Tomboy Insyaf
Aluna Berlian, gadis dengan paras cantik di bingkai kegarangan perilaku, wanita namun menyerupai pria, dihujat sebagai salah satu tanda kiamat, terus melangkah ugal-ugalan sebagai jalan hidup pilihannya. Mengabaikan semua nasihat, mau ustadz, guru bahkan orangtuanya saja tak di dengar. Disekolahkan dan terus mengukir prestasi di ruang BK. Sesuka hati hutang di kantin sekolah, membebani orangtuanya saat pengambilan rapot dengan segala tagihan atas namanya. Harus kehilangan jati diri saat kenyataan pahit menimpa keluarga. Ayahnya jatuh sakit, mendengar Aluna akan dikeluarkan dari sekolah menjelang ujian nasional. Sakit bukan sekedar satu atau dua hari, ayahnya koma karena serangan jantung.
"Puas kau? Lihat, bahkan ayah menjadi korban kenakalan dirimu. Aku benci kau kak." Pekik Karin adik Aluna beda dua tahun.
Aluna melihat Karin pergi meninggalkannya seorang diri di ruang rawat ayahnya. "Maaf yah, aku keterlaluan."
"Maaf yah, aku tak tahu kalau sampai sefatal ini. Ku pikir kalian tak perduli denganku dan selalu memikirkan Karin yang penyakitan." Ungkap Aluna.
Aluna menggenggam jemari ayahnya yang terbujur tanpa kesadaran. "Aku akan jadi apa yang ayah inginkan."
Janji terpatri dalam diri, meski hanya satu bulan sebelum ujian sekolah dilaksanakan Aluna benar-benar menepatinya. Dia sekolah, pulang sekolah belajar giat mengejar ketertinggalan, semua dilakukan demi menstimulasi ayahnya untuk bangun. Aluna tak bisa melihat keterpurukan keluarga, dia memang tak berpikir dua kali dalam merusak diri, namun beda cerita jika menyangkut keluarga. Meski merasa dianak tirikan, bukan berarti dia benci kepada keluarganya. Justru dia menyimpang demi sebuah perhatian. Tapi bukan perhatian yang di dapat, kemalangan justru datang bertubi.
"Bagaimana hasilnya nak?" Mawar, ibunya dengan antusias bertanya akan hasil ujian masuk SMA yang diikuti Aluna.
Berat menyahut, tapi harus tetap diberitakan. "Tidak lolos."
"Terus bagaimana?" Bingung ibunya.
"Ya tak usah sekolah, Aluna mau kerja saja." Putus Aluna sepihak.
"Kau mau mencoreng nama baik keluarga lagi, kau masih anak baru lulus SMP, mau kerja apa? Lagipula kewajiban mu itu sekolah, bukan bekerja." Omel Mawar.
Lihat bukan, apapun yang ada di benak Aluna selalu salah jika diungkapkan dihadapan orangtuanya. "Terserah ibu saja, mau diapakan. Aluna ikut baiknya saja."
Dan Aluna menyesali perkataannya saat itu, memberi pilihan terserah pada ibunya adalah bencana. Bagaimana tidak, jika dia disekolahkan pada SMA swasta dan berbasis Islam, semua siswi diwajibkan mengenakan jilbab. Aluna menyesal membakar semua seragam kerennya untuk berubah jadi baik. Kenapa dia tak kepikiran harus pakai seragam SMP dulu di awal-awal masuk SMA. Pada akhirnya harus berpuas diri dengan baju pemberian anak tetangga yang kebetulan lulusan tahun kemarin.
"Bu, bajunya kedodoran, Aluna tak mau pakai." Melempar baju yang beberapa menit lalu dicobanya.
Mawar mendelik, sudah kepala hampir pecah karena harus mengurus Karin yang lemah dan suaminya yang koma. "Jangan berulah, kau harusnya banyak bersyukur. Ibu sekuat diri menyekolahkan mu seperti anak lainnya."
"Aku tak minta disekolahkan." Bantah Aluna.
Mawar meredam emosinya yang naik ke ubun-ubun dengan menggigit ujung lidahnya. "Itu kewajiban ibu."
"Kalau keadaan memang sulit tak usah dipaksakan, tak sekolah juga masih bisa hidup dan makan." Sejatinya Aluna tak ingin berkata kasar, tapi tabiat sulit dirubah.
Mawar diam, dia kewalahan merawat semuanya seorang diri. Tak marah, Mawar justru memeluk putri sulungnya. "Maafkan ibu nak, mungkin ibu terlalu sibuk dengan dunia hingga salah mendidik mu kala itu."
Mengurung diri di kamar, Aluna merenungi kebodohan sikapnya selama ini. Gadis tanggung dalam proses mencari jati diri, salah langkah lantas begitu jauh terjerumus. Aluna anak baik-baik, hanya saja pergaulan dan rasa gengsi begitu tinggi. Dia tak ingin dibilang beban keluarga, seperti saat ia tak sengaja dengar saat ayah dan ibunya mengobrol tempo itu. Baru beranjak dewasa saja tak enak, penuh pertimbangan dan rasa penyesalan. Harusnya Aluna hanya memikirkan beramin dan sekolah, tapi beban setiap anak berbeda. Kini Aluna memikirkan perasaan orangtuanya. Dia takut ditinggal mati orang-orang terdekatnya. Karena belum lama ini Aluna kehilangan adik bungsunya juga karena sakit yang tak tertolong.
"Aku berangkat." Aluna pamit tanpa menyentuh sarapan.
Mawar tersenyum tipis, siapa sangka anaknya terlihat seperti wanita untuk pertama kalinya saat sekolah. "Tak sarapan?"
"Aku telat kalau sarapan, lagian daftarkan sekolah sudah seperti mengusir anak, jauh sekali." Dumal Aluna.
"Yasudah bawa ini, makan di perjalanan." Mawar membekali Aluna dengan sebungkus roti.
"Isi coklat?" Mau mengkhianati jati diri seperti apapun, nyatanya Aluna tetaplah anak manja ibunya.
"Hmmm, rasa favorit mu." Sahut Mawar.
Aluna senang ibunya masih ingat apa yang di sukai olehnya. Menyalimi tangan mawar. "Nanti tunggu aku kalau mau ke rumah sakit. Assalamualaikum."
Mawar melihat Aluna pergi dengan mengucap salam. Beban berat di pundaknya terasa menguap begitu saja. Aluna tak pernah bertingkah manis selama setahun belakangan ini. Aluna sibuk dengan teman-teman seperkumpulannya yang terkesan menyimpang dari norma masyarakat. Rambut Aluna yang indah dan terawat, berubah jadi cepak layaknya pria, tak hanya penampilan, gaya dan tingkahnya dibuat-buat serupa dengan anak laki-laki. Mawar bersyukur, semuanya butuh proses dan ini langkah awal yang baik berdasarkan insting seorang ibu.
Disisi lain Aluna yang baru saja tiba di kelas sepuluh tujuh, kelas yang tercantum namanya, celingukan tak jelas. Terbiasa bergaul dengan anak laki-laki membuatnya bingung untuk bertegur sapa dengan anak gadis sepantaran. Matanya terus memindai, hingga deret ketiga dari kursi kedua dekat pintu, tak sengaja bersitatap dengan anak perempuan yang sedang celingukan dan duduk seorang diri. Gadis itu tersenyum dan melambaikan tangan.
Aluna menengok ke belakang, menyangka kalau anak itu sedang melambai pada yang lain, nyatanya kosong. "Aku?"
Gadis itu mengangguk, justru berjalan menghampiri Aluna yang masih kebingungan. "Ayo duduk denganku."
"Ah, e..boleh." Aluna masih tak percaya semudah itu mendapat teman.
Kini pantatnya sudah duduk di bangku samping gadis yang belum dia kenal. "Aluna, kau siapa?"
"Tina, senang berkenalan denganmu, semoga kita bisa berteman dekat. Baik-baik denganku ya, aku tak punya teman dari SMP yang daftar di sekolah ini soalnya." Beber Tina.
"Sama." Aluna tak tahu pastinya, hanya asal tebak saja.
"Kenapa kau mendaftar disini?" Tina jelas sekali mencoba mengakrabkan diri dengan basa-basi.
"Tak diterima sekolah negeri." Jujur Aluna.
"Emm begitu, kalau aku memang permintaan orangtua." Tanpa ditanya balik Tina memberitahu.
"Oh begitu." Tolong jangan salahkan Aluna yang tak bisa menyambung obrolan.
"Aku pemalu dan sulit mencari teman, tolong jaga aku baik-baik ya." Pinta Tina penuh antusias diri.
"Sama." Memang dasarnya Aluna tak bisa diandalkan dalam hal mengobrol dengan teman sebaya.
Hari itu berlangsung singkat, Aluna senang karena hanya melihat dimana mereka ditempatkan. Setelah masuk dan menemukan partner duduk, diberi himbauan dan rangkaian kegiatan orientasi satu minggu ke depan. Lantas diperbolehkan pulang dan menyiapkan keperluan orientasi hari esok.
"Bagaimana hari pertama mu di SMA?" Mawar menanti anaknya kembali dari sekolah
"Biasa saja." Ya seperti sekolah pada umumnya.
"Kau ini ditanya selalu kaku jawabnya, yasudah ayo tempat ayah." Seru Mawar.
"Ganti dulu." Tawar Aluna.
"Tak perlu, ayo cepat nanti keburu Karin nangis." tadi dititipkan pada neneknya yang menjaga di rumah sakit.
orangtua macam apa yang melarang anaknya ganti baju sekolah dan langsung pergi. Ibunya sama sekali tak patut di contoh. Dengan perut keroncongan karena tak asupan tambahan sebagi teman si roti, Aluna tetap ikut ibunya dengan menggerutu.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
🌟~Emp🌾
aku mampir, slm knl 🤗
2024-10-02
2
ㅤㅤㅤ ㅤ ㅤㅤㅤㅤ 📴☂︎ʰᶦᵃᵗ
kau kehilangan arah lun,emang sakit rasanya klo diabaikan tapi jangan lah kau nakal, kasian la ibu mu dan ayah mu
2024-05-14
1
ㅤㅤㅤ ㅤ ㅤㅤㅤㅤ 📴☂︎ʰᶦᵃᵗ
yeah, malang sekali nasib mu lun,tapi kau anak yang tersesat dijalan.
2024-05-14
1