Kehilangan

“Aku melihatmu dengan laki-laki kemarin.”

Alisku menyatu. Kami – aku dan Kenzie – sedang berada di rumah sakit. Seperti biasa, kami mengunjungi anak-anak pengidap cancer.

“Aku tidak asing dengan wajah laki-laki itu. Apa aku pernah bertemu dengannya?” Alisku semakin menyatu. Masih bingung dengan pertanyaan Kenzie.

Anak itu tertawa pelan, “Aku baru tahu kalau kamu punya teman laki-laki lain selain aku.” Langkahku terhenti. Satu tangan ku menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Masih berfikir, aku belum menemukan siapa ‘laki-laki’ yang dimaksud Kenzie.

Helaan nafas kasar terdengar. Kenzie mundur dua langkah menghampiriku yang masih diam berpikir.

“Laki-laki yang waktu itu memberi tumpangan payung.” Ingatanku seolah di bawa mundur. Seketika aku teringat siapa laki-laki yang dia maksud.

“Ahh namanya Jovin. Jovin Kaindra.” Ucapku setelah berfikir panjang dan tersenyum ke arah Kenzie.

“Kita nggak sengaja ketemu sebenarnya. Dan, pertemuan nggak sengaja itu berlanjut terus menerus.” Kenzie menatapku aneh. “Pertama kali aku ketemu dia, waktu itu lagi hujan lebat. Dia kacau karena kalah audisi. Terus dia nangis di tengah hujan sampai hampir ketabrak truk. Benar-benar gila. Terus, kita neduh di halte yang sama, dia nggak mau pulang awalnya, terus…”

“Bisa stop nggak?” Aku terdiam. Mengatupkan kedua bibirku dan menatap Kenzie takut-takut. “Jangan ceritakan laki-laki lain dihadapanku.” Tangan kanan nya meraih tangan kiriku. “Kecuali Kak Dhafin dan Kak Andrian.” Lalu, tangannya menyeretku ke tempat dimana anak-anak sudah berkumpul dengan Kak Andrian yang berada di sekitar mereka.

Ada perasaan tidak adil saat anak itu melarangku menceritakan tentang Jovin di hadapannya. Dari dulu kami kenal, aku tidak pernah bercerita tentang siapapun. Karena memang aku tidak punya teman kecuali dia.

Tapi mendengar Kenzie mengatakan ‘untuk tidak bercerita tentang orang lain dihadapannya,’ rasanya aku ingin marah. Dia, selalu bercerita tentang pacarnya di depanku. Dia, selalu menceritakan hal apapun tentang pacarnya padaku. Sementara aku, tidak boleh bercerita tentang orang lain di hadapannya?

Masih tidak paham apa yang sebenarnya Kenzie ingin kan.

Seenaknya membicarakan tentang orang lain, tapi aku dilarang menceritakan temanku.

Apa dia cemburu?

Jawabannya tentu mustahil.

Disini hanya aku yang menyukai Kenzie, tidak sebaliknya. Aku menyukainya dan dia tidak. Aku menyayanginya lebih dari teman, tapi dia hanya menganggapku sekedar teman. Tidak lebih dan tidak kurang.

Aku benci saat aku hanya bisa menahan marah tanpa bisa meluapkannya. Aku benci saat aku hanya bisa protes dalam diam dan tidak bisa mengutarakannya secara langsung. Aku benci, karena takdir tidak pernah berpihak adil padaku.

“Kalian darimana?” Aku tersenyum menatap Kak Andrian. Mencoba mengalihkan atensiku dari perasaan gila yang membuncah di ulu hati. Aku ingin bahagia, sama seperti kebanyakan orang. Bahagiaku aku yang menciptakan, bukan Kenzie atau orang lain.

“Maaf kak, tadi toko masih ramai.” Kak Andrian mengangguk paham.

“Lain kali, kalau toko nggak bisa ditinggal jangan dipaksa ya.” Aku tersenyum dan mengangguk.

“Aku kesana dulu.” Kakiku melangkah mendekati anak-anak yang berkumpul membentuk lingkaran di tengah-tengah taman bermain yang di buatkan pihak rumah sakit. Melepaskan tautan tangan Kenzie yang sedari tadi masih bungkam tidak bicara.

Pikiran ku mencoba membuang tentang Kenzie, yang semakin menghantui ku karena sikapnya yang aneh. Mari ditarik satu kesimpulan kalau Kenzie tidak nyaman. Hanya itu.

“Kak Hyera!!” Teriakan anak-anak itu melengking menyambut kedatanganku. Tanganku terbuka lebar menyambut mereka untuk datang kepelukanku.

Bibirku mendarat pada kepala mereka yang habis tidak berambut dengan hati-hati. Mengelus pipis mereka satu-satu dan menghitung jumlah mereka karena ku rasa ada yang kurang.

“Satu, dua, tiga…” Tanganku bergerak dan mereka diam di tempat, duduk manis menatapku. Gemas rasanya.

“Kok tujuh?” Tanganku kembali terangkat dan menghitung. Ada satu anak yang tidak ada. Jika tidak salah namanya Bamie. Anak laki-laki berumur enam tahun yang sangat menggemaskan.

“Bam…”

“Ra…” Ucapan ku tertelan karena panggilan Kak Andrian. memutar badan pelan, aku menatap Kak Andrian yang berdiri bersebelahan dengan Kenzie.

Tangan Kenzie menarik pergelangan kanan ku. Membuat ku mundur beberapa langkah dan ikut berdiri sejajar dengan mereka.

“Adek-adek main sama suster dulu ya. Kakak-kakak mau pergi sebentar. Besok main lagi.” Suara salah satu suster membuat ku menoleh cepat ke arahnya. Mataku menatap anak-anak yang protes karena tidak jadi bermain.

“Ikut sebentar yuk. Kita ketemu Bamie.” Bisikan Kenzie membuat detak jantung ku berdetak dua kali lebih cepat. Aku tidak mengangguk atau menggeleng. Pandanganku mulai kabur seiring Kenzie menuntun ku keluar dari area anak-anak.

Aku dan Kenzie menyusuri lorong yang semakin lama semakin sepi. Tidak ada Kak Andrian. Laki-laki dewasa itu tidak ikut dengan kami. Katanya ada hal yang ingin ia kerjakan di ruangan ayah nya.

Kaki ku terasa berat saat netraku menemukan deretan bunga beraneka ragam bersandar rapi di sisi ruangan. Mataku semakin kabur akibat air mata yang menumpuk saat aku membaca nama yang tertera pada bunga papan yang saling berdampingan.

“Turut berduka cita” Kalimat yang hanya bisa kuucapkan dari dalam hati tanpa mampu membaca kelanjutannya.

Reflek meremas genggaman Kenzie, kaki ku semakin melemah kala dua orang tua datang dan menyambut kami.

“Bamie menunggu kalian.” Ucapnya yang membuat ku ambruk di atas lantai yang terasa dingin.

Kenzie memapahku pelan. Membantuku kembali berdiri dan menghampiri tempat tidur Bamie bersama-sama.

Aku menatap anak kecil itu dari atas. Mengamatinya seolah anak itu hanya tertidur biasa. Tampan. Satu kata keluar dari dalam hatiku. Setelan jas hitam membalut indah tubuhnya. Dasi kupu-kupu berwarna hitam juga turut bersemat di lehernya. Wajahnya pucat, dan kedua telapak tangannya memakai sarung tangan berwarna putih. Kaki nya berbalut sepatu hitam yang menambahkan kesan tampan padanya. Tidak lupa bunga yang ia genggap di kedua tangan mungil nya. Setelan terakhir untuk Bamie kami tercinta.

“Keadaannya mulai membaik.” Suara Ibu Bamie membuat ku mundur dan menatapnya. “Bamie kami berangsur membaik dan ceria seperti dulu.” Ucapannya terbata-bata. “Aku tidak tahu kalau ternyata baik yang kami lihat justru berdampak buruk padanya.” Tangan suaminya mengelus pelan lengan ibu rumah tangga yang masih terlihat sangat segar itu. “Anak satu-satunya kami, harus pergi secepat ini.” Setelahnya, isakan kembali terdengar dari bilah ibu beranak satu itu.

Aku mendekat ke arahnya. Merentangkan kedua tangannya dan memeluknya sedikit erat.

Ini bukan kematian pertama yang kulihat dari anak-anak pengidap cancer. Bamie menjadi urutan anak kesekian yang gugur karena tidak sanggup melawan keganasan cancer yang bersarang ditubuhnya.

Tanganku mengelus lembut punggung Ibu Bamie. Berkali-kali mengucapkan kata sabar meski aku tahu, kata itu tidak berefek sama sekali.

“Nyonya,” ucapku masih tetap memeluknya. “Aku tahu semua manusia akan pergi. Tidak ada manusia yang akan tinggal lama di bumi yang fana ini. Ada detik dimana mereka akan mengakhiri ceritanya di bumi. Semua manusia datang dan pasti akan pergi. Bamie sudah tidak merasakan sakit lagi, Nyonya. Bamie akan bebas bermain di surga nanti dengan anak-anak lain yang sudah terlebih dahulu pergi. Bamie tidak akan kesepian, Nyonya.”

Pelukan kami mengendur. Ibu Bamie menatapku dengan matanya yang sembab akibat kebanyakan menangis. “Apa aku sanggup merelakan Bamie?” Kepala ku menggeleng pelan.

“Ikhlaskan saja apa yang sudah terjadi Nyonya. Bamie akan sedih jika tahu orang tuanya sedih.” Setelahnya Ibu Bamie kembali memelukku dan terisak.

Aku mendekapnya erat. Air mata ikut turun dan jatuh di pipiku.

Ingatanku kembali melayang. Satu pertanyaan muncul di benakku yang membuatku merasa takut setengah mati. ‘Bagaimana jika aku diposisi Ibu Bamie saat ini?’

Manusia datang lalu kemudian pergi. Dua takdir yang tidak bisa diubah karena semua telah tertulis rapi di catatan indah kehidupan seseorang. Tidak ada yang bisa mencegah, juga tidak ada yang bisa mengubah. Mati nya seseorang tidak ada yang tahu. Jatuhnya seseorang tidak ada yang tahu. Sehat nya seseorang tidak ada yang tahu.

Ada baiknya jika tetap menikmati detik yang tersisa saat ini. Karena nanti, esok, atau lusa, bahkan detik setelah kita bernafas ini, tidak ada satu pun yang tahu apa yang akan terjadi.

Kebahagiaan juga kesedihan setelah ditinggalkan, tidak ada satupun yang bisa memprediksi. Semua akan bahagia, semua akan indah, tepat pada waktunya masing-masing.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!