pelajaran yang dilalui, melampaui kompetensi atau tidaknya di nilai dari hasil ulangan yang akan diadakan. Tata tertib sekolah mengharuskan kelas silang saat ujian. Kebetulan macam apa, yang mengharuskan dirinya satu kelas dengan Niki. Meski tak sebangku, tapi Niki duduk tepat di belakangnya. Tatapan menusuk Niki menjadikan suasana tak nyaman bagi Aluna.
"Kau sudah selesai?" Dimas kakak tingkat yang duduk di sebelahnya sampai terheran karena Aluna hendak mengumpulkan lembar kerja.
"Sudah kak, aku duluan ya." Aluna sopan pada rekan sebangkunya selama beberapa hari ke depan.
"Koreksi lagi, jangan gegabah ini kelas bahasa arab loh. Pak Abdul biasanya amat mengecoh, dia tak memberi celah meski di pilihan ganda saja." Bisik Dimas.
"Kepalaku rasanya mau meledak lama-lama disini kak, doakan saja aku beruntung." Aluna tersenyum cantik lantas meninggalkan ruang ujian.
Rutinitas berulang beberapa hari, Aluna mengerjakan soal ujian dengan tergesa. Selesai paling cepat di semua mata pelajaran. Cemooh di dapat dari teman sekelas dan juga kakak kelas karena di tuding menganggu konsentrasi dan fokus mereka pada soal. Tak tahu saja mereka, Aluna lebih tertekan karena terkadang kursinya di tendang asal oleh Niki, belum lagi tatapan tajam yang terhunus ke arahnya membuat Aluna jauh tak konsentrasi di banding yang lain.
"Hari terakhir nih, jangan buru-buru, nikmati setiap soalnya." Tegur Dimas.
"Yaelah kak, soal ujian geh di nikmati." Celetuk Aluna.
"Siapa tahu dengan menjalin hubungan baik antara kau dan soal ujian, memudahkan kau untuk menyelesaikannya." Timpal Dimas sembari membagikan lembar soal ke kursi belakang.
"Hahaha ada-ada saja pemikiran mu kak." Aluna cukup dekat dengan Dimas karena orangnya hangat dan ramah.
Satu mata pelajaran dihargai dengan empat puluh menit proses pengerjaan. Normalnya begitu, tapi Aluna nekat menyelesaikan di menit-menit dua puluhan. Keluar, dan kabur ke tempat yang ia suka setelahnya. Beberapa hari ini dia tak bertemu Tina atau Bondan. Karena di jam pertama usai ujian Aluna berburu baca di perpustakaan, sedang Tina dan Bondan berburu contekan. Jangan salah, ada edaran gelap dari teman sekelas, menjual foto kopian catatan yang di perkecil entah sampai ukuran berapa. Waktu pulang, Aluna selalu lebih dulu, jadilah sulit bagi mereka bersua.
"Akhirnya aku menemukan mu." Bondan duduk di dekat Aluna yang sedang menenggak sebotol air mineral.
"Seperti judul lagu." Sahut Aluna yang kini meremas bekal botol mineral.
"Sulit sekali bertemu denganmu, padahal kita hanya dibatasi satu tembok pembatas ruang ujian berada beda pulau." Gerutu Bondan.
"Seru sekali ya ujian, rasanya kepalaku benar-benar terpakai kali ini, jika di anime mungkin kepalaku sudah keluar asap tiap harinya." Keluh Aluna, karena merubah tabiat mencontek jadi berjuang dengan belajar giat.
"Sudah ku bilang datang padaku nanti ku beri jimat, kau malah datang telat keluar duluan kau membuat Wahyu kelimpungan, dikira kau mahir tahunya kau melempar dadu peruntungan mu." Bondan menyenderkan kepalanya di bahu Aluna.
"Hiyakkk, jangan letoy, sembrono sekali naruh kepala." Aluna berdiri dari duduknya.
"Nempel dikit doang, biasanya kau peluk-peluk aku dari belakang kalau di bonceng saja aku tak protes, dasar perhitungan." Oceh Bondan.
Reflek Aluna membekap mulut ember Bondan. "Yakk, jaga bicaramu orang lain bisa salah paham."
"Emmm.....emmmmm..mmmm." Oceh Bondan tak jelas.
"Ish kenapa menjilat tanganku sih, iyuh jadi ada liur mu, hoekkkk." Aluna sudah tahu air liur masih saja dicium aromanya.
"Mau kemana?" Bondan ditinggal Aluna yang lari terbirit.
Membuntuti Aluna, membawakan tasnya yang tertinggal, Bondan cekikikan penuh kemenangan. Tak masalah hari ini dia menyelesaikan soal terburu toh kalau masalah penjas dia ahlinya, tak perlu ragu KKM di libas olehnya. Tujuannya hanya satu, dia ingin pulang bareng Aluna melepas rindu. Lama sekali dia tak bertemu, jadi ada yang kurang.
"Kenapa mengikuti sampai kamar mandi?" Aluna melongo melihat Bondan ngintip di sela-sela pintu.
"Apasih, kau tidak bugil ini, kenapa harus teriak-teriak." Mulut Bondan licin.
"Astagfirullah, kau ini semakin hari semakin bengal saja ku rasa." Frustasi Aluna dengan semua tingkah Bondan.
"Dih di kamar mandi jangan bawa-bawa Allah, dosa tau." Nasehat Bondan, meski tak suka tapi ada benarnya.
Bondan ganti motor karena Aluna sering mengeluh dan enggan naik motornya. Jadilah dia ganti motor matic mempermudah pergerakan Aluna. Bukannya pujian justru murka yang di dapat Bondan.
"Motor siapa, ini belum ada platnya?" Aluna penasaran, kali ini motor siapa yang di pinjam Bondan untuk mengantarnya pulang.
"Kemarin minta papa belikan, dengan syarat nilai di atas rata-rata." Bondan memutar kunci di jari telunjuk.
"Kau ganti gaya?" Bondan terkenal dengan motor kerennya menyerupai pembalap.
"Semua demi kau." Timpal Bondan.
"Astagfirullah, jangan jadikan aku tumbal, enak saja demi aku, memangnya aku siapa, kenapa juga harus demi aku, kalau mau gombal jangan seperti itu dong, keterlaluan sekali, lagian ya....."
Ganti Bondan yang membekap mulut Aluna. "Cerewet."
Sampai rumah masih pagi, Aluna hari ini tak ke kedai dia dapat jatah mengurus ayahnya di rumah sakit. Genap enam bulan ayahnya koma dan belum ada tanda pemulihan diri. Tak ada kata menyerah, setiap sepertiga malam bermunajat atas kesembuhan sang ayah, sayang belum diijabah. Menyeret Bondan ke rumah sakit, jangan tuding Aluna memaksa, soalnya Bondan yang ingin ikut. Katanya itung-itung DP depan mertua.
"Halo paman aku Bondan teman Aluna, aku mendoakan untuk kesehatan paman, oh ya nanti kalau sudah siuman angkat aku jadi mantu idaman ya paman." Bisik Bondan tanpa sepengetahuan Aluna yang sibuk menata pengharum ruang dan bunga agar nuansa kamar menjadi hidup.
"Al, sepertinya ayahmu mulai merespon." Ungkap Bondan dengan leher patah-patah menengok ke arah Aluna.
Mendengar perkataan Bondan, Aluna langsung mendekat, mencari kebenaran ucapan itu. Benar saja, jari ayahnya bergerak. Aluna sesegera mungkin memencet tombol pemanggil perawat. Memencet berulang kali namun tak kunjung datang. Bondan lari ke luar kamar mencari perawat jaga, setelah ketemu langsung minta di tilik ke kamar pasien atas nama Ridwan, ayah Aluna.
"Alhamdulillah, nak Aluna nanti tolong telpon Bu Mawar untuk datang ke rumah sakit, sepertinya ada tanda-tanda vital dari organ dalam ayahmu yang memberi respon positif." Terang perawat.
"Alhamdulillah, jadi kapan ayah siuman sus?" Aluna tak sabar.
"Serahkan semua pada Allah, semua kuasanya, banyak-banyak berdoa ya sayang, kalau begitu saya tinggal dulu." Tutur perawat tersebut.
"Bondan, aku...aku tak sangka ayahku akan sembuh." Aluna tak kuasa menahan airmatanya.
Aluna yang duduk di samping ayahnya, dengan air mata berlinang tak luput dari pandangan Bondan. Merasa iba, Bondan memeluk Aluna. "Tenanglah, bukankah kau dengar sendiri ayahmu akan segera siuman. Masa sulit mu akan segera berkahir setelah beliau sadar."
Aluna tak menyahut, hanya mengangguk kecil di dalam pelukan Bondan. Selama ini meski enggan mengakui, Bondan satu-satunya orang yang ada disisinya dalam kondisi apapun. Dia tahu betul kekurangan keluarga Aluna, namun tak bertingkah layaknya super Hero yang menolong berlebihan, Bondan tampil lebih dekat dengan ketulusan. Aluna terpikat dengan semua ketulusan itu. Dimata Aluna Bondan istimewa.
"Jangan menangis terus, coba kau rangsang dengan kalimat dan sentuhan menyenangkan, siapa tahu semakin pesat perkembangannya." Pinta Bondan.
Menyeka airmata, Aluna mengambil tangan ayahnya yang disanding, mengecupnya dengan bulir airmata yang membasahi tangan sang ayah. "Yan, Aluna sudah pakai hijab, Aluna sudah bertarung dengan diri sendiri lebih dari dua bulan, Aluna berjuang tanpa ayah, ayah tahu Aluna sudah semester pertama, nanti Aluna kasih lihat, Aluna pasti juara satu seperti yang ayah harapkan."
Siapa sangka suara Aluna membangunkan saraf ayahnya. Ridwan turut menangis, Aluna menyeka airmata ayahnya. "Ayah, aku tahu ayah bisa melewati semuanya."
"Terimakasih, terimakasih sudah bertahan hidup sejauh ini yah. Aku, Karin dan ibu selalu menunggu ayah." Aluna memeluk ayahnya erat.
Mengecup dahi ayahnya. "Kita tak pernah seromantis ini, hahah lucu ya yah, kita dekat saat musibah melekat."
"Apapun itu, aku tak pernah menyesali takdir. Aku bersyukur semua menjadikan ku lebih dewasa dalam langkah, meski tak sempurna tapi aku sedang berusaha." Tutur Aluna tanpa henti
Kriettt...pintu ruangan di buka, Aluna menoleh, menyembul Karin disana. Aluna selalu menampilkan sosok jagoan di depan sang adik buru-buru menghapus jejak airmatanya yang membekas. "Kau datang?"
"Heheh iya." Karin kikuk, selama ini dia tak pernah melihat Aluna menangis, dalam benaknya apa ada hal tak beres dengan ayahnya, jadilah dia segera mendekati tubuh sang ayah.
"Kenapa kak?" Tanya Karin.
"Ayah ada perkembangan, tadi menggerakkan jari sekarang ayah ikut menangis saat aku bicara." Jelas Aluna.
"Benarkah?" Haru biru terjadi begitu saja, tanpa aba kedua kakak beradik itu berpelukan dan meraung sejadinya.
"Yakk, kalian ini kenapa? Tiba-tiba menangis saja." Bingung Bondan yang sedari tadi mengamati.
Tak ada sahutan justru tangisnya semakin menjadi membuat Bondan mengacak rambutnya semrawut. "Aku pusing kalau begini, jangan buat aku pingsan mendadak."
"Astagfirullah, sudah hentikan."
"Arghhh, lama-lama aku ikut menangis juga ini."
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
🍌 ᷢ ͩ𝐕⃝⃟🏴☠️Meiling❤️⃟Wᵃf
itu beda cerita Bondan kalau di bonceng mah hal yang lumrah kalau pegangan 🤣🤣
2024-05-13
1
🍒⃞⃟•§¢•🎀CantikaSaviraᴳᴿ🐅
semoga kedepannya kamu menjadi pribadi yg lebih baik aluna
2024-03-02
1
🍒⃞⃟•§¢•🎀CantikaSaviraᴳᴿ🐅
jadikan maza lalumu sebagai pelajaran aluna
2024-03-02
1