“Ken, kapan kamu jujur ke Hyera?”
Kenzie terdiam. Tidak menjawab pertanyaan yang baru saja di ajukan untuknya.
“Waktu semakin menipis loh, jujurlah sebelum waktu tidak memihak mu lagi.”
Binar Kenzie menatap lawan bicaranya. “Aku akan memberitahunya saat semua sudah berakhir.”
.
.
.
.
.
***
.
.
.
.
.
“Hai.”
Aku termenung sesaat. Mataku bertemu tatap dengan matanya. “Hai.” Balasku dengan senyum yang merekah. “Tidak sekolah?” Tanyaku sekedar basa-basi.
Anak itu berjalan mendekat. “Kau sendiri, tidak sekolah?” Tanya nya dan aku terdiam.
Mataku menilisik penampilannya. Anak itu memakai seragam sekolah menengah atas. Jam menunjukkan pukul 7 pagi. Aku jadi rindu sekolah. Rindu berangkat pagi-pagi. Rindu menyapa teman sebangku. Rindu dimarahi guru. Iya… aku serindu itu dengan lingkungan sekolah.
“Home schooling.” Jawabku, lalu lawan bibirnya membentuk huruf o.
“Boleh ku bantu?” Tawarnya sembari memindahkan pot bunga yang ada di teras tokoku.
“Terimakasih.” Balasku. “Kamu bolos?”
Anak itu tersenyum, “Sepertinya. Aku tidak suka sekolah. Aku lebih suka menghabiskan waktuku untuk belajar memahami nada dibanding belajar memahami rumus.” Dahi ku mengernyit. “Aku tidak suka dipaksa melakukan apapun yang membuatku tidak nyaman.”
Aku terkekeh menanggapi ucapannya. Mau mengeluarkan kata, takut salah dan berakhir membuat kita jadi canggung. Beberapa pertemuan tidak sengaja antara kami, membuat ku sedikit mengenal anak ini. Meski sedikit, aku bisa tahu kalau Jovin adalah orang yang baik.
“Masuk yuk, udara di luar dingin.” Tawarku, lalu Jovin tersenyum dan melangkahkan kakinya mengikuti ku.
Sebelum kami benar-benar masuk, aku mengamati senyum yang terpatri di wajahnya.
Beberapa kali pertemuan kami, aku baru tahu kalau anak itu punya lesung pipi. Manis, seperti Pak Sam. Kalau sedang diam, wajahnya datar seperti kolektor yang suka nagih hutang, menyeramkan. Tapi kalau senyum seperti tadi, cukup manis.
Badan Jovin tinggi, kurasa anak itu lebih tinggi dari Kenzie. Badannya juga tegap. Ditambah dengan setelan baju sekolah yang membalut tubuh jenjang nya. Berfikir dia salah satu anak popular di sekolah sepertinya bukan hal buruk.
“Mau coklat hangat?” Tawarku, dan Jovin mengangguk mengiyakan.
Aku berjalan ke pantry tokoku. Mengambil dua gelas warna putih dengan corak bunga liar yang melingkari gelas. Gelas yang dibelikan Kenzie sewaktu ia jalan-jalan dengan Kimi.
Tanganku meraih toples berisi coklat bubuk di atas rak berwarna putih. Menuangkan dua sendok bubuk coklat pada gelas kembar yang sekarang ada dihadapanku. Menambah nya dengan air panas sedikit hati-hati, lalu mengaduknya menggunakan sendok kecil berwarna emas.
Aku berjalan ke arah Jovin yang kini sedang menunduk menatap majalah di depannya. Tangannya sibuk membolak-balikkan majalah. Bukan majalah-majalah yang sering di antar pak tukang tiap pagi, itu hanya buku dengan banyak jenis bunga dan makna yang kubeli di toko buku sewaktu aku pulang dari minimarket.
“Coklat nya sudah siap, tuan Jovin.” Ucapku menggoda.
Dibanding pertemuan kita pertama kali di halte waktu itu, pertemuan kali ini kurasa cukup hangat. Jovin lebih banyak tersenyum. Bahkan tadi ia menyapaku dengan senyuman. Tidak seperti biasa yang hanya menampilkan mimik datarnya.
“Terimakasih.” Jawabnya dan langsung menyeruput coklat panas yang baru aku hidangkan. “Ouh panas.” Aku tertawa kecil.
“Tadi habis hujan ya?” Tanya nya dan aku mengangguk.
“Bukan hujan lebat. Hanya gerimis yang tidak berhenti dari semalam.”
Anak itu mengangguk. Hening dan canggung mulai menyelimuti kami. Aku terdiam, mengamati Jovin dari jarak tempatku duduk. Sementara anak itu masih sibuk membolak-balik buku bunga yang menjadi pusat perhatiannya sedari tadi.
Jovin mengamati gambar bunga beserta makna nya yang tertulis persis di samping dan bawah gambar. Sesekali kepalanya mengangguk, entah mengangguk paham dengan maknanya, atau hanya kagum karena bunga-bunga memiliki makna indah pun dalam.
Tangan Jovin terus membalik lembar demi lembar buku, dan aku sesekali melirik ke arahnya. Sedikit takut jika ia tidak nyaman ku perhatikan.
“Kau punya kakak?” Matanya masih fokus ke arah buku, tapi pertanyaan itu aku yakin ditujukan untukku.
“Iya. Namanya Dhafin Jenaro.” Jovin kembali mengangguk.
Buku itu ia letakkan di atas meja. Bisa ku lihat bunga apa yang sekarang menjadi perhatiannya, gardenia putih. Aku jadi teringat, waktu pertama kali dia datang ke toko ku, membeli bunga dan memberikannya padaku.
Aku menatapnya, dan bisa ku lihat dia juga menatapku. Senyumnya kembali merekah, kali ini lebih lebar dari senyum nya beberapa waktu tadi. Bibirnya melengkung ke atas, lesung pipi yang sedari tadi bersembunyi kini muncul dengan sangat manis, matanya melengkung seperti bulan sabit. Tampan.
“Sebenarnya aku tidak suka bunga.” Lamunan ku atas indahnya senyum Jovin pudar seketika. Aku menggeleng dua kali, lalu berdehem menghilangkan rasa canggung di sekitarku.
“K-kenapa?” Tanyaku sedikit gugup.
“Tidak ada yang menarik dari bunga.” Sedikit membolakan mata, ingin bertanya ‘lalu apa alasannya memberiku bunga,’ namun kuurungkan karena menurutku semua orang punya ketertarikan berbeda-beda. Tidak semua orang harus setuju dengan apa yang di sukai orang lain.
“Aku lebih suka dan tertarik pada musik.” Kepalaku mengangguk paham. “Kakak ku suka musik. Dan aku ingin seperti kakak ku.”
“Kau punya kakak?” Tanyaku penasaran.
“Produser muda. Usianya 22 tahun, mungkin sepantaran dengan kakak mu.” Hebat.
“Apa itu yang menjadi alasanmu menangis di awal pertemuan kita? Gagal lolos audisi musik dan takut kakak mu kecewa?” Jovin mengangguk mengiyakan pertanyaanku. “Lalu setelahnya?”
Mata Jovin menatap ke atas. Bibirnya mengerucut lucu, lesung pipi nya kembali tercetak jelas. “Tadinya aku takut pulang.” Akunya. “Aku takut bertemu kakak ku. Aku takut dia marah, dan aku takut mengecewakannya.”
Kedua tanganku bersedekap dada, menatap Jovin yang kini tengah bercerita.
“Sampai akhirnya aku memberanikan diri mengetuk pintu studionya dan mengatakan semua padanya.”
“Tentang kamu yang gagal?” Tebakku dan anak itu mengangguk.
“Sama seperti perkiraanmu.” Alisku menyatu tidak mengerti. “Perkataan nya mirip. Katanya dia tidak kecewa. Dan dia juga bilang kalau jatah gagalku sudah gugur satu. Aku tidak boleh menyerah.” Lagi, senyum itu mengembang di bibir Jovin.
“Aku bilang juga apa.” Banggaku sembari menyandarkan punggung ke kursi.
“Tapi tetap saja. Dia sudah menghabiskan malam dan harinya untuk membuatkan ku sebuah lagu, masa iya aku tidak berusaha membuatnya bangga.”
“Kau sudah berusaha Vin. Kakak mu pasti bangga. Gagal dan sukses itu jalannya selalu berdampingan. Saat kamu jalan ke arah mimpimu, akan ada dua yang menantimu di masa depan, gagal dan berhasil. Kau akan menemui salah satunya. Saat kau gagal, kau bisa belajar dari kegagalanmu, menelaah mana yang harus kamu tingkatkan dan mana yang harus kamu ganti atau tinggalkan. Dengan begitu kau akan semakin dekat dengan keberhasilanmu. Tidak selamanya percobaan pertama itu selalu gagal, tapi tidak selamanya juga percobaan pertama selalu berhasil.”
Tanganku kembali meraih gelas berisi coklat panas di dalamnya. Menyeruputnya dalam diam lalu kembali meletakkan ke atas meja. “Kenapa menatapku?” Tanya ku heran saat memergoki mata Jovin yang seolah mengintimidasiku.
“Kau bijak sekali.” Tidak tahu pujian atau sindiran, tapi aku tertawa mendengar kata-kata nya.
“Bukan bijak, hanya mengucapkan kata penyemangat untuk orang yang hampir putus asa.” Sindirku dan Jovin tertawa. Kali ini tawanya lebih lebar.
“Ya.. Ya.. aku tahu itu kok. Untung waktu itu aku ketemu kamu. Kalau tidak aku beneran akan bunuh diri.” Aku mendengus sebal, mengingat bagaimana dia yang hanya diam saat truk besar semakin mendekat ke arahnya.
Rasanya aku juga ingin memaki pengemudi truk besar itu, sudah tahu ada orang gila yang tidak mau minggir, dia nya justru melaju terus tanpa mau berhenti. Mirip sinetron saja.
“Harland Sanders saja sukses di usia 70 tahun.” Aku dan Jovin berucap bebarengan, kemudian kami terdiam. Selang beberapa detik, kami tertawa cukup keras.
“Itu tahu.” Gelakku dan Jovin tertawa semakin lebar hingga matanya benar-benar terlihat melengkung seperti bulan sabit.
Sukses itu tidak bisa kita prediksi, jalan takdir setiap orang berbeda-beda. Ada orang yang sekali mencoba langsung berhasil, tapi tidak sedikit pula orang yang berhasil setelah berkali-kali percobaan.
Gagal itu wajar. Semua orang pernah gagal. Tidak ada orang yang selalu beruntung di setiap hidupnya. Kerikil itu ada, dan itu yang membuat kita sadar kalau jalan tidak selalu mulus. Jalan raya saja ada lubangnya, tapi tidak menutup kemungkinan kalau jalan raya itu juga ada bahan kerikil di dalamnya.
Daripada terus menyesali kegagalan kenapa tidak di koreksi dan dicoba ulang. Jatah gagal ada banyak, tapi jatah kesempatan untuk mencoba dan berhasil jauh lebih banyak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments