Langkah yang ditapaki seorang gadis bernama Aluna tidaklah mudah, penuh darah dan pengorbanan. Tak perang namun kerap terluka, tak menabur kejahatan namun panen kebencian. Hidupnya bukan melulu tentang sekolah namun dampak dari kehidupan sekolah terbawa di kehidupan bermasyarakat. Mengeluh bukan pilihan tepat, semakin mengeluh semakin terasa remuk dan tak berguna. Merubah diri ke arah lebih baik, mendekat pada sang pencinta menjadi alternatif paling tepat yang di pilihnya.
Jilbab yang di patut depan cermin setiap berangkat sekolah memanggil jiwanya kembali ke fitrah. Rambutnya kian memanjang meski belum mencapai bahu, namun suatu pencapaian yang menyenangkan orangtunya. Mantap dengan hijab, kini Aluna tak hanya mengenakan di sekolah tapi di kehidupan sehari-hari. Tetangga senang akan perubahan itu, tak sedikit yang mencela, menuduh Aluna sedang hamil makanya sengaja merubah penampilan agar tak kentara. Tobat sambal juga menjadi candaan sehari-hari saat temu sapa dengan tetangga.
"Ibu bersyukur nak, sekarang kau terlihat jauh lebih cantik dengan hijab mu." Mawar bertekad memenuhi semua kebutuhan pakaian Aluna yang menurut syariat.
"Hm..... alhamdulilah Bu." Siapa sangka kebiasaan memakai jilbab di sekolah terbawa di keseharian hidup.
"Sudah mau berangkat?" Mawar bahkan heran, meski tidur amat larut Aluna sudah siap dan menyentuh sarapan, pukul enam dia hanya bersantai dan membaca buku.
"Iya Bu, aku berangkat, nanti kalau telat ke kedai mungkin angkotnya lelet." Aluna berkata demikian jaga-jaga, karena kadang ada serangan dadakan dari orang-orang yang butuh hiburan dari melukainya.
"Ibu doakan untuk kesuksesan, dan hari ini semoga kau mendapat berkah dan kebahagiaan di sekolah." Mawar tak kuat, dia ingin membalikkan badan agar Aluna tak lihat dia menahan tangis.
"Jangan cengeng bu, aku cuma berangkat sekolah, bukan mau rantau jauh." Menyalami tangan ibunya, Aluna pamit menuntut ilmu.
Menghemat ongkos dengan memanfaatkan teman SMP, Aluna menerima semua jasa dan bantuan temannya mulai bulan kemarin. Tak ada topeng untuk hidup yang diperankannya. Tak ada dusta, dan tak ingin dekat dengan penawar dusta bermulut manis. Genap dua bulan duduk dengan Tina tanpa sepatah kata. Tina mencoba berulang, Aluna seolah menyumpal telinga tak dengar. Baginya cukup dia seorang, tak ingin berteman jika hanya penuh kepalsuan.
"Beuh beneran nih neng Aluna jadi semakin rajin." Sapa satpam sekolah yang menjaga gerbang dengan menertibkan beberapa anak yang parkir sembarangan.
"Wess ya kan semua berkat nasehat om Burhan, siapa tau kan kalau berangkat pagi bisa dapet rangking, terus SPP gratis." Canda Aluna.
"Aamiin, om doakan buat neng geulis. Yasudah masuk sana, hari ini om sibuk tak bisa berbalas pantun denganmu." Akhir-akhir ini Burhan dekat dengan Aluna yang seumuran dengan anaknya.
"Wah parah om, padahal Aluna sudah siap-siap dari rumah untuk mengalahkan pantun dari om." Tak bohong, buku yang di bacanya tadi pagi bukan buku pelajaran melainkan kiat pandai pantun.
"Kau serius mau jawara rupanya, besok om ladeni jangan kalah ya." Timpal Burhan.
"Siap om!" Semangat Aluna membara.
Ruang kelas masih sepi, terisi oleh beberapa anak laki-laki dan anak yang piket. Sebut saja kutu buku kelas, Wahyu namanya sebagai salah satu anak yang mengisi kelas pagi sekali. Pria itu terkesan kurang pergaulan tapi mampu mempengaruhi seisi kelas perihal pelajaran. Menconteknya adalah hal lumrah, tugas sekolah yang dikerjakan bekal di rumah di garap setelah Wahyu selesai. Semua murid mengandalkan Wahyu.
"Hai." Sapa Wahyu sembari membenahi letak kacamatanya.
Aluna tak yakin Wahyu menegur dirinya, hingga Aluna menengok ke belakang guna memastikan. "Aku?"
"Iya." Timpal Wahyu singkat.
"O..oh.." Aluna bingung bersikap, seolah Wahyu yang mulai pembicaraan namun Aluna yang harus cari topik.
Terdiam cukup lama, akhirnya Wahyu angkat bicara. "Kau mau mencontek?"
"Hah?" Tiba-tiba Aluna merasa bodoh.
"Ku pikir kau berangkat pagi karena belum selesai tugas Fisika, hari ini pengambilan nilai." Beber Wahyu tanpa diminta.
"Aku sudah selesai, atau ada tugas lainnya?" Seingat Aluna dia menyelesaikan tugas itu sudah jauh-jauh hari, sampai lupa kalau ada tugas.
"Tidak, hanya mengerjakan lembar kerja dan esai." Wahyu pergi begitu saja setelah berucap.
Aluna melongo, apa maksudnya Wahyu ingin memberi contekan. Sibuk berpikir Wahyu membalik badan, dan menghampiri Aluna kembali. "Mau menyamakan jawaban?"
"Ah..oh..anu... sepertinya tak perlu, hehe aku sedang mencoba peruntungan." Aluna menolak halus.
Tak menyahut, Wahyu pergi begitu saja. Kepergian Wahyu membuat Aluna menarik nafas lega. Bukan karena terpesona akan Wahyu, namun langka sekali orang itu bicara Aluna takut salah ucap. Menghabiskan waktu dengan membaca buku yang gemar di gelutinya belakangan ini, tak terasa bel masuk berbunyi. Aluna melirik bangku di sampingnya yang masih kosong, Aluna tak ambil pusing. Tina tak masuk juga tak masalah baginya. Ingin pisah sayang sekali jumlah murid wanita genap, jadilah dia tak bisa pindah tempat duduk karena di kelas mengharuskan dua orang duduk satu meja.
"Hosh..hosh...Aluna apa benar ada tugas fisika?" Tina masuk dengan nafas tersengal di detik-detik terakhir sebelum kelas di mulai.
"Hmm.." Timpal Aluna malas.
Menepuk jidatnya sendiri. "Pinjam dong Aluna."
Enak saja pikir Aluna, tak tahu apa Tina kepalanya hampir copot menyesuaikan diri dengan buku pelajaran. Lagipula untuk apa berbagai, tak ada hubungan spesial diantara mereka.
Tina sadar Aluna enggan. "Eva, tolong aku!"
"Jangan teriak-teriak Tina, aku sedang menyalin." Tegur Eva.
"Siapa yang ngide menaruh fisika di jam pertama sih!" Dumal Tina.
Anak kelas sibuk contek sana sini, Aluna santai saja. Bondan mencuri kesempatan karena Tina minggat mencari jawaban. "Apa kau sudah selesai?"
"Sudah, kau mau mencontek tidak?" Tawar Aluna.
"Serius boleh?" Bondan sedikit kurang percaya.
Aluna mengeluarkan lembar kerja dari dalam tas. "Ini."
Tangan cekatan dan mata memindai handal milik Bondan bekerja giat. Ternyata begini rasanya jadi Wahyu, mengerjakan tugas di rumah menjadikan diri lebih tenang. Dan siap mengisi otak dengan pelajaran yang diberikan guru.
"Hayo anak-anak, kembali ke tempat masing-masing!" Tegas Bu Winda.
"Bu nanti dulu masuknya aku belum selesai menyalin." Nego Bondan.
"Haduh Bondan tampan, ini bukan waktunya tawar-menawar, cepat kembali ke tempat atau ibu sama sekali tak mau menerima nilai mu meski hasil mencontek!" Ancam sang guru.
"Aish." Dengan kesal Bondan meninggalkan tempat duduk ternyaman di kelas baginya.
"Nanti siang aku traktir makan, makasih sayang." Bondan sengaja berkata demikian saat Tina hendak kembali ke bangku.
Tak sempat bertikai, Winda sebagai guru penuh pengertian segera meminta anaknya menukar lembar kerja dan melakukan koreksi serta penjabaran jawaban bersama. Nyari memakan waktu dua jam mata pelajaran karena murid-murid sulit paham menyangkut fisika padahal sudah di pelajari dari SMP. Waktu luang selama dua puluh menit diisi dengan penyebutan nilai oleh siswa yang mengoreksi lantas di catat guru.
"Aluna Berlian." Sebut Winda.
"Seratus Bu." Lantang siswa bernama Gufron.
"Gufron kau tidak ketiduran kan saat mengkoreksi tadi?" Winda sedikit tak percaya.
"Yaelah bu, sementang sering bolos jago tidur laju pas ngoreksi dituduh nggak kompeten, serba salah jadi manusia tampan." Keluh Gufron tak nyambung.
"Wahyu Pratama Iskandar." Winda segera lompat ke barisan absen belakang, karena baru di awal dikejutkan dengan nilai Aluna diluar nalarnya.
"Sembilan puluh Bu." Ririn yang mengkoreksi.
Semakin pening saja kepala Winda, tak mungkin Aluna mengejar ketertinggalannya selama ini. Memang benar satu bulan belakangan Aluna giat, tapi bukan berarti kecerdasan bisa di dapat dalam semalam. "Coba kemarikan lembar kerja Aluna dan Wahyu."
Dengan seksama Winda memindai, cara penyelesaian setiap soal berbeda tak ada kemiripan, Aluna tak mungkin mencontek Wahyu. Oke dilihat dari segi nilai saja sangat tak mungkin, masa nilai seratus mencontek nilai dibawahnya. Winda melanjutkan penyetoran nilai, dan benar-benar hanya nilai Aluna yang seratus.
"Aluna ke kantor saat istirahat nanti." Winda menyerah.
"Aduh tak bisa dong Bu aku sudah buat janji makan dengannya." Sungut Bondan.
"Kau mau makan berapa kali? Istirahat pertama setengah sepuluh Bondan." Peringat Winda.
"Yeuh, ya suka-suka perut ku dong Bu." Sanggah Bondan.
"Perut karet, lagian kau hanya urusan perut, ibu urusan mencerdaskan kehidupan bangsa." Timpal Winda.
"Kalau begitu aku ikut, aku juga ingin pintar." Rayu Bondan.
"Oh tidak bisa, kau tidak di ajak." Winda meninggalkan kelas, sedang Bondan di soraki teman sekelas.
Jeda lima menit untuk masuk ke jam pelajaran berikutnya, Wahyu mendekat ke kursi Aluna. "Kurasa aku menemukan saingan kali ini."
"Hah?" Aluna tulalit.
"Mari berteman." Tawar Wahyu.
"Yak Wahyu jangan bersaing denganku." Bondan ikut nimbrung.
"Diam kau tak diajak." Balas Wahyu.
"Dih apasih kutu kupret." Ledek Bondan.
"Kutu buku yang benar." Wahyu tak mau kalah.
"Wah wah wah, ngajak kelahi rupanya." Bondan tak suka.
"Bondan jangan kelahi di kelas nanti di skorsing lagi." Tutur guru jam berikutnya.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Ney🐌🍒⃞⃟🦅
alunA berubah👍👍💪💪
2024-04-22
1
Ney🐌🍒⃞⃟🦅
seruuu c bondan🤭🤭
2024-04-22
1
🍒⃞⃟•§¢•🎀CantikaSaviraᴳᴿ🐅
Aluna memang hebat
2024-02-27
2