Aku penasaran kenapa banyak orang suka dengan pelangi. Memang benar, pelangi itu indah, tapi kan mereka datang hanya sementara.
Banyak orang bilang kalau pelangi itu selalu datang setelah hujan reda. Nyatanya, pelangi tidak selalu datang ketika hujan sudah mereda.
Terkadang, hujan indah di waktu tertentu. Gemercik air yang datang bersamaan seringkali memberikan kesan romantis untuk beberapa orang. Tapi, jika pasukan hujan datang jauh lebih banyak, bukan keromantisan yang diberikan, melainkan bencana yang datang sebagai penggantinya. Jadi, tidak melulu pelangi selalu datang sebagai pengganti hujan. Meski indah, kedatangannya pun hanya sementara.
Yang lebih membuatku penasaran adalah, kenapa pencipta selalu menurunkan hujan saat hati dan fikiranku sedang tidak berada di satu jalur yang sama. Terlebih, kenyataan justru mendukung salah satu di antara pilihan hatiku atau pilihan pikiranku.
Kata orang, di setiap keindahan pasti juga ada keburukan, serta disetiap keburukan selalu ada keindahan. Tapi, kenapa yang aku rasa justru tidak sedemikian seperti apa yang orang katakan?
Apa itu hanya dijadikan tameng untuk mereka agar tidak patah semangat? Atau memang aku saja yang kurang bersyukur pada apa yang diberikan pencipta?
“Semua akan baik-baik saja.”
Terhitung, lebih dari sepuluh kali Kenzie mengatakan kalimat itu sejak satu jam yang lalu. Dan itu tandanya, sudah satu jam pula Kak Dhafin berada di dalam ruangan putih itu. Selama itu, dan belum ada tanda-tanda satu orang pun yang keluar dari sana.
Apa yang mereka lakukan didalam sana?
Apa yang mereka perbuat pada kakak ku?
“Dengan keluarga pasien?”
Suara tegas dari seorang Dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu menginterupsi pendengaranku. Aku berdiri setelah Kak Andrian maju terlebih dahulu menemui Dokter Lee yang menangani kakak ku.
“Ikut saya.” Ucapnya tegas, lalu kami –aku, Kenzie dan Kak Andrian- mengikuti beliau.
Setiap langkah yang aku langkahkan mengikuti Dokter Lee semakin lama semakin berat. Apalagi saat ruangan lain yang sepertinya menjadi tujuan kami melangkah mulai terlihat di ujung lorong. Dokter itu terus berjalan tanpa sepatah kata. Kak Andrian yang kutahu tidak pernah serius, kali ini raut wajahnya membuatku sedikit takut. Kenzie yang sedari tadi menyamakan langkahku, menggenggam erat tangan ku tanpa ia lepas sedetikpun.
Aku, sedikit takut.
Sesampainya kami di ruangan yang tadi benar ku maksud, aku merapalkan doa apapun yang bisa ku rapalkan. Berdoa, semoga bukan berita buruk yang akan disampaikan Dokter Lee.
Dengan nada tegas tanpa mengurangi kewibawaannya, Dokter Lee menyuruh kami untuk duduk di kursi sebrangnya.
Kami duduk berdampingan dengan aku di tengah antara Kak Andrian dan Kenzie, kami serempak menatap ke arah Dokter Lee yang menatap kami satu persatu.
Helaan nafas kasar terdengar, Dokter Lee mengucek kedua matanya menggunakan ibu jari dan jari telunjuk, sebelum beliau berujar pelan.
“Dhafin Jenaro, pasien Dokter Aber kan? Ayahmu?” Tanyanya pada Kak Andrian.
Kak Andrian tak mengeluarkan suara, hanya anggukan yang dijadikan jawabannya.
Helaan nafas kasar terdengar dua kali. “Kamu adiknya?” Tanya Dokter Lee, padaku.
Aku pun mengangguk sama seperti yang dilakukan Kak Andrian. Rasanya ruangan yang kami tempati ini serasa sesak dan sedikit sekali pasokan udara. Tangan ku bahkan sudah berkeringat. Bukan karna genggaman yang diberikan Kenzie, tapi memang sepertinya ruangan ini sangat pengap sekali.
“Hyera Jenaro,” Panggilnya, dan aku menajamkan pendengaranku. “Sakit jantung yang dialami kakak mu bukan akibat dari kecelakaan yang kalian alami dulu.” Aku, sedikit terkejut. “Jika kerusakan jantung yang dialami pasien akibat kecelakaan, kecil kemungkinan pasien bisa bertahan. Kebanyakan pasien yang mengalami kerusakan jantung akibat kecelakaan, hampir 60% tidak bisa diselamatkan.” Aku semakin meremat kedua tanganku.
“M-maksud…”
“Maaf.” Suara Kak Andrian memotong kalimatku serta menginterupsi pendengaranku dari sebelah kiri. Aku menoleh ke arahnya, dan aku melihat matanya mulai berkaca-kaca.
“Gagal Jantung Kongestif namanya.” Perhatianku kembali ke Dokter Lee. “Kamu bisa menanyakan ke Dokter Aber sejak kapan pasien mengalami gagal jantung. Yang ingin saya bicarakan ke kamu saat ini, tolong batasi aktivitas pasien.” Seketika aku merenung atas semua hal yang sudah dilakukan Kak Dhafin untukku.
“Jangan buat pasien kelelahan. Hal ini bisa berakibat fatal pada jantungnya. Atur pola makannya, dan jangan biarkan pasien menyentuh hal yang berbau alkohol.” Ya… Kak Dhafin memang peminum.
Aku sering melihatnya minum saat dia sedang sendirian. Aku juga sering menemukan beberapa botol alkohol yang berserakan dimejanya. Bukan hanya satu atau dua botol, kadang aku melihat ada empat botol alkohol dikamarnya.
Aku menyesali ketidaktahuanku tentang Kak Dhafin yang menghabiskan malamnya dengan botol-botol alkohol. Aku pikir aku sudah maksimal menjaganya karena yang kutahu akhir-akhir ini ia jarang sekali mengeluh dadanya sakit. Tapi siapa sangka, kadang yang kita cegah justru malah datang menghampiri tanpa permisi.
Uacapan Dokter Lee yang menyuruhku membatasi aktivitas Kak Dhafin pun juga seolah menghantam dan menghancur runtuhkan dunia di sekelilingku.
Kak Dhafin bekerja keras untukku. Dia yang selalu lembur agar bisa membelikan barang yang aku sukai. Dia yang selalu mati-matian meramaikan cafenya agar bisa mendapatkan untung dan bisa menghidupiku dengan jerih payahnya sendiri.
Seolah hanya aku yang tidak tahu semua tentang kakak ku sendiri membuatku frustasi dan ingin mati detik ini juga.
Aku adiknya, aku yang bersamanya sedari aku terlahir di dunia. Aku yang hidup satu atap dengannya, dan aku yang sedarah dengannya, tapi aku juga yang tidak tahu apa-apa tentangnya.
Apa pantas aku disebut saudara?
Kak Dhafin selalu berusaha mati-matian untuk membuatku bahagia. Menemaniku sampai larut agar aku tidak kesepian, serta menghajar semua orang yang mencemooh ku karena aku cacat dan tidak bisa mendengar, namun nyatanya justru akulah yang menghancurkan kehidupannya.
Aku semakin merasa tidak berguna, saat aku hanya terus-terusan merenungi kekuranganku, sementara ada Kak Dhafin yang menyemangatiku namun dibalik itu ia berjuang untuk hidup, sendirian.
Apa aku berguna?
Aku tanya, sekali lagi. Disini, siapa yang pantas untuk hidup? Aku atau kakak ku?
“T-tapi Kak Dhafin bisa sembuh kan?” Aku harap masih ada harapan untuk kakak ku bebas dari penyakitnya.
Dokter Lee menatapku lama, seolah sedang mencari atau membaca sesuatu melalui kedua bola mataku.
“Batasi aktivitasnya, jangan buat pasien kelelahan. Atur pola makannya. Jauhkan pasien dari alkohol. Jangan sekalipun telat meminum obatnya. Kalau pasien merasa nyeri di dadanya, segera hubungi Dokter Aber.” Dokter Lee berhenti dan menatapku teduh, seolah sedang menatap anak nya. “Kakak mu kuat. Dia pasti akan baik-baik saja.”
Aku mengangguk berbarengan dengan dua butir air mata yang ikut menetes seirama dengan anggukanku.
Kumohon, hanya Kak Dhafin yang tersisa. Jangan di ambil lagi, atau jika memang Kak Dhafin harus pergi, biarkan aku ikut dengannya agar diantara kami tidak ada yang kesepian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Siti Khudsiyah
mengandung bawang thor 🤧
2020-09-08
1