Laksana seorang murid teladan, datang lebih pagi dari lainnya karena jatah piket. Aluna rela nebeng anak tetangga yang berangkat kerja. Rasanya baru dua gelintir manusia di sekolah, dan dia salah satunya. Kali pertama, dan cukup mengerikan. Segera mengambil sapu, membersihkan seisi kelas. Nyatanya saat senggang begini justru lebih mudah dikerjakan.
"Apa ini?" Mengambil secarik kertas yang di taruh dalam lacinya.
"Puitis sekali, sepertinya untuk memikat seorang gadis." Mesam-mesem sendiri.
Membaca lebih jauh, barulah dia tahu kalau itu untuk dirinya. "Aih, ternyata untukku, gombal sekali manusia ini."
"Ada saja idenya, menaruh sepucuk puisi saat aku piket kelas." Gumam Aluna.
Melipat kertas itu agar lebih mudah dimasukkan dalam saku, meski tak membalas sayang untuk dibuang. Lama menunggu teman piketnya tak kunjung datang, jadilah Aluna inisiatif melakukan semua tugas piket sembari menunggu. Rampung dalam sepuluh menit, nafas tersengal barulah temannya datang.
"Nah gitu dong berangkat pagi pas piket, jadi nggk beban di kita terus." Ririn ketus pada Aluna.
Baru ingin membela diri, Ririn langsung menabrak bahunya dan berkat singut. "Dasar teman makan teman, jauh-jauh sana."
Aluna menarik tas Ririn, hingga langkah gadis itu terhenti. "Apa maksud mu?"
"Halah tak usah sok alim, hijabers dadakan, rambutmu bondol kan, lagian kau ini sepertinya anak nakal waktu SMP, makanya tak diterima sekolah negeri." Hardik Ririn.
Dahi Aluna mengkerut. "Hei, bukankah kau juga tak diterima sekolah negeri, makanya sekolah disini?"
"Cih, dasarnya otak bebal, sekali tak tahu diri ya begitu, di kasih tahu malah membalikkan omongan." Sungut Ririn tak terima.
Melawan bukan pilihan tepat, mungkin temannya sedang datang bulan jadi cukup sensitif. Merasa perlu membuang sampah, Aluna memilih ke bank sampah yang ada di ujung kelas sebelas A. Langkahnya ringan, piket selesai tinggal duduk manis menunggu teman karibnya datang dan berbincang keseruan.
Mata Aluna membelalak. "Astagfirullah, angin beliung darimana ini? Kenapa berantakan sekali."
Ding dong...Ding dong...
Aluna kelabakan, kelas jauh lebih kotor daripada pertama dia bersih-bersih tadi. Terasa seperti mimpi, namun Aluna sedang terjaga tak mungkin semua terjadi. Ingin pulang saja jika begini, sudah letih dan siap menerima jam pertama harus berantakan karena sampah. Belum lagi teman-teman yang memenuhi kelas mencemooh dirinya, dan pelajaran pertama segera di mulai.
"Kau ini bagaimana sih Aluna, harusnya kalau piket dateng lebih awal."
"Tau tuh, jangan buat beban teman-teman lainnya."
"Lagian yang lain piket daritadi kok dia baru nongol."
"Udah sih gak usah di ganggu namanya juga anak urakan, udah nggak bener idupnya dari kandungan, mau punya tanggung jawab juga gak bakal dikerjain."
"Turunan emaknya kali ya."
Deg, Aluna tahan dengan semua cacian, tapi tidak jika mengikutsertakan orangtuanya. "Jaga bicaramu Eva."
"Ya emang ngapa, mulut nggak nyewa sama kamu harus banget mau ngucap izin sama kamu?" Bengis Eva.
"Jangan bawa-bawa orangtuaku." Aluna tak terima.
"Aduh-aduh, ya gimana dong namanya anak nakal pasti keturunan orangutannya, udah resiko kalau dibawa-bawa." Eva bicara lantang.
"Oh, kalau begitu mulut neraka jahanam milikmu itu turunan siapa, ayah atau ibumu?" Aluna ganti meledek.
"Yakkkkk!" Eva mendorong Aluna sampai limbung.
Aluna mantan gadis tomboi, gemar tawuran dan menghardik adik kelas tentu tak mau diam. "Jangan provokasi diriku!"
"Astagfirullah, ini apa-apaan? Kelas kotor dan kenapa kalian kelahi?" Resesi guru bahasa inggris masuk memergoki kekacauan anak didiknya.
"Itu Bu Aluna mendorong Eva sampai jatuh."
"Orang Eva nasehati kalau piket yang bersih, malah dia emosi."
"Dasarnya tak pernah piket dia itu Bu, tegur sedikit jadi sensi."
"Kasihan ya Eva."
Banyak suara vokal, semua membela Eva tak ada yang membelanya. Aluna tak percaya, mengapa bisa begitu. Apa salahnya dengan anak-anak kelas, sehingga mereka menutup mata dengan kejadian yang sebenarnya. Andai ada Bondan, pasti semua tak begini. Tiba-tiba, Aluna rindu sosok Bondan yang tak masuk karena sakit.
Berakhir di ruang BK, Aluna sedang kena semprot pak Sanusi. "Astagfirullah Aluna, kau ini wanita loh kenapa hobi sekali kelahi. Bapak pikir kau sudah insyaf, mengingat rekam jejakmu di SMP penuh dengan poin kenakalan."
"Padahal bapak sudah senang kau tak berulah, kenapa kesenangan itu tak berlangsung lama?" Kecewa pak Sanusi.
"Maaf pak, saya tak akan mengulanginya lagi." Bukan, bukan Aluna tak menyangkalnya. Sedari tadi duduk diskusi penuh sangkalan, tapi tak mempan, Sanusi percaya kalau Aluna biang kerok.
"Yasudahlah, sekali ini bapak biarkan jangan diulangi ya nak, masa depan masih panjang, kau tak akan tahu di kemudian hari akan membutuhkan bantuan Eva." Nasihat Sanusi.
"Baik pak." Aluna menurut saja.
"Nanti sepulang sekolah, kau bersihkan kelas sebelum pulang ya." Pinta Sanusi.
"Tapi pak, aku...aku harus..."
"Tidak Aluna, jika kau tak piket semua teman kelasmu semakin kesal, berdamailah dengan mereka agar masa SMA mu penuh kenangan indah." Lagi-lagi nasihat tanpa melihat perkara.
Aluna ingin menolak tapi keburu di usir. "Sudah kembali ke kelas sana, jangan sia-siakan penjelasan dari guru."
Menyeret kaki dengan enggan, Aluna tak kembali ke kelas. Percuma masuk, sepuluh menit lagi bel ganti pelajaran berbunyi. Suasana hatinya sedang tak baik, jadi mari mengadu pada ilahi. Aluna buka seorang yang pandai mengutarakan isi hati pada manusia. Dia juga bukan gadis solehah yang curhat pada pencipta saat galau. Tapi kali ini beda, Aluna mencobanya. Sholat dhuha, mengutarakan hajat kepada sang Rabb saat gundah gulana.
..."Ya Rabb sesungguhnya sudah lama aku tak berkeluh kesah padamu, tapi kali ini aku datang dengan hati yang terluka. Ya Allah yang maha tahu, sesungguhnya aku tak benar-benar salah, tapi belakangan ini masalah seolah datang bertubi. Jika benar ini balasan dari-Mu atas perbuatan ku saat SMP, ampunilah dosaku. Atau jika ini sebuah ujian, jadikanlah aku sosok yang kuat, wanita kuat yang mampu berpijak di atas kakinya sendiri. Aku serahkan semua perbuatan dzolim mereka pada-Mu."...
Hatinya plong, masih sisa dua menit, dia menunggu di luar kelas. Tak ingin mengganggu miss Resesi yang sedang memberi tugas kelompok. Gurunya keluar, dia mengintip dari jendela dan bersiap untuk masuk.
"Aluna-Aluna, kau itu cantik alami, jadi jangan bodohi semua orang dengan wajah cantikmu, dan punya perangai buruk terhadap temanmu. Cantik tak menjamin menjadikan kau banyak disenangi teman sekelas mu bukan. Jangan cari muka, tobat sana, etika lebih penting!" Lidah gurunya tak bermartabat.
Untuk apa punya etika pada orang yang tak pantas. "Jangan jadikan usia mu sebagai tameng punya perangai yang buruk, jangan menilai sesuatu yang kau lihat sekejap, permisi."
"Dasar anak s*etan." Kutuk sang guru yang diabaikan Aluna.
Harinya begitu buruk, tak hanya dirundung teman sekelas, Aluna kena semprot gurunya yang tak tahu apa-apa. Miss Resesi bukan guru tetap di sekolah ini, dia mahasiswa yang sedang magang bisa-bisanya bicara kasar pada seorang anak didiknya. Imbas dari ucapan tersebut Aluna tak semangat menjalani pelajaran berikutnya. Aluna bahkan tak keluar kelas saat istirahat, dia hanya ingin segera pulang.
"Rupanya kau gadis jelmaan pria, pantas kuat sekali mendorongku sampai jatuh ke lantai tadi, tapi tak apa, orang jahat kena batunya." Eva berulah kembali saat pulang sekolah.
"Apa maksud mu?" Tidak ada satupun yang berani mengungkit masa lalunya, temannya sendiri saja bungkam.
"Lihat ini!" Foto Aluna dengan geng SMP yang mirip laki-laki.
Mata Aluna tak berkedip, itu foto di kamarnya. "Darimana kau dapat ini?"
"Dari sumber terpercaya, eh tapi tak penting, yang jelas kau memang jelmaan gadis neraka." Hardik Eva.
"Maksudmu Tina?" Tanya Aluna tak percaya.
"Iya, kenapa kau marah? Bisa-bisanya Tina rela menjenguk mu di tengah guyuran hujan, dan kau mengolok teman sekelas di belakang kami, dasar gadis jahat." Amuk Eva.
Kepala Aluna berdenyut nyeri, hati kecilnya curiga akan Tina namun otaknya bertolak belakang. "Jangan menilai masa laluku, kau tak punya hak!"
"Kau benar, lagipula tak penting bicara lama denganmu, waktunya pulang. SELAMAT PIKET!"
Sengaja mengotori kelas dengan serpihan kertas, dan bekas bekal, beberapa bungkus snack, dan permen karet menempel dimana-mana.
"Hah, melelahkan jika dibayangkan. Sayang sekali hari ini harus bolos kerja." Keluh Aluna.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
💫0m@~ga0eL🔱
semangat untuk Alena 💪 like, komen, subscribe plus ⭐⭐⭐⭐⭐ +🌹 slm perkenalan 😘
2024-10-02
2
𝓪𝓼𝓪𝓷 ⋆࿐ [𝐡𝐢𝐚𝐭]
klo itu emng harus di tampar, ngapain bawa² nama emak lagi ni anak, ngejek juga ada batasnya, hadehhh
2024-05-14
1
❤️⃟Wᵃf🍾⃝ᴛͩʀᷞɪͧsᷠʜͣᴀ
Hadeuh.. body shaming bngt ini anak, pen dilakban mulutnya.. 🙄
2024-05-14
1