Pikiran menjelajah ke seantero bumi, mencoba mencari celah dimana dia berpijak nantinya. Raga terbaring dengan selang infus di tangan, dahi berkerut tak henti memikirkan perkataan Bondan tempo hari. perkataan yang sulit diterima meski kemungkinan benar adanya. Buruk sangka hal lumrah bagi manusia, apalagi Aluna masihlah bocah. Ego belum dikendalikan dan dikelola dengan baik. Salah menempatkan perkara bisa berakibat fatal di kemudian hari, dan Aluna tak ingin semua terjadi.
"Sayang, ibu tinggal ke pasar sebentar ya, Karin ibu bawa." Mawar mengelus tangan putrinya yang kuat kini sedang lemah.
"Iya Bu." Sahut Aluna lirih.
Mawar mencium kening anaknya. "Terimakasih karena sudah mengerti, ibu nggak lama. Ada pelanggan yang pesen dari tempo hari, nggak bisa dibatalkan begitu saja, maaf ya sayang."
Aluna tersenyum menanggapi itu. "Hmm."
"Cepat sehat kak, aku sekolah dulu ya." Karin mendekati Aluna, lantas memberi pelukan hangat.
"Sekolah yang pintar." Aluna mengusak gemas rambut adiknya.
"Yakkkkk! Berantakan tau." Bibir Karin manyun.
Mawar tersenyum melihat keduanya akur kembali setelah sempat perang dingin karena ayahnya jatuh sakit. "Yasudah ayo berangkat, nanti telat."
Orang sakit sensitivitas meningkat, ditinggal orangtua bekerja Aluna menangis di balik selimut. Tak sangka ibunya lebih memilih bekerja daripada menemaninya yang sekedar ke kamar mandi saja sempoyongan. Merasa dianaktirikan karena Karin lebih diutamakan sedari lahir. Mungkin salah, namun Aluna yang merasa demikian, menurutnya baik ayah maupun ibunya cenderung lebih perhatian pada Karin. Aluna pernah menanyakan hal tersebut, jawaban karena Karin itu lemah dan mudah sakit jadi harus ekstra penjagaan. Orangtuanya lupa, bahwa Aluna juga seorang anak, meski lebih tua Aluna butuh perhatian juga.
"Hahaha, lucu sekali hidupku, tak dimana tempat selalu merasa sepi." Monolog Aluna di balik selimut.
Tangisnya tak terbendung, menyibak selimut karena pasokan oksigen menipis. "Bisa-bisanya aku berharap lebih, padahal sudah tahu pasti ujungnya seperti ini."
"Tahu begitu aku berangkat sekolah saja." Setidaknya di sekolah dia dikelilingi banyak manusia.
Aluna memegangi perutnya yang kram dan melilit. "Nasib baik, datangnya kenapa harus hari ini."
"Bagaimana ini?" Panik Aluna, karena saat meraba celana bagian pantat, ada bau amis disana.
"Arghhhhhh bagaimana aku bisa pakai pembalut dengan tangan satu." Pekik Aluna.
Tertatih namun pasti, Aluna memperbaiki posisi tubuh. Jika tadi sibuk berbaring dan merenungi nasib, kali ini dia berdiri, bersandar pada dinding dekat infus. Ibarat sinetron, mungkin dia sudah lepas selang infus itu dan kabur ke luar negeri lantas kembali saat sukses. Tapi ini bukan tentang perfilman, ini hidupnya yang takut pada jarum suntik. Nekad mencabut paksa infus di tangan, lantas keluar cari pembalut sangat mustahil.
DOrrr.....DOrrr.....dor.....
Aluna menengok ngeri ke jendela kamarnya yang di gedor brutal. "Yakk, kenapa kemari?"
"Hehehehe, buka." Bukannya menyahut, malah menyengir lebar.
"Tak mau, jadi tamu tak sopan sekali lewat jendela." Tolak Aluna.
"Ohh, ku sumpahi mati berdiri mampus kau!" Ancamnya garang.
"Iya-iya." Aluna tertatih menuju jendela.
"Coba minggir dulu ngapa, kau menghalangi jalan masuk!" Usirnya lantas masuk dengan serampangan.
"Kau tak sekolah?" Aluna menelisik temannya masih berseragam lengkap.
"Kau tidak lihat aku berseragam dan mampir kesini?" Galaknya.
"Ya lihat, kau pikir aku buta." Balas Aluna jadi kesal.
"Anggap saja aku sekolah di rumah mu, minggir aku mau numpang tidur." Main nyelonong ke dekat ranjang.
"Astagfirullah, Aluna darah apa itu?" Panik temannya.
"Darahku." Sahut Aluna sembari memegangi kantong infus.
"Kau sakit kronis? Tak sangka sebentar lagi mati. Untung aku mengunjungi mu." Gambaran kalimat seorang yang mengaku teman.
"Cuih, tak mungkin mati sebelum ku kalahkan dirimu dalam semua bidang." Sanggah Aluna.
Vebby, teman kecil Aluna yang menempel kemanapun. Sayang harus dipisahkan karena Vebby lolos seleksi masuk SMA negeri sedang dirinya tidak. Kelakuan sama minus, bedanya Vebby anak orang kaya. Dia anak orang terpandang di desa, makanya banyak yang tak suka kala Vebby berteman dengan Aluna. Masyarakat takut Aluna membawa pengaruh buruk bagi Vebby. Tak tahu saja mereka, kalau semua ide nakal berasal dari Vebby.
"Jorok sekali sih, aih untung seragamku tak kena darahmu." Bawel Vebby.
Mulut mengomel, tangan terampil membersihkan darah kotor Aluna. Selesai dengan urusan seprei bergegas mengurus Aluna. Mencari ganti, mengobrak-abrik lemari sesuka hati, menemukan yang pas dimatanya segera di ambil dan membantu Aluna bersalin. Bersyukur karena siklus menstruasi mereka selang satu atau dua hari. Jadi saat Aluna bilang tak ada pembalut, Vebby dengan tangan ajaibnya membawa pembalut untuk Aluna.
"Sayang kenapa ganti seprei?" Mawar masuk kamar Aluna sesegera mungkin saat kembali ke rumah.
"Sudah pulang Bu?" Aluna yang tertidur ayam langsung bangun.
"Maaf ibu kaget seprei mu ganti tanpa lihat kau sedang tidur. Maaf ibu membangunkan mu nak, iya ibu baru sampai." Mawar membawakan buah apel untuk Aluna.
"Seprei diganti Vebby Bu, tadi darah haid Aluna tembus, sekarang bocahnya sudah sekolah, dia bolos jam pertama dan kedua saja." Tutur Aluna.
"Alhamdulillah, untung ada Vebby. Kau sudah pakai pembalut belum, maaf ibu tak tahu kalau kau sedang datang bulan." Mawar segera mengecek kondisi Aluna.
"Aku sendiri saja tak tahu, oh ya Bu tadi Vebby sudah membantu Aluna pakai pembalut." Terang Aluna.
"Serius?" Ibunya saja tak percaya, pertemanan Aluna dan Vebby layaknya dua gadis dewasa yang saling tulus dalam pertemanan.
Tokk..tokkk....tokkk
"Assalamualaikum." Terdengar salam dari depan rumah.
"Sepertinya ada tamu nak, ibu ke depan dulu ya." Mawar bergegas melihat siapa yang bertamu siang hari begini.
"Waalaikumsalam." Balas Mawar sembari membuka pintu.
"Ibu, perkenalan ini Tina. Saya mau menjenguk Aluna Bu." Gadis lengkap dengan seragam sekolah itu datang seorang diri.
"Oh, iya-iya, em Tina ayo masuk." Mawar bungah, anaknya punya teman istimewa di SMA selain Bondan, dan rela menjenguk.
Membawa Tina langsung ke kamar Aluna, mawar lantas pamit meninggalkan mereka ke dapur. Mawar berencana menyeduh teh hangat dan kue kering untuk Tina, yang datang di kondisi hujan. Sementara itu, di kamar Aluna, Tina memindai ke segala arah. Dia mengamati kamar temannya.
"Aluna aku minta maaf, andai aku tahu kau mengirim pesan saat upacara, maka tak akan seperti ini jadinya." Sesal Tina.
Aluna tak ingin Tina merasa bersalah, toh bukan salahnya juga ia terkunci di toilet. "Bukan salahmu Tina, nasib apes saja hari itu."
"Aku teman sebangku mu, bisa-bisanya aku tak khawatir saat kau tak datang, aku pikir kau tak berangkat hari itu." Tutur Tina.
"Tak masalah, dengan begitu aku jatuh sakit, dan kau bisa tahu rumahku." Senyum Aluna begitu indah.
Tina menggenggam jemari Aluna. "Untung Bondan segera tahu kau terkunci di kamar mandi, dia memang lelaki idaman, sulit sekali menolak pesonanya." Membayangkan rupa Bondan saja wajah Tina berseri.
"Bondan tahu karena ibu menelponnya, mencari aku yang belum pulang. Jadi wajar kalau dia bisa menemukan ku. Maaf karena ingkar janji untuk tak berhubungan dengan Bondan." Aluna saja masih tak percaya, dari sekian banyak manusia kenapa harus Bondan yang menolong.
"Apasih, aku justru senang kau selamat, jujur aku memang suka padanya tapi masa teman sendiri sedang sulit tak boleh ditolong, meski sedikit cemburu, hehehe." Ujar Tina.
"Ngomong-ngomong kau dengan siapa kemari?" Aluna kepo, dia harus mengenakan jilbab takut ada anak laki-laki ikut masuk.
"Aku sendiri saja, teman-teman sudah aku ajak tapi tak bisa, mungkin karena sedang hujan." Bohong Tina, karena dia melarang teman sekelas ikut, berkata kalau Aluna tak mau dijenguk dan kecewa tak ada yang menolong dia terkunci di WC padahal Eva yang menyiramnya dengan air bekas mengepel.
"Oh begitu." Kecewa itu bersemayam dalam diri Aluna.
"Iya, maaf ya aku kurang berusaha mengajak mereka." Raut Tina kental akan rasa penyesalan.
"Baguslah mereka tak kesini, nanti ibu jadi repot, kau seorang sudah cukup bagiku." Aluna menenangkan Tina.
"Kau bisa saja, kau memang terbaik Aluna." Tina mengacungkan dua jempolnya.
Keceriaan Tina membuat Aluna serba salah, dia sudah susah payah menghindari Bondan satu minggu ini, namun pupus karena kejadian kemarin. Tak mungkin juga tiba-tiba dia bertingkah seolah tak kenal pada Bondan seperti saran Tina. Karena menurut Tina biasanya laki-laki mudah menyerah dan bosan jika tak ditanggapi. Tina lebih dulu cinta Bondan, bahkan awal masuk saja dia sudah begitu terpanan dengan Bondan. Jatuh cinta pandang pertama mengikat dirinya.
Jika Aluna sibuk mengkhawatirkan Tina dalam pikiran. Tina sibuk mengirim pesan provokator ke teman sekelas. Mengirim pesan suara, bagian Aluna berkata tak apa teman sekelas tak datang takut merepotkan ibunya. Definisi serigala berbulu domba.
"Rasakan, salah sendiri kau merebut cinta Bondan padaku." Lirih Tina.
"Hah, apa Tina?" Aluna tak dengar.
"Cepatlah sembuh kawan." Ucap Tina.
"Sepertinya besok aku sudah pulih, karena dapat dorongan semangat darimu." Bangga Aluna tanpa tahu isi hati temannya.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
💫0m@~ga0eL🔱
Hm teman laknat 😤
2024-10-02
2
𝓪𝓼𝓪𝓷 ⋆࿐ [𝐡𝐢𝐚𝐭]
Ini namanya perhatian ke teman, jenguk dulu sebelum mati.. 🤣
2024-05-14
1
ᴳ𝐑᭄🍁Yunit𝐀⃝🥀❣️𖤍ᴹᴿˢ᭄
duh si ibu lebih penting pelanggan dari pada ngerawat anak yang sakit, pantas saja Aluna merasa di abaikan
2024-05-14
1