“Selamat datang di Hye Flo, ada yang bisa dibantu?”
“Ohh…”
“Ehh???”
.
.
.
.
.
***
.
.
.
.
.
“Kak Andrian bisa tolong bantu ambilkan pupuk di belakang?!”
“Astaga dosa apa aku dimasa lalu sampai harus bergelut dengan pupuk-pupuk ini?” Cebik nya. Orang itu selalu saja menggerutu jika aku meminta tolong sesuatu. Meski terus ngomel, tapi tetap saja dilakukan.
“Hei, kenapa musti mengeluh? Aku jadi nggak konsen ini benerin lampunya.” Protes Kenzie dengan kedua tangan yang masih sibuk memutar-mutar ujung bohlam lampu.
“Tolong lah, kalian itu laki-laki kenapa mengeluh semua sih?” Mulut ku maju beberapa senti kedepan. Kesal sekali rasanya, ku fikir dengan adanya mereka pekerjaan ku bisa terbantu, ini malah…
“Astaga Ken, pasang lampu aja satu jam. Kamu pasang lampu apa pasang atap rumah?”
“Kak diem bentar dong, aku lempar kecoa dari sini nih.”
“Kalian kalau brisik mending keluar deh!” Protesku dengan kedua tangan yang berkacak pinggang.
Semua orang punya batas sabar. Ya… kalian tahu itu. Dan aku sudah habis kesabaran dengan ocehan mereka berdua sedari tadi.
Jangan tanya kenapa hanya ada dua laki-laki menyebalkan itu, karena Kak Dhafin sedang sibuk di café nya.
Bagaimana keadaannya?
Cukup membaik, kurasa. Aku selalu mengantar dan memberi obat tepat waktu. Makanan yang di konsumsi kakak ku juga ku jaga sebaik mungkin. Meski sembuh bukan kehendak ku, setidaknya aku berusaha mencegah kejadian terburuk yang mungkin bisa menimpa kakak ku.
“Ra, itu di bawah kaki mu apa?!”
Aku berjengkit kaget. Bolpoint yang ada di tangan ku terlempar entah kemana. Buku rekap yang sedang ku kerjakan jatuh kebawah meja.
“Hyera kecoa!!”
Tubuhku kembali berjengkit, Kenzie yang baru saja turun dari tangga setelah memasang lampu dengan sigap menangkap tubuhku yang kaget karena teriakan Kak Andrian.
Kami berdua heboh dengan tangan Kenzie yang melingkar di pinggangku, tanpa kusadari.
“Mana kak, mana kecoanya?!”
Aku berteriak dan menghindar sebisaku, tanpa ku sadari tubuhku semakin menempel pada tubuh Kenzie.
“Kecoa!”
Terikan Kak Adrian selanjutnya sukses membuat ku mendekap semakin erat tubuh Kenzie. Menyembunyikan wajahku pada dada bidang nya.
Bukan cari kesempatan, tapi aku memang takut sama keberadaan binatang satu itu.
Binatang kecil berwarna coklat tua yang jalannya cukup lincah. Badanku lebih besar dari badan binatang itu, tapi kalau binatang itu sudah bereaksi, beberapa orang termasuk aku pasti akan lari menjauh.
Padahal kalau dipikir-pikir, kakiku yang 10 kali lipat lebih besar dari badan kecoa bisa saja menginjak tubuh nya. Tapi kenapa aku musti kabur?
Mungkin lebih tepatnya bukan takut, tapi jijik. Ehh, tapi takut juga sih kalau sayapnya udah mengepak bersiap untuk terbang tinggi menembus cakrawala. Membayangkan saja tubuhku langsung merinding.
Binatang bernama kecoa namun kalau sudah terbang bisa berubah menjadi anjing, bbi, monyet dan binatang-binatang lainnya. Ya… seperti itulah.
“Mana kecoa nya?” Teriak Kenzie.
Tidak ada tanda-tanda keberadaan binatang satu itu. Mulutku yang sedari tadi ribut mengucap kata ‘takut’ dan ‘pergi’ mulai terdiam setelah telingaku mendengar ketawa nyalang dari bilah Kak Andrian.
Aku membuka mataku yang memejam. Mendongak menatap Kenzie yang raut wajahnya menampilkan kebingungan sama sepertiku.
Tawa Kak Andrian semakin memecah keheningan diantara kami –aku dan Kenzie- yang masih saling menatap.
Mengedipkan kelopak mata berkali-kali aku mencoba memahami posisi kami yang dibilang sangat dekat. Sampai akhirnya ucapan Kak Andrian selanjutnya memotong jalur tatap diantara aku dan Kenzie.
“Woy, malah pacaran.” Dan dilanjut lagi dengan tawa nya yang khas alias keras dengan tubuh terhuyung hampir jatuh karena tawanya semakin menggelegar.
Buru-buru aku menjauh kan badanku dari badan Kenzie. Namun naas, sial beribu sial punggung ku menabrak meja hingga meja bergeser beberapa senti dari tempatnya, dan hal itu sukses memecah gelak tawa antara Kenzie dan Kak Andrian.
Aku meringis pelan, mengusap punggung ku yang terasa nyeri. Bukannya di tolong, malah di tertawakan.
“Kenapa sih iseng banget?!” Dengus ku kesal sembari mulut yang mencebik maju.
Tawa Kak Andrian mereda. Mengembalikkan posisi meja ke posisi semula sebelum tergeser akibat dorongan dari punggung ku. “Mana ada kecoa disini sih Ra, kamu aja yang penakut.”
Aku menatap Kak Jungkook garang, “Kan aku reflek.”
“Bilang aja emang kesempatan mau peluk-peluk.” Benar-benar mulut Kak Andrian ini.
“Enggak ya!”
“Iya juga nggak apa Ra,” Di sebelahku Kenzie justru tersenyum sambil merentangkan tangannya lagi. “Sini kalau mau peluk lagi.” Godanya, dengan telapak tangan maju mundur gestur menyuruh ku masuk ke pelukannya.
Aku mendengus sebal. Memilih pergi sambil menginjak kaki Kenzie dengan kasar. Telingaku langsung menangkap aduhan tertahan dari bilah bibir nya. Kak Andrian masih tidak berhenti tertawa. Sereceh itu ukuran humor Kak Andrian, sampai tidak bisa mengendalikan tawanya.
Tiiinnggg…
Aku menoleh ke arah pintu masuk. Ada lonceng otomatis yang akan berbunyi kala pintu dibuka.
“Selamat datang di HyeFlo!” Sapaku dengan semangat dan senyum yang terukir di bibir.
“Ohh!”
Terkejut, mataku menatap seseorang yang masih berdiri di depan pintu dan tak urung untuk masuk. “Jovin?” Sapaku,
“Hai.” balasnya datar tanpa tersenyum.
Aku mengangguk dan kembali tersenyum. Mencoba mencairkan suasana kaget akibat kedatangan Jovin.
“Tokomu?” Tanyanya.
Aku mengangguk lagi, “Iya, silahkan masuk. Ada bunga yang kau butuhkan?” Tambahku.
Anak laki-laki itu berjalan masuk tanpa berniat menjawab pertanyaanku. Langkahnya membawanya menghampiri deretan bunga yang ku tata sedemikian cantik di sudut kanan toko.
Tangannya cukup luwes mengangkat dan memutar tangkai bunga. Kadang matanya tertutup dengan bunga yang ia sodorkan ke arah lubang hidungnya. Mencium aroma bunga yang memang sudah wangi mengisi ruang tanpa tambahan pewangi ruangan.
Aku menatapnya dari sudut toko kiri. Kakiku berjalan menghampiri Kenzie yang berdiri di dekat meja kasir. Mataku masih awas menatapnya. Bukan takut bunga ku di curi, hanya saja…
“Tampan ya?” Suara Kenzie mewakili isi hatiku.
Aku berdehem, mengalihkan tatap mataku dari gerik Jovin. Biarkan anak itu memilih bunga yang disukanya. Lebih baik aku berjaga di meja kasir seperti biasa.
“Hey Ra,” Aku berdehem lagi menyahut panggilan Kenzie. “Cowok itu tampan ya?”
Ujung mataku melirik Kenzie, ternyata tatap mata nya mengawasi gerik Jovin, sama sepertiku, tadi.
“Semua laki-laki juga tampan.” Ucapku ketus.
“Tapi dia memang tampan. Badannya tinggi, kulitnya bersih, matanya…”
“Kau lebih tampan.” Potongku tanpa menatap Kenzie.
Tidak bermaksud membual, anak itu memang itu tampan. Sangat tampan.
“E-hemm..”
“Boleh bertanya?”
Buru-buru aku melangkah mendekati Jovin. Tersenyum dan berkata, “Silahkan, apa yang bisa ku bantu?” Tanyaku mulai melayani pelanggan tampanku. Ahh tidak, maksudku Jovin. Meninggalkan Kenzie yang ucapannya terpaksa terhenti karena aku yang langsung menyusul keberadaan Jovin.
“Ini bunga apa?” Tanyanya dengan mata menatap bunga cantik berwarna putih cerah
Aku tersenyum, mengambil setangkai bunga putih yang di maksud Jovin, tersenyum lembut aku mulai menjelaskan padanya.
“Ini namanya bunga gardenia. Bunga cantik ini sebenarnya sering tumbuh di pekarangan rumah, tapi banyak yang tidak tahu makna dari bunga cantik ini.” Ucapku sedikit menjelaskan.
“Artinya kemurnian kan?”
Tersenyum lagi, aku memberikan setangkai bunga gardenia untuk Jovin yang langsung di terima tanpa tolakan.
“Iya, Gardenia artinya kemurnian. Selain itu, Gardenia mempunyai arti lain yaitu cinta dan kebaikan. Kau bisa memberikan bunga ini untuk teman, kekasih atau keluargamu. Siapapun itu yang menurut mu adalah orang tersayang di hidupmu.”
Jovin menatapku, dan sesekali aku membalas tatapannya.
“Aku mau ini.” Ucapnya datar sembari menyodorkan bunga yang ada di genggamannya.
“Ohh tentu. Akan aku bungkuskan.” Berlalu meninggalkan Jovin, aku kembali ke meja kasir. Kenzie masih disana dan sibuk dengan buku-buku yang ada di meja.
“Mau di bungkus?” Tanya Kenzie dan aku mengangguk.
Tanganku dengan lihai membungkus setangkai bunga Gardenia yang di pilih Jovin. Memakaikan pita berwarna putih dengan garis pink sebagai pemanis. Cukup manis hingga membuat bunga itu semakin cantik.
“Ini bungamu.”
Jovin mengulurkan tangannya dan menerima bunga itu. Menatap gardenia sebentar dan tersenyum kecil. Jika mataku tidak salah, aku menangkap adanya lubang manis di kedua pipi Jovin yang sering di sebut lesung pipi. Apa Jovin memiliki lesung pipi?
“Terimakasih.” Ucapnya lalu membayar tagihan yang di berikan Kenzie.
Anak itu berlalu setelah aku dan Kenzie mengucapkan ‘jangan lupa datang kembali’ secara serempak. Namun, langkah Jovin terhenti dan berbalik. Matanya kembali menatap mataku, ku rasa anak itu senang sekali menatap mata lawan bicaranya.
“Ini untukmu, Hyera.” Aku diam, masih mencerna maksud Jovin. Setelahnya, anak itu melanjutkan langkahnya meninggalkan aku yang masih mematung. Bahkan lidahku kelu untuk sekedar bertanya apa maksud nya memberikan bunga gardenia padaku.
“Ini… untukmu?” Kenzie mengambil bunga itu, menyerahkan nya padaku dan aku menerimanya.
Mataku menatap ke arah pintu yang tertutup tempat Jovin menghilang dari pandanganku.
“Bunga dari pelanggan? Waw!” Tanya Kak Andrian yang tiba-tiba datang di antara kami.
Aku mendengus sebal. Mengamati bunga yang ada di genggamanku, dan sedikit kaget.
Tidak tahu apa arti anak itu memberikan bunga gardenia untukku. Tapi, bunga itu- Gardenia putih – terdapat semburat kuning pada pusatnya, yang berarti cinta rahasia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments