“Masih tidak mau mengaku?”
Kenzie menggeleng pelan. Tangannya masih menggenggam seikat bunga tulip warna warni yang di berikan Hyera 3 jam lalu.
Beranjak pergi meninggalkan Hyera dan tokonya saat tangannya meraih seikat bunga yang di sodorkan Hyera. Untuk Kimi, katanya.
Helaan nafas terdengar berat dari lawan bicara Kenzie. Menyandarkan punggung sempitnya ke sandaran bangku rumah sakit, sambil kedua tangannya saling bersedekap di depan dada.
“Kak Dhafin sakit. Hyera cukup terpukul saat tahu tentang penyakit Kak Dhafin.”
“Sudah kubilang, suatu saat Hyera akan tahu semuanya. Tidak ada saudara yang tidak terpukul saat tahu saudaranya sakit keras.”
“Aku punya alasan untuk tidak memberitahunya.”
“Karena terlalu menyayanginya?” Helaan nafas kembali terdengar berat. Tangan yang tadi dipakai bersedekap dada turun untuk menangkup pipi Kenzie.
“Dengar kan aku.” Ucapnya, “Kau boleh menjaganya, kau boleh merawatnya, kau boleh menyayanginya semaumu, lakukan sesukamu. Tapi jika ada hal besar tentang Kak Dhafin yang kau tau tapi Hyera tidak tahu, beritahulah. Karena rasanya seribu kali jauh menyakitkan jika kita mendengar kabar buruk dari mulut orang lain.”
“Kau tahu kan Hyera itu termasuk kelemahanku?”
Orang itu mengangguk paham. “Tapi kau juga tahu kalau Kak Dhafin itu kelemahan Hyera.”
.
.
.
.
.
***
.
.
.
.
.
Aku memacu langkah cukup cepat. Waktu menunjukkan pukul 21 lebih 10 menit. Aku telat. Janji ku pada Pak Sam jam 21:00 mulai belajar, dan parahnya aku mengabaikan waktu 10 menit hanya untuk mengurusi pasangan remaja yang sibuk memilih bunga padahal yang dibeli hanya setangkai.
Sedikit menjengkelkan saat mendapat pelanggan seperti itu.
Harusnya aku bisa lebih sabar, tapi aku juga punya waktu lain yang harus ku gunakan sebaik mungkin untuk belajar. Apalagi, aku belum terbiasa dengan waktuku yang sekarang. Membagi waktu antara belajar dan menjaga toko. Sungguh, diumurku yang masih muda ini, rasanya cukup melelahkan.
Kasihan kan Pak Sam, sudah jauh-jauh meluangkan waktunya untuk datang megajariku. Tapi aku malah datang terlambat.
Bisa ku lihat mobil BMW berwarna hitam terpakir di pekarangan rumah. Jantungku ikut berpacu seperti langkahku. Aku gugup, harus bicara apa nanti jika Pak Sam memarahiku karena aku terlambat? Menyusun semua alasan yang sedikit masuk akal, atau aku harus berbicara jujur tentang pasangan remaja yang menyebalkan tadi? Bahkan Pak Sam belum tahu kalau aku punya toko bunga.
“Hyera?!”
Langkahku terhenti berbarengan dengan suara yang memanggilku dari arah belakang.
“Kenzie?” Tidak tahu kapan anak itu sampai di rumahku. Sosok nya kini berdiri menjulang di belakangku. “Kenapa kesini?” Tanyaku heran dengan alis yang saling tertaut.
Bukannya menjawab pertanyaan ku, Kenzie justru mengangkat tangan kanan nya, menampilkan satu tas ransel berwarna hitam yang aku sendiri tidak tahu isinya apa.
“Belajar denganmu.” Jawabnya sambil memamerkan tas ranselnya.
Tidak mau berpikir panjang, aku mengangguk dua kali lalu mempersilahkan Kenzie melangkah lebih dalam ke arah rumah.
Di ruang tamu, bisa ku lihat Pak Sam dan Kak Dhafin sedang tertawa sembari meminum teh. Aku bahkan tidak tahu kalau kakak ku pulang cepat hari ini. Biasanya Kak Dhafin akan pulang jam 11 malam.
“Ohh lihat. Hyera datang.” Seru Kak Dhafin sambil berdiri dan merentangkan tangannya.
Aku menghambur pelan menyambut pelukan Kak Dhafin, lalu membungkuk memberi salam juga mengucapkan maaf pada Pak Sam yang sudah kubuat menunggu.
“Tidak apa, kakak mu sudah menjelaskan semuanya. Belajar kita fleksibel, jadi tidak perlu merasa cemas karena telat.”
Aku tersenyum mendengar penuturan Pak Sam. Entah hanya menurut ku saja atau memang sebenarnya Pak Sam adalah guru yang sangat baik, dan bijak tentunya.
Bisa memberiku kekuatan dan berfikir sedikit jernih dari nasehat yang diberikannya padaku. Cukup bersyukur aku bisa bertemu dengan mereka yang mempunyai pikiran rasional juga sikap saling menyayangi satu sama lain. Sungguh, aku pikir ini anugerah dari kekurangan yang aku punya.
“Belajar yang bener. Kakak ke kamar dulu, mau istirahat.” Pamit Kak Dhafib dan aku dengan segera mengiyakan.
“Jangan lupa minum obatnya kak!” Seruku saat ku lihat kaki Kak Dhafin hampir menginjak tangga lantai dua.
Kak Dhafin menghentikan langkahnya, sekitar tiga detik ia berbalik dan mengangguk dengan senyum manis ke arahku.
Akupun membalas senyuman nya.
Tidak tahu sampai kapan aku bisa bertukar senyum dengan kakak ku. Yang ku fikirkan sekarang adalah, menghargai waktu yang tersisa agar aku maupun kakak ku tidak menyesal saat kejadian buruk menimpa kami selanjutnya.
“Kakak mu sakit?” Aku diam. Menatap Pak Sam yang berdiri di depanku. Tidak menjawab dan hanya tersenyum lembut ke arahnya.
Beruntungnya Pak Sam langsung membalas senyuman ku dan mengucapkan maaf. Tidak berniat bertanya untuk kedua kalinya. Laki-laki dewasa yang cukup peka, pikirku.
“Ahh Pak, kenalkan aku Kenzie. Mulai sekarang aku akan ikut belajar bersama Hyera.” Kenzie tersenyum dan membungkuk ke arah Pak Sam.
Pak Guru berlesung pipi itu membalas senyuman Kenzie. “Dhafin sudah memberitahuku sebelumnya. Selamat bergabung dengan kami Ken.”
Kami - Kenzie dan aku - saling pandang lalu tersenyum. Duduk berdampingan dengan Pak Sam yang mulai sibuk membolak-balikkan bukunya.
“Setiap hari belajar jam 9 malam?”
Menoleh sebentar ke arah Kenzie, aku menjawab pelan. “Kadang-kadang. Pak Sam bisa menyesuaikan jam sesuai jadwal yang ku mau.”
Anak itu mengangguk paham. Mengambil benda hitam dari dalam tas lalu memakainya.
“Sejak kapan kamu pakai kaca mata?” Tanyaku heran. Karena yang ku tahu, dia tidak berkaca mata.
“Ohh, ini punya Fero. Teman sekelas kita dulu. Aku mengambilnya karena ku fikir ini keren.” Menaik turunkan alisnya menggoda. “Bagimana, keren tidak?”
Demi Tuhan aku menahan nafas saat anak itu mulai membual. bukan terkesima, hanya…
…gampang nya begini. Aku memang menyukai Kenzie, tapi kalau dia sudah masuk mode percaya diri di atas rata-rata seperti kakak ku, aku juga bisa sedikit ilfil. Ya, kakak ku kalau sedang masuk mode percaya diri, bisa membuat semua orang disekitarnya bergidik ngeri.
“Kok diem. Ganteng kan?” Memamerkan gigi putihnya, serta satu tangan memangku kepala.
“Enggak sama sekali.” Acuhku lalu fokus ke arah buku tebal yang ada di depanku.
Pak Sam sudah bersiap dengan kaca mata yang mengantung di atas pangkal hidungnya. Dahinya mulai mengernyit lalu tersenyum saat tangan yang sibuk membolak balik lembar buku itu menemukan materi yang mungkin di carinya sedari tadi.
Matematika, kami sedang belajar mata pelajaran itu hari ini.
Sebenarnya aku lebih suka sejarah daripada matematika. Bagiku, menghitung hanya membuat otak ku semakin panas dan mendidih.
Aku jadi teringat waktu dulu aku masih kecil lalu ayah ku mengajari kakak ku belajar matematika. Dulu, ayahku sangat pandai dalam bermain angka. Ayahku juga pernah meraih juara pertama dalam lomba matematika antar sekolah waktu beliau masih duduk di bangku sekolah menengah atas.
Bukan tingkat nasional memang, tapi prestasi itu cukup membanggakan untuk aku yang sama sekali tidak pandai dalam hal hitung menghitung.
Ahhh… kecuali menghitung uang.
Aku juga masih ingat bagaimana ayahku dulu mengajari Kak Dhafin agar pria itu tidak terlalu pusing dalam memecahkan bilangan atau rumus matematika.
Mungkin umurku masih kecil, tapi jangan salah, aku masih mengingat detail kenangan ku dengan kedua orang tuaku.
Bagaimana dulu ayahku pernah bertanya pada Kak Dhafin, tentang caranya sebuah persegi bisa menjadi persegi ajaib yang memiliki jumlah diagonal menurun serta mendatarnya sama, namun hanya di jawab Kak Dhafin dengan gelengan dan membuat ayah tertawa.
Kenangan-kenangan kecil namun sangat bermakna, yang membuat ku rindu berada di sisi mereka.
Aku sering bertanya pada pencipta, apa yang sedang di lakukan ayah dan ibuku disana. Apa mereka di dipertemukan dalam tempat yang sama, atau mereka masih berkelana untuk mencari satu sama lain? Sungguh, aku benar-benar merindukan mereka.
“Fokus Ra.”
Mataku melirik ke arah kanan, lalu netraku bergeser ke samping dan bertemu pandang dengan Kenzie.
Anak itu tersenyum ke arahku. Tangan kiri nya menggenggam tangan kananku. Mungkin dia tahu kalau aku sedang melamun.
Aku mengangguk dalam artian berjanji untuk tak melanjutkan lamunanku. Menatap bibir Pak Sam yang tanpa henti mengoceh tentang x dan y yang harus dirubah dalam bentuk angka.
Serius, aku tidak paham sama sekali.
Kenzie bergeser semakin mendekat, tangan yang tadi ia pakai untuk menggenggam tanganku beringsut turun dan menahan tubuhnya tepat di belakang punggung ku. Hal itu cukup untuk membuat nafas ku tertahan beberapa detik, sampai kalimat Kenzie berikutnya membuatku sedikit tercengang.
Dia berujar pelan dengan suara nya yang agak serak. Berkata di belakang telinga yang mampu membuat tubuhku merinding. Bisa dibilang, selama kami berteman baru kali ini aku merinding karena bisikan Kenzie. Padahal anak itu hanya berbisik, ‘Ra, kamu belum mandi ya? Badanmu bau.’
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments