Hujan dan Laki-laki Asing

“Kamu masih menunggu seseorang?”

“E-emm iya. Kamu mau pulang dulu?”

“Tidak. Aku menunggumu saja.”

Kenzie tersenyum tipis. Hari ini kami yang bertugas menjaga café. Kak Dhafib pergi dengan Kak Andrian dari jam 2 siang dan belum kembali sampai café tutup.

Sudah hal biasa aku dan Kenzie menggantikan Kak Dhafin menjaga café jika kakak ku sedang ada urusan di luar. Sedikit repot karena aku yang susah menangkap ucapan pelanggan. Namun, berkat bantuan Kenzie, aku bisa menyelesaikannya sedikit lebih mudah.

Dari samping bisa ku lihat raut wajah Kenzie yang gelisah. Kami masih berada di dalam café. Aku kembali memastikan tulisan depan pintu yang sudah ku ganti menjadi ‘close’ dan semua pintu serta jendela sudah ku kunci rapat. Berjaga, jika ada maling yang masuk. Kakak ku bisa marah jika tahu barangnya ada yang hilang.

Berkali-kali ku perhatikan Kenzie mengecek ponselnya. Entah menunggu panggilan masuk atau menunggu pesan masuk.

Dari arah jendela di belakangku, terdengar ada seseorang yang mengetuk cukup keras. Kami spontan menoleh ke arah jendela.

Seorang gadis dengan rambut panjang bersemat pita kecil di rambutnya mengetuk kaca jendela dengan wajah panik. Sesekali gadis itu menoleh kebelakang. Apa mungkin diikuti seseorang?

Kenzie berlari dan membuka pintu café utama. Membuat lonceng di atas pintu berdenting nyaring. Tak lama, Kenzie merengkuh tubuh gadis itu dan mendekapnya erat. Sebuah dekapan yang tak bisa ku deskripsikan bagaimana dia terlihat khawatir memeluk gadisnya.

Pelukan Kenzie dibalas. Keduanya saling memeluk. Saling bertukar kehangatan lewat dekapan yang tersalurkan di depan café. Mengabaikan masih ada aku yang berdiri menatap mereka dari dalam.

Dadaku nyeri. Air mataku mengalir namun bibirku tersenyum. Cemburu? Iya, bisa dibilang aku cemburu. Namun, saat aku menyadari siapa gadis yang di peluk Kenzie, aku tak punya hak sama sekali untuk cemburu.

Namanya Kimi Nisaka. Gadis pindahan dari Jepang yang sekarang berstatus pacar Kenzie. Lebih tua 3 bulan dari Kenzie dan lebih tua satu tahun dariku.

Kimi cantik, baik dan pastinya sempurna. Cocok dengan Kenzie yang juga tampan dan sempurna.

Perlahan, aku menghapus air mataku. Menegakkan diri dan mengambil tas ransel yang tergeletak di bawah meja. Sekuat hati aku mencoba untuk tersenyum. ‘Jangan egois,’ ucapku dalam hati.

Aku melangkah mantap menghampiri keduanya yang masih berpelukan. Berdehem sebentar untuk membuyarkan aksi pelukan di antara mereka. Air mata terlihat jelas meleleh di pipi Kimi. Ada masalah, mungkin.

Aku tidak ingin menerka, dan aku tidak ingin menebak. Jika Kimi berada dalam masalah, ia datang pada orang yang tepat. Kenzie akan bisa menenangkannya dan akan bisa membuatnya lupa pada masalahnya. Laki-laki itu sangat bisa di andalkan.

“Maaf, aku cuma mau bilang kalau aku pulang dulu.” Kenzie membolakan matanya dengan mulutnya yang sedikit terbuka namun cepat-cepat ku sanggah dengan kata-kata ku lagi. “Ken, kau bisa ajak Kimi masuk. Aku pulang naik bus. Jangan di luar, kalian bisa sakit.” Tak ada jawaban dari Kenzie. Laki-laki itu hanya mengangguk mengiyakan.

Aku tersenyum. Sedikit minggir memberikan celah untuk mereka bisa masuk ke dalam café.

Keduanya kini duduk saling berhadapan di bangku yang tadi kududuki dengan Kenzie. Tangan Kimi di genggam erat. Gadis itu masih menangis, dan sesekali Kenzie menyeka air matanya menggunakan tangannya. Romantis bukan? Sayangnya, aku cemburu dengan keromantisan mereka.

Sedikit tidak rela, namun mau tidak mau ku mantapkan langkahku untuk berjalan mundur. Membalikkan badan dan berjalan secepat mungkin meninggalkan café.

Diperjalanan pikiran dan hatiku terus berperang. Hatiku terus cemburu, tapi pikiranku mencoba menyadarkan hatiku. Dua masalah dalam satu jalur kisah cintaku.

Aku menoleh ke belakang. Tidak sadar seberapa jauh aku berjalan. Yang terpenting aku berhasil jauh dari jangkauan café. Mataku melihat sekitar. Sepi. Disini sepi. Tidak banyak orang yang lalu lalang. Kendaraan juga tidak banyak melintas.

Aku menghembuskan nafas panjang. Menengadah menatap langit gelap yang mendung. Ku pastikan sebentar lagi hujan akan turun. Biasanya saat hujan begini, Kenzie selalu di sampingku. Ikut berdiri atau duduk di sampingku dengan satu tangan yang memegang payung.

Kami banyak menghabiskan waktu bersama. Dan hujan adalah salah satu hal yang sangat kami sukai. Kenzie suka hujan. Aku pun juga suka hujan, karena Kenzie.

Kenzie mengajariku untuk menangis dan meluapkan amarah serta kekesalan hatiku di bawah guyuran hujan. Dan aku membuktikan perkataan anak itu. Aku sering menangis di bawah hujan. Dan aku berterimakasih karena hujan, bisa menyamarkan air mataku. Cukup lega dengan satu hal itu.

Kenzie juga sering menyuruhku mendengarkan lagu ballad. Salah satu lagu rekomendasi Kenzie yang menjadi favoritku adalah “The Truth Untold” lagu dari salah satu Boy Grup bernama Bangtan Sonyeondan. Gambaran dan arti lirik nya mirip denganku. Saat aku mendengar lagu itu, aku menangis. Membayangkan betapa pengecutnya cintaku yang takut mengakui hanya karena aku seorang yang cacat.

Aku malu saat Kenzie tahu jika aku menaruh hati padanya. Aku takut Kenzie akan pergi saat dia sadar kalau aku diam-diam menyukainya. Sebisa mungkin aku mencoba melupakan perasaan ku pada nya. Namun, semakin aku menghilangkan perasaan ku, semakin aku tidak bisa merelakan dia pergi dari hatiku.

Aku kembali menengadah ke langit. Satu bulir air jatuh mengenai dahiku. Aku melirik sekitar, mencoba mencari tempat berteduh sebelum bulir hujan turun semakin banyak.

Mata ku menangkap halte yang tak jauh dari tempat ku berdiri. Menengok ke kanan dan kiri memastikan jalanan benar-benar sepi sebelum aku berlari menuju halte di sebrang tempatku berdiri.

Dan benar, tepat saat kakiku menginjak depan halte, hujan turun dengan derasnya.

Menghembuskan nafas panjang, aku menatap bulir hujan yang turun semakin lama semakin banyak. Ingatanku berputar pada kenangan ku dengan Kenzie yang sering menghabiskan waktu bersama kala hujan turun. Berjalan dan berlarian di bawah hujan, atau setidaknya berebut payung di bawah hujan hingga tubuh kami basah kuyup.

Sekelebat pertanyaan berdengung di pikiranku. ‘Sedang apa Kenzie dan Kimi sekarang?’

Meringis pelan, aku meraba dadaku yang tiba-tiba terasa sesak. Mencoba menepis rasa cemburuku, tapi sayang nya perasaan cemburu itu tak kunjung mau pergi.

Kimi itu pacar Kenzie, aku hanya sekedar temannya dari kecil. Punya hak apa aku untuk cemburu? Sudahlah, membahas perasaan cemburuku tidak akan ada habisnya.

Mataku kembali mengedar ke arah jalanan. Sedikit menggigil kala angin malam menerpa kulitku tanpa permisi. Hingga mataku menatap sosok tinggi yang lewat begitu saja di depan halte.

Aku fikir orang itu akan ikut mampir. Tapi sepertinya aku salah. Orang itu terus berjalan. Mengabaikan halte yang sedang ku naungi beserta aku yang duduk anteng menatapnya.

Raut wajahnya tak begitu jelas. Seorang laki-laki, tinggi, masih memakai setelan seragam sekolah, tubuhnya basah kuyup.

Aku mencoba mengabaikan orang asing yang baru saja melintas. Namun, mataku bertemu sapa dengan cahaya kuning dari arah berlawanan yang bergerak tak tentu arah. Mataku membulat saat truk itu semakin mendekat ke arah orang asing tadi.

Mengikuti insting dan naluri, kakiku bekerja sendiri berlari ke arah orang asing tadi. Tanganku menyeretnya hingga tubuh kami terjatuh ke tanah dengan punggung ku yang menabrak trotoar terlebih dahulu.

Aku mengaduh, sementara orang yang ku selamatkan tadi tak kunjung bangun dari posisinya yang menindihku.

“Hei, bisa kau bangun sebentar?! Punggunggku sakit!” Ucapku sedikit berteriak. Takut jika orang itu tidak mendengar karena suaraku yang bercampur dengan derasnya hujan.

Masih tak bergeming, aku meraba pundak orang asing tadi dan membalikkan badannya. Betapa terkejutnya aku saat pertama kali yang ku tangkap adalah dia yang diam dengan mata terpejam. Aku yakin dia tidak pingsan. Tapi aku yakin dia menangis.

Aku meminggirkan tubuhku. Memijat punggungku yang terasa nyeri, lalu duduk di dekat orang asing yang masih belum bangun dari posisinya.

Bisa ku lihat nama orang itu dari nametag yang terpasang di seragamnya ‘Jovin Kaindra’. Aku mengamati wajah orang itu. Tidak menyeramkan. Wajahnya kalem.

Tak lama, mata orang asing itu terbuka. Aku memberanikan diri semakin mendekat, aku menarik tangan laki-laki bernama Jovin itu. membantunya berdiri, dan membersihkan celananya yang kotor terkena tanah.

Setelah ku rasa cukup bersih dari sebelumnya, aku menengadah menatap Jovin. Laki-laki itu tinggi. Setinggi Kak Dhafin sepertinya. Sorot matanya menatapku. Wajahnya yang kalem tiba-tiba berubah dingin. Bibirnya membiru dan sedikit mengginggil.

Aku mundur dua langkah. Takut jika orang itu terganggu. “Maaf,” ucapku pelan.

“Kenapa menolongku? Kenapa tidak membiarkan aku mati di tabrak?”

Aku menatap tajam ke arah wajah Jovin. Mudah sekali meminta mati. Apa mati salah satu pelarian dari orang-orang yang putus asa?

“Jangan mati. Urusanmu tidak akan selesai dengan kamu tinggal mati.” Entahlah, terkadang aku juga ingin mengakhiri hidupku saat aku sudah tidak kuat dengan kekejaman dunia. Tapi… ku rasa aku harus mulai bangkit dari semua keterpurukanku. Sedikit mencoba bangkit tidak akan menambah beban masalah.

“Kau tidak mengenalku.”

“Tidak harus mengenalmu terlebih dahulu untuk menolongmu.”

“Aku tidak butuh pertolonganmu.”

“Apa susahnya mengucapkan terima kasih?”

“Pergi!” Tubuhku menegang. Laki-laki tadi membentakku?

Pelan-pelan aku berjalan mundur. “Dengan senang hati.” Aku tidak mengenalnya. Dia tidak mengenalku. Kami tidak saling mengenal untuk terlibat dalam urusan yang lebih panjang. Jadi, sekarang biarkan aku pergi seperti ucapannya.

Greebbb...

Tanganku di cekal olehnya. Aku menoleh, dan aku melihat matanya memerah. Kini aku semakin yakin kalau Jovin Jovin itu sedang menangis.

Sayang dia menangis di bawah hujan. Air matanya jadi tidak kentara.

Kami beradu tatap. Laki-laki itu berjalan mendekat ke arahku. Wajahnya semakin mendekat hingga kening nya berakhir di pundakku. Aku merasakan tubuhnya naik turun. Laki-laki itu menangis dan terisak di pundakku.

Aku diam, tidak berniat mengelus punggungnya atau menyuruhnya berhenti menangis. Biarkan dia menangis. Tidak ada aturan yang melarang laki-laki tidak boleh menangis. Semua makhluk di perbolehkan menangis saat hatinya sudah tidak kuat menahan luapan bahagia atau luapan luka. Menangis sah-sah saja. Buka sebuah aib yang harus di tutupi.

Cukup lama Jovin menangis di pundakku. Kakiku terasa kram, dan tubuhku mulai dingin. hujan belum juga menunjukkan tanda-tanda reda. Rumahku tidak jauh dari sini, jika naik bus hanya satu kali naik. Tapi sayangnya, bus juga tidak ada tanda-tanda kemunculannya.

Tubuh Jovin tak lagi bergetar seperti saat ia menyenderkan keningnya di pundakku. Dengan sangat hati-hati aku memegang pundak Jovin dan menatapnya. Matanya sudah tak semerah tadi, dan sekarang mata itu menatapku.

Aku membimbingnya pelan menuju halte. Hal terbodoh yang tak kunjung aku sadari. Ada halte yang bisa kita gunakan untuk meneduh, kenapa memilih menangis di bawah guyuran hujan? Tidak masalah denganku, karena aku sudah kebal dengan air hujan. Tapi bagaimana dengan laki-laki ini?

“Namaku Hyera. Maaf, tapi lebih baik kau segera pulang. Tubuhmu pucat kau pasti kedinginan. Kau bisa sakit nanti.”

“…”

“Aku tidak punya baju kering yang bisa ku pinjamkan padamu. Tubuhku juga basah kuyup, jadi dimana rumahmu?”

“…”

“Ahhh atau paling tidak, kau bisa menghubungi orang rumahmu untuk menjemputmu.”

“…”

“Kau ini…”

“Namaku Jovin. Jovin Kaindra. Maaf membuatmu basah kuyup, dan terimakasih sudah menyelamatkanku.”

Suara Jovin sedikit serak. Tapi untunglah, dia menjawab ucapanku. Ku fikir, dia tidak bisa berbicara.

“Tidak apa-apa. Kau bisa pulang sekarang. Hubungi orang rumahmu biar kau bisa di jemput.”

“…”

Jovin kembali diam. Aku bingung kenapa laki-laki ini terus diam saat aku menyebutkan ‘orang rumah’, apa dia punya masalah dengan keluarganya?

“Aku tidak ingin pulang.” Jawaban yang membutuhkan waktu cukup lama dan setelahnya ia menunduk.

Aku mengelus pundaknya pelan. “Hey, jika ada masalah, bukankah harus di jelaskan dan di selesaikan? Jangan kabur.” Ucapku mencoba menasehati, padahal aku sendiri sering kabur dari masalah. Pecundang? Ya... Itu aku.

Jovin menghembuskan nafas pelan, “Aku gagal.” Dahiku mengernyit. “Hari ini ada audisi menyanyi di salah satu agensi terkenal. Aku gagal, aku tidak lolos.” Helaan nafas kembali terdengar. “Kakak ku berharap banyak padaku. Dia seorang produser dan pencipta lagu, dan aku mengecewakannya.” Raut kecewa terlihat jelas di wajah Jovin. Aku yakin, sebentar lagi air mata itu akan kembali menetes jika ia tak segera menengadah menatap langit-langit halte.

“Kakak ku tidak tidur berhari-hari demi membuatkan ku sebuah lagu. Dia memproduksinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Dia orang yang paling bahagia saat mendengar aku lolos tahap pertama audisi.” Ucapannya terhenti. Matanya kembali menatapku. “Aku tidak bisa membayangkan gimana kecewanya dia saat mendengar aku gagal dalam audisi final.”

Aku bingung harus menanggapinya seperti apa. Aku hanya bisa mengelus pelan pundaknya. Kita tidak saling kenal, memang. Tapi peduli pada sesama tidak harus saling mengenal kan? Karena yang saling mengenal saja belum tentu peduli.

“Bicaralah pelan-pelan pada kakak mu. Dia akan paham. Kau sudah berusaha keras, kau bisa mengikuti audisi di agensi lainnya. Jangan menyerah hanya karna sebuah kegagalan. Jatah gagalmu sudah berkurang satu. Jika kau mau terus berusaha dan menghabiskan jatah gagalmu, kau akan semakin mendekati kesuksesanmu.”

“…”

“Mencoba itu tidak harus langsung berhasil. Kakakmu akan paham, percayalah.”

“…”

Jovin menatapku dalam diam. Aku tidak tahu setelah ini akan bertemu dengannya lagi atau tidak. Setidaknya, aku ingin membuat Jovin kembali semangat dan tidak larut dalam kegagalannya.

Dia harus bangkit. Dia bisa melakukan yang terbaik. Semua kegagalan pasti akan berujung pada keberhasilan. Hanya jalannya saja yang berbeda, dan kendaraan satu-satunya untuk menembus jalan itu adalah dengan terus berusaha.

Terpopuler

Comments

Siti Khudsiyah

Siti Khudsiyah

keren alurnyaaa .. semangat thorrr 😍😍😍

2020-09-08

1

Rose Kanam

Rose Kanam

lanjut thor

2020-09-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!