Cancer dan Bunga Kertas Ungu

Aku duduk di salah satu bangku rumah sakit. Aku sering kesini. Sekedar berkunjung dan berbagi dengan anak-anak pengidap cancer. Mataku menatap beberapa anak yang sedang berlarian dengan kepala tanpa rambut.

Rambut mereka mulai rontok. Beberapa ada yang sengaja di potong habis dan beberapa memang sengaja rontok karena obat keras yang mengalir di tubuh mereka demi membasmi cancer.

Nyeri saat aku melihat mereka secara langsung meringis menahan sakit. Diam-diam aku juga menangis saat mereka meraung meminta tolong agar bisa sembuh dari penyakit yang bersarang di tubuhnya.

Kadang aku sedikit bersyukur dengan hidupku. Aku memang tuli, tapi setidaknya aku masih bisa mendengar meski tidak setajam orang normal pada umumnya.

“Ra, melamun apa?” Aku menoleh ke arah samping kanan. Mendapati Kenzie yang berdiri dengan dua tangan di masukkan ke saku celana.

Aku tersenyum ke arahnya. “Hanya melihat mereka.” Ujarku lalu kembali menatap kumpulan anak-anak yang saling berebut mainan.

“Mau punya berapa anak di masa depan?” Pertanyaan Kenzie sedikit membuatku bergidik. Pasalnya, aku tidak pernah membayangkan tentang kehidupan masa depan. Memiliki keluarga, suami, anak, sekalipun aku tidak pernah memikirkan hal seperti itu.

Aku menggeleng pelan. Dan setelahnya aku mendengar helaan nafas pelan.

“Jangan terlalu mengurung diri dengan kekuranganmu. Kau berhak menentukan hidupmu. Jangan jadikan kekuranganmu menjadi beban hidupmu sampai menutup jalur masa depanmu.”

Lontaran kata Kenzie hanya ku balas dengan senyuman. Aku memang minder. Aku memang sedikit menjauh dari lingkungan sosial. Aku menutup diri dari lingkunganku. Hanya orang-orang terdekat yang mungkin paham posisiku. Meski aku tidak pernah meminta mereka untuk sekedar memahamiku.

Aku cacat. Kebanyakan orang di luar sana memandang rendah orang yang mempunyai keterbatasan. Di sosial media mungkin mereka respect dengan beberapa orang yang memiliki keterbatasan, tapi fakta nyata di dunia, orang cacat teteplah orang cacat yang mereka pandang sebelah mata.

Di belahan dunia lain pun aku yakin sama. Itulah kenapa aku selalu menutup diri dari lingkungan. Meski aku tidak bisa mendengar jelas cercaan mereka, namun aku bisa membaca cacian mereka lewat tatap mata memicing yang selalu di hadiahkan padaku. Jijik mungkin. Padahal aku juga manusia sama seperti mereka. Tapi jelas sekali mereka membedakanku.

Hanya karena aku berbeda, mereka terus-terusan merendahkanku. Peduli di depan, tapi terang-terangan mencaciku di belakang. Aku tahu itu. ingin protes dan memaki balik rasanya. Tapi aku sadar, aku ini siapa? Hanya gadis cacat yang sangat menyusahkan.

“Kak,” lamunanku disadarkan oleh anak kecil yang berdiri di depanku. Satu tangannya memegang bunga palsu berwarna ungu yang sepertianya ia buat sendiri dari kertas lipat.

“Kata kakak itu, kakak suka bunga. Ini buat kakak. Tapi jangan sedih lagi.” Aku mengikuti arah tunjuk yang di arahkan anak kecil tadi. Mataku menatapnya sebentar kemudian tersenyum ke arahnya.

Kak Andrian selalu tahu kesedihanku tanpa perlu aku mengadu bahwa aku sedang sedih.

“Terimakasih.” Ucapku lalu memeluk tubuh kurusnya.

Tanganku bergerak mengusap pelan kepala anak itu. Saat aku mengusap kepalanya, hatiku berdesir nyeri. Ingin menangis rasanya.

Pelan-pelan aku melonggarkan pelukanku. Setelahnya, anak itu kembali berlari dan bergabung dengan teman-temannya. Tertawa dan bermain lagi. Senyum nya sangat lepas, membuat hatiku sedikit menghangat.

“Ada masalah?” Kenzie yang semula berdiri, kini mengambil tempat untuk duduk di sampingku. Aku bahkan tidak menyadari kapan ia berpindah tempat.

“Aku melihat tumpukan obat di laci Kak Dhafin.” Kataku sembari mengingat saat aku beres-beres kamar kakak ku, dan betapa terkejutnya aku saat aku menemui banyak sekali bungkus obat di laci kakak ku.

Beberapa dari kotak obat itu sudah hampir habis isinya. Ada yang berwarna putih tulang, ada yang berwarna keabuan. Aku bukan anak kesehatan, aku tidak bisa membedakan jenis obat apa yang dikonsumsi kakak ku.

Tulisannya pun latin. Mengejanya saja percuma. Tapi yang ku tangkap, Kak Dhafin dalam kondisi yang tidak baik sekarang.

“Obat penghilang nyeri mungkin.”

Aku mengernyit, “Nyeri? Nyeri apa?”

“Kakak mu sering lembur di café. Dia juga pekerja keras. Bisa saja badannya pegal-pegal. Makanya dia mengkonsumsi obat itu untuk menghilangkan sedikit rasa nyerinya. Beberapa orang dewasa juga mengkonsumsui obat untuk kesehatannya.”

Tidak tahu apa aku harus percaya pada ucapan Kenzie. Sedikit aneh jika itu hanya obat nyeri biasa atau sekedar obat penghilang rasa pegal. Aku hanya takut kakak ku diam-diam sakit dan tidak mengatakannya padaku karena takut aku akan khawatir.

Aku hanya punya Kak Dhafin. Hanya dia. Dan ku harap, dia tetap sehat agar bisa menjagaku sampai nanti kita berdua dipertemukan kembali dengan ayah dan ibu.

Aku menunduk, menatap setangkai bunga kertas ungu yang diberikan anak tadi untukku. Memelintir pelan dan aku amati kelopaknya satu persatu.

Aku teringat dengan ucapan Kak Dhafin waktu aku tidak bisa tidur dan malah sibuk berkebun untuk menata bunga di taman belakang rumah kami.

Kak Dhafin menghampiriku. Bertanya basa basi kenapa aku tidak tidur, dan jawabanku karena memang aku tidak bisa tidur.

Aku suka bunga, ada jenis banyak bunga yang aku rawat. Awalnya aku tidak telaten merawat mereka. Namun, karena bunga selalu mengingatkanku pada mendiang ibuku, aku jadi bersemangat merawat mereka seolah yang ku rawat adalah ibuku.

Kak Dhafin menghampiriku dan membawa pot mawar pink kecil yang bertengger di dekat pagar. Memberikannya padaku lalu berujar pelan. “Bunganya mekar. Tapi kecil.” Ucapnya sambil memandang bunga yang memang baru tumbuh kucup. Belum mekar sempurna.

Aku tersenyum mendengarnya. Melihat senyum tipisku, Kak Dhafin kembali berujar, “Umur seseorang itu seperti bunga. Di kasih pupuk agar lahir dan tumbuh. Setelah tumbuh mereka akan berkuncup. Umur manusia dimulai dari kuncup bunga. Semakin berkembang, manusia semakin besar. Dan saat sudah mekar dengan indah, mereka akan gugur terus lama-lama layu.” Aku menghentikan kegiatanku dan menatap kakak ku. “Saat gugur itulah manusia mulai sakit-sakit an. Mereka mulai gelisah tentang umurnya yang tidak lama lagi. Dan saat bunga layu lalu mati, itu pula pertanda umur manusia habis dan tugasnya di dunia selesai.”

Aku teringat ucapan kakak ku. Sedikit membenarkan ucapannya. Manusia datang kedunia namun akan pergi meninggalkan dunia. Itu bukan mitos. Tapi fakta yang akan di hadapi semua manusia.

Perihal tentang bunga layu yang di katakan kakak ku tempo hari, apa aku bisa meminta pada Tuhan agar hidup kakak ku diganti dengan bunga kertas?

Aku ingin kakak ku terus hidup dengan bahagia. Jangan sakit apalagi bersedih.

Mungkin aku beban untuknya, tapi bisakah dia tetap bahagia dan menemukan pasangan hidupnya di masa depan lalu hidup dengan layak?

Bibir ku tersungging tersenyum masam. Hidupku yang mulai berubah setelah kecelakaan yang menimpa keluargaku waktu aku masih kecil dulu benar-benar membuat mood ku sering berubah. Tidak jarang aku berfikir mengakhiri hidupku. Bunuh diri misalnya. Tapi aku selalu teringat dengan kakak ku yang merawat ku dan membesarkanku hingga saat ini.

Menjaga seorang adik yang cacat dan menyusahkan. Apa yang bisa ku lakukan? Hanya menanam dan merawat bunga, mungkin.

Tidak ada keahlian khusus yang bisa ku tunjukkan pada kakak ku dan membuat kakak ku bangga. Aku tetaplah Hyera yang menyusahkan.

Gadis cacat dengan segala kekurangannya yang hanya bisa menyusahkan kakaknya.

Bolehkah hidup di tukar?

Konyol.

Mau sampai kapanpun aku mengadu pada takdir, semua yang terjadi tetaplah tak bisa diganti dan di ulang. Menawar untuk hidup lebih baik di kemudian hari? Aku bisa merubahnya pelan-pelan jika aku punya tekad hidup lebih baik.

Jika, aku punya tekad.

“Mau pulang saja? Dari tadi aku lihat kamu merenung terus.” Aku memang bukan tipe orang yang bisa menyembunyikan kegelisahan dan kesedihanku. Ekspresi wajahku akan sangat kentara saat mood ku sedang dalam kondisi tidak baik. Aku bukan aktris yang bisa berakting dengan baik di dunia ini.

Aku mengangguk sebagai jawaban. Kenzie berdiri terlebih dahulu. Mengulurkan tangannya untuk menggandeng tanganku. Dengan senang hati ku terima uluran tangan Kenzie. Aku bersyukur, temanku itu tak meninggalkan ku meski aku cacat.

Kami berjalan menghampiri Kak Andrian yang masih sibuk bermain dengan anak-anak pengidap cancer. Melihat kami menghampirinya, Kak Andrian berdiri dari tempatnya bersimpuh. “Kalian mau pulang?” tanyanya.

“Iya Kak. Udah sore juga, kita pamit dulu.” Pamit Kenzie dan diikuti olehku.

Seperti biasa, Kak Andrian selalu mendaratkan kecupan ringan di kepalaku. Mengacak pelan rambutku sambil berkata ‘hati-hati di jalan’.

Mirip seperti Kak Dhafin.

Kak Dhafin sering memperlakukanku seperti itu. Dan kurasa Kak Andrian menirunya. Katanya, aku sudah di anggap seperti adiknya. Makanya dia sangat perhatian dan baik padaku.

Aku pun juga menyayangi Kak Andrian seperti aku menyayangi Kak Dhafin. Kak Andrian punya kontribusi besar di hidupku dan hidup kakak ku. Selalu datang paling awal membantu kami saat kami membutuhkan pertolongan.

Sedikit menggelikan mengucapkan ini, tapi Kak Andrian memang super hero kami. Aku harap, Kak Andrian bisa hidup lebih baik dan terus bahagia kedepannya.

Aku berjalan beriringan dengan Kenzie. Telapak tanganku masih bertengger di telapak tangan besarnya. Tidak ada niatan dari nya untuk melepaskan atau sekedar melonggarkan genggaman. Erat, seolah ia tak ingin aku pergi jauh.

Hal ini tentu membuat hatiku bergetar.

Sebuah mitos tentang cinta yang tumbuh dari persahabatan laki-laki dan perempuan, dan itulah yang terjadi padaku sekarang.

Menyangkal tidak mempercayai mitos itu pun percuma. Karena aku memang menyukai Kenzie. Tidak tahu sejak kapan aku menyukainya. Perasaan itu mengalir begitu saja seiring waktu sering membuat kita bersama. Aku menyukai Kenzie. Dan aku menyayangi Kenzie layaknya perempuan pada laki-laki pada umumnya.

Meski hanya sekedar menyukai dalam diam, tapi aku bahagia.

Aku tidak menuntut Kenzie membalas perasaanku. Aku tidak menuntut Kenzie tahu perasaanku. Aku tidak meminta Kenzie untuk terus bersamaku. Cukup aku saja yang merasakan perasaan lancang ini. Kenzie akan malu jika gadis cacat sepertiku menyukainya.

Dia pantas mendapatkan gadis yang jauh lebih baik. Ada banyak, dan dia pasti bisa menemukan salah satu di antara mereka.

Brukkk...

Tubuhku terhuyung dan hampir jatuh jika Kenzie tidak cekatan menangkap tubuhku.

“Kau tidak apa-apa?” Tanya nya dengan sorot khawatir. Gelengan kepalaku menjadi jawabanku untuknya.

“Bisa minggir nggak?! Aku teriak dari tadi, kenapa kalian nggak minggir?!” Orang yang menabrakku tadi mengomel dengan wajah sangat-sangat marah.

“Maaf, saya tidak mendengar peringatan Paman.” Maafku sambil membungkuk badan sopan.

“Kau itu…” Ucapannya terhenti. Jari telunjuk yang tadi sempat menuding di depan wajahku spontan ia turunkan. Paman tadi tertawa sinis dengan kedua tangan yang berkacak pinggang. “…pantes aja nggak denger.” Suara paman tadi memelan kemudian maju dua langkah di depanku. “Dasar tuli!” Ucapannya pelan, namun menekan di akhir.

Tubuhku menegang. Aku memang tuli, tapi apa semua orang tuli seburuk itu? Apa tidak bisa memberi peringatan dengan cara pelan? Apa tidak bisa menggunakan kata lain selain menuding kasar secara langsung seperti tadi?

Aku memang tuli. Aku memang cacat. Aku memang berbeda. Tapi apa harus aku di bedakan dan di maki? Tidak bisa mendengar juga bukan keinginannku. Haruskah aku memakai nametag dengan tulisan ‘Aku Tuli’ agar semua orang tahu dan tidak menabrak ku?

Haruskah aku umumkan pada dunia tentang siapa aku yang cacat ini?

Aku memegang hearing aid yang ada di telingaku. Satu tanganku memegang dadaku yang tiba-tiba terasa nyeri. Maaf, meski kenyataannya aku memang tuli, tapi aku sakit hati.

“Udah, Paman tadi cuma emosi dan buru-buru. Nggak perlu di masukkin ke hati.” Kenzie tersenyum lembut. Mengusap pelan pundakku menyalurkan semangat dari dalam dirinya.

Aku tersenyum simpul membalas senyuman nya. Mengangguk sedikit lalu kami kembali berjalan.

Sepanjang jalan menuju parkiran, aku terus memikirkan perkataan Paman tadi. Apakah hina menjadi orang yang mempunyai kekurangan? Apakah salah menjadi deretan orang cacat?

Menjadi cacat, bukan keinginannku. Bisakah seisi dunia berhenti menghinaku?

Terpopuler

Comments

Rose Kanam

Rose Kanam

kasihan ya thor

2020-09-08

1

SoHee-ssi

SoHee-ssi

nyesek bcanya, gak bsa byangin jdi hyera..

2019-12-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!