Aku masih berkutat dengan pekerjaanku. Hujan pagi ini masih setia menemani ku sampai detik ini. Ahh… bukan. Bukan hanya hujan yang menemaniku. Lantunan musik ballad yang selalu aku putar tanpa bosan. Salah satu musik kesukaan dia yang dulu sering ia perdengarkan untukku.
Lagu yang sampai sekarang sangat aku sukai.
Namaku Hyera Jenaro. Kalian bisa memanggilku Hyera. Aku cacat. Bukan cacat dari lahir. Tapi aku cacat akibat kecelakaan sewaktu aku berumur lima tahun.
Aku adik dari Dhafin Jenaro. Seorang kakak yang sangat luar biasa hebat. Aku menyayanginya, sangat. Dari dulu, bahkan sampai akhir nafasku aku akan terus menyayanginya.
Bukan hanya dia yang aku sayang. Ada satu laki-laki lagi yang sangat aku sayang. Yang sekarang berdiri disamping ku dan siaga untuk menjagaku. Terimakasih untuk kamu yang masih bertahan hingga detik ini bersamaku.
Menunggu hujan sebenarnya sedikit membosankan. Meskipun aku menyukai hujan, tapi aku ada janji untuk bertemu dengan seseorang malam ini.
Satu kopi cappuchino favoritnya sudah ku siapkan. Aku yakin dia akan senang. Dia, laki-laki yang sangat ku cintai dan tidak pernah ku sangka akan bisa bersamanya meski harus melewati liku-liku kisah yang di bilang tak cukup indah.
Aku ingin membagikan kisahku dengan dia yang selama ini selalu ku puja bagai idola. Bernostalgia pada masa SMA ku mungkin tidak masalah, karena aku akan terus mengenang masa itu, sampai aku tua nanti.
.
.
.
.
.
***
.
.
.
.
.
- I'M YOURS -
.
.
.
Sengaja tidak masuk sekolah memang bukan alasan yang tepat. Aku tidak sakit, aku juga tidak bandel, tapi aku hanya merasa tidak pantas berada di antara banyaknya orang normal di luar sana.
Meski beberapa orang suka menggunjingku, tapi aku bersyukur karena masih ada orang yang sayang padaku. Masih ada yang mengerti kondisiku, dan mereka juga tidak menjauhiku. Termasuk Kenzie, temanku.
Aku saja yang terlalu takut berada di sekitar mereka. Takut menjadi noda bagi mereka yang sempurna.
Biar ku kisahkan sedikit mengapa aku menganggap diriku tak sampurna.
Satu kunci yang perlu kalian tahu, Hearing Aid.
Ya.. aku memakainya. Aku membutuhkannya untuk membantuku mendengar lebih jelas.
Aku mengalami kerusakan pendengaran saat usiaku 5 tahun. Dulu, keluarga kami pernah mengalami kecelakaan hebat. Aku masih mengingat semua kejadian itu, bahkan masih sangat jelas berputas diotakku seolah baru saja terjadi.
Mobil kami di tabrak oleh truk besar yang kehilangan kendali saat supir nya mengantuk namun masih terus memaksa menyetir.
Supir truk itu selamat, namun sampai sekarang masih mendekam di balik jeruji besi akibat kelalaiannya. Hanya saja, kecelakaan itu membuat kami semua harus di rawat di rumah sakit. Aku, ayahku, ibuku, serta kakakku. Kami semua mengalami luka yang cukup parah.
Ayah ku meninggal di lokasi kejadian. Tak lama, tiga hari setelahnya ibuku menyusul ayah. Aku masih belum sadar dari koma. Tiga bulan setelahnya aku baru bangun dari tidurku.
Dan saat aku terbangun, aku mendapatkan kabar yang cukup mengganggu mentalku, saat itu.
Hyera gadis kecil yang baru berumur 5 tahun, harus kehilangan kedua orang tua serta pendengarannya.
Beruntung aku tak kehilangan Kak Dhafin. Kakakku terlalu kuat untuk melewati semua peristiwa itu. Kata Dokter tidak ada kerusakan serius pada tubuh kakakku. Ia bahkan hanya tertidur sehari dan menangis sejadi-jadinya saat Kak Dhafin tahu bahwa ibu turut pergi meninggalkan kami.
Aku yang waktu itu masih berumur 5 tahun, dan kakakku yang berumur 10 tahun masih sangat kecil untuk bisa menghadapi semua peristiwa menyakitkan itu. Kami bingung harus melaluinya seperti apa. Apalagi kakakku, yang harus menghidupiku di saat umurnya pun masih terbilang sangat kecil.
Beruntung ada Kenzie dan keluarganya yang membantu kami. Serta Dokter Aber dan anaknya Kak Andrian yang juga ikut membantu kami.
Aku bersyukur ada mereka. Jika tidak, aku dan Kak Dhafin akan kebingungan bagaimana melanjutkan hidup di usia kami yang masih sangat kecil.
“Tidak sekolah lagi?”
Aku menoleh ke arah sumber suara. Ada kakak ku yang menatapku. Entah sejak kapan, tapi dilihat dari setelannya yang sangat rapi mungkin ia akan pergi ke café.
“Kenapa?” Tanyanya lagi.
Aku menggeleng pelan menyahuti pertanyaan Kak Dhafin. Kakak ku terlampau paham peranggai adiknya saat merajuk tak mau sekolah.
“Mau ikut kakak ke café? Ada Kak Andrian nanti disana. Kau bisa bermain dengannya.”
Meskipun Kak Andrian seumuran dengan Kak Dhafin, namun tingkah serta wajah nya yang imut menggemaskan kadang membuatnya terlihat seumuran denganku.
“Aku kangen Ayah sama Ibu.” Menatap lahan luas dengan banyaknya tanaman bunga, membuatku merindukan sosok kedua orang tuaku.
Disana, taman kecil yang di buat ayah untuk aku dan Kak Dhafin bermain. Ibu yang mempercantik tamannya dengan menanam bunga-bunga indah dan menatanya sangat rapi.
Aku rindu saat dimana aku dan Kakak ku bermain kejar-kejaran, sementara ayah dan ibu duduk di kursi sambil meminum teh. Menjelang sore, mereka akan memanggil kami untuk bergabung di mejanya.
Sebuah kenangan yang terkadang mengiris hatiku.
Duduk di bangku yang sekarang aku duduki. Tempat yang memberikan cerita senja yang indah bersama kedua orang tuaku.
Bagaimana aku merajuk ingin minum kopi Ayah, tapi karena aku masih kecil Kak Dhafin menggantinya dengan susu coklat yang di tempatkan di cangkir Ayah. Menipuku dengan tawa riang nya seolah itu adalah kopi yang sama yang di minum Ayah.
Aku rindu mereka.
“Mau mengunjungi ayah ibu?”
Aku menatap kedua manik coklat Kak Dhafin. Terlalu egois untukku bersedih selama ini. “Tidak Kak,” menurutku, dengan mengunjungi mereka hanya membuatku semakin merindukan mereka.
“Kenzie tahu kalau kamu membolos?”
Aku mengangguk samar, dan Kak Dhafin menjawabnya dengan helaan nafas pelan.
“Jangan terlarut dalam kesedihan. Kamu tidak kasihan dengan Kakak yang masih disini?”
Aku menatap Kak Dhafin lagi. Terlalu sering ia mengatakan “masih disini” seolah waktu itu ia mau pergi ikut Ayah dan Ibu.
“Kakak mau ke café?” Tanya ku mengalihkan kesedihan.
Kakak ku punya sebuah café. Tidak besar, hanya berukuran sedang. Dekat dengan wilayah kampusnya, namun sangat ramai entah itu hari biasa atau akhir pekan.
Kak Dhafin dulu punya satu pegawai, namanya Kak Leo. Orang yang pernah ku sukai dulu. Namun semenjak Kak Leo pindah ke Jerman, Kak Dhafin mengurus cafenya sendiri.
Tak mau mencari pegawai lagi, katanya biar tidak menghamburkan banyak uang.
Jika akhir pekan tiba, kadang aku dan Kenzie membantu Kak Dhafin di café.
“Iya, kakak harus ke café. Kamu mau ikut?”
Menimang tawaran Kak Dhafin, aku menatap kedua telapak tangan yang saling bertumpu di atas meja.
Kedua tangan yang berjuang sangat keras demi menghidupiku. Menjadi kakak sekaligus orang tua hebat agar aku tak kesepian.
Harta orang tua kami banyak. Sangat banyak untuk kami yang masih belum mempunyai keluarga. Namun, aku dan kakak ku memiliki prinsip yang sama. Tak mau menghamburkan warisan Ayah Ibu demi foya-foya tak penting mengikuti hawa nafsu sesaat.
“Mau tidak?” Tanya nya lagi. Sontak aku mengangguk mengiyakan.
Mengirim pesan pada Kenzie, setelahnya aku mengikuti Kak Dhafin yang berdiri. Menggandeng tanganku lalu menuntunku menuju motor hitam miliknya yang terparkir di garasi.
Jarak rumah ku dan café tak begitu jauh. Hanya 15 menit, dan kami pun sampai.
Terlihat sudah banyak orang yang berdiri di sekitar café. Menunggu kapan café itu dibuka. Padahal café Kak Dhafin buka setiap jam 09.00 pagi. Tapi pengunjung sudah mulai mondar-mandir dari jam 08.00 pagi.
“Kakak serius nggak mau cari pegawai? Tiap hari rame loh kak.”
Sedikit melirik sekitar, kemudian Kak Dhafin berujar dengan gampangnya. “Untuk apa mencari pegawai kalau tidak ada yang tampan sepertiku?”
Aku memutar bola mata malas, “Memangnya harus tampan?”
“Iya dong. Selain makanan dan minumannya yang enak, penampilan juga harus nomor satu.” Membenarkan pintu yang baru saja di buka, Kak Dhafin kembali berujar, “Pengunjung zaman sekarang itu munafik. Kalau pegawai tidak tampan, serta tempatnya tidak instagramable jarang diantara mereka yang mau mampir.”
Kalau boleh jujur, aku membenarkan ucapan kakak ku.
Aku pun begitu, tiap aku dan Kenzie mencari tempat untuk makan di akhir pekan, kami pasti akan mencari tempat yang mempunyai spot foto terbaik. Kalau tidak, rasanya agak aneh.
Beruntung Kak Andrian yang mendesain café Kak Dhafin. Gambaran serta desain dibuat dengan tangannya sendiri. Dia kan jago menggambar, jadi hasilnya tidak perlu di ragukan lagi.
Aku mengikuti langkah kaki kakak ku masuk ke café. Menerawang sekitar café, sampai mataku menatap foto keluarga yang terpajang di sudut dinding dengan bingkai kecil berwarna abu-abu.
Foto keluarga kami. Lengkap dengan Ayah dan Ibu waktu keduanya masih hidup. Foto yang diambil seminggu sebelum kecelakaan merenggut nyawa mereka.
“Kenzie akan datang sepulang sekolah, kau bisa menunggunya di dalam kalau bosan.”
“Tidak. Aku mau bantu-bantu kakak saja. Siapa tahu, pengunjungnya datang dua kali lipat lebih banyak.” Ujar ku dengan nada percaya diri yang ku akhiri dengan cengiran khas ku.
Kak Dhafin mengulas senyum simpul. Mengacak rambutku, lalu memberikan apron berwarna hitam padaku. “Kalau lelah, langsung bilang kakak. Adek kakak nggak boleh kelelahan sedikitpun.”
“Ayayy Captain!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
♡ Ñøť Wëâbœ ♡
PRESDIR TIADA AKHLAK
&
SENSEIKU SEORANG BANG JAGO
Harap mampir...
2020-09-08
2
Rose Kanam
dr awal cerita udh menyentuh
2020-09-08
1
SoHee-ssi
smoga gk sad ending deh.. tpi kata-kata 'bernostalgia masa SMA' seakan mnjadi patokn kalo novel ini happy ending.. smoga aj sih gitu, soalnya kalau sad aku gk snggup bcanya thor..
2019-12-08
2