“Jangan terlalu banyak dikasih air. Nanti akarnya bisa busuk.” Kak Dhafin spontan menghentikan aktivitasnya. Menoleh kearahku yang memperhatikannya sedari tadi.
Hari masih pagi. Terlalu pagi untuk kakak ku berangkat ke café. Aku sudah tidak sekolah di sekolahan lagi sekarang. Lebih nyaman home schooling daripada tiap hari harus bertemu orang-orang yang tampak ramah di luar namun menghinaku di dalam.
Selain itu, aku juga menghindari pertemuan antara Kenzie dan Kimi. Aku tidak ingin hatiku kembali sakit saat melihat mereka berinteraksi. Sebenarnya, membayangkan saja sudah membuat hatiku sakit.
“Maaf.” Lirih Kak Dhafin. Mengembalikan selang penyiram tanaman ke tempatnya lalu berjalan menghampiriku yang sedang asyik menata bunga.
“Kakak mau belajar menata bunga?” Tawarku pada Kak Dhafin yang sibuk mengamati gerak gerikku.
Kak Dhafin menggeleng pelan. Matanya masih fokus ke arahku, aku sadar itu. “Mau sarapan apa?” Tanyanya.
Aku tersenyum kecil, “Apa saja masakan kakak akan aku makan kok.” Jawabku di akhiri tawa renyah.
Kak Dhafin kembali menghela nafas pelan. Entah hanya firasatku saja atau memang benar adanya, sepertinya ia sedang banyak fikiran akhir-akhir ini.
Aku meletakkan gunting biru kecil yang ku gunakan untuk merapikan pinggiran bunga. Menumpu kedua tanganku, lalu menatap kedua manik coklat kakak ku.
“Kakak ada masalah?” Tanyaku.
“Tidak. Hanya sedikit lelah setelah lembur semalam.”
“Mau mencari pegawai saja? Warisan dari ayah ibu sama sekali belum tersentuh loh kak. Kita bisa hidup kecukupan sampai kita tua, apa kakak tidak mau menggunakannya saja?”
Sudah sering aku membujuk kakak ku menggunakan warisan ayah ibu. Aku kasihan pada nya. Andai aku bisa berguna sedikit, mungkin aku bisa membantu nya. Aku tidak tahu pasti apa alasan Kak Dhafin tidak mau menyentuh harta orang tua kami. Tiap ku tanya alasannya pasti untuk masa depan ku kelak. Sedikit membingungkan, padahal warisan itu untuk kami berdua bukan hanya untuk ku saja.
“Sudah kakak bilang, kakak masih mampu mengurus café sendiri.”
“Tapi kakak sering lembur. Nanti kakak bisa sakit karena kelelahan.”
Kak Dhafin tersenyum lembut ke arahku. “Ada Andrian yang bisa kakak andalkan. Anak itu bisa membantu kakak kapan saja. Kamu tidak usah khawatir.”
Seharusnya memang aku tidak perlu khawatir. Kakak ku pria yang kuat. Pria yang sangat bertanggung jawab dan juga pekerja keras.
Kakak ku mandiri, bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Tapi meski begitu, Kak Dhafin satu-satunya keluarga ku yang tersisa. Sampai kapanpun aku akan terus mengkhawatirkannya. Aku tidak ingin Kak Dhafin terluka. Aku ingin dia terus hidup bahagia.
“Pak Sam datang jam berapa nanti?”
“Katanya jam 9.”
“Belajar yang benar. Kamu harus jadi orang sukses di masa depan.”
“Aku cacat kak.”
“Tidak ada aturan orang cacat tidak boleh sukses.” Kak Dhafin menghembuskan nafas pelan. “Semua manusia itu cacat, sayangnya kecacatan mereka tidak terlihat di depan mata kita.”
Aku mengangguk mengiyakan perkataan Kak Dhafin. Pak Sam, guru yang mengajariku juga mengatakan hal yang serupa. Katanya semua orang itu pasti punya ke cacatan, punya kekurangan. Dengki misalnya, itu termasuk cacat hati, begitu kata Pak Sam.
Aku kadang tidak terlalu paham dengan istilah-istilah yang sering di katakan Pak Sam. Tapi aku tahu, tujuan beliau mengatakan itu agar semangatku kembali tumbuh. Tidak ada di dunia ini makhluk yang sempurna. Itu yang ku tangkap. Sekalipun kita punya wajah yang cantik dan mendapatkan perhatian dari banyak orang, hal itu tidak bisa menjadi tolak ukur seseorang menjadi sempurna.
Hidup berputar. Aku tahu itu. nasib seseorang juga akan terus berubah. Ada kalanya hari ini kita mendapatkan air mata, tapi sedetik setelahnya kita mendapatkan tawa bahagia. Itulah kenapa di ciptakannya rasa syukur. Karna yang ku tahu, sepahit dan semanis apapun hidup, kita wajib mensyukurinya.
“Kak,” panggilku pelan dan Kak Dhafin langsung menoleh.
“Hmm…”
“Waktu itu aku sempat bersih-bersih di kamar kakak. Maaf aku lancang, kamar kakak berantakan jadi aku masuk untuk merapihkannya.” Setelah aku mengatakan hal itu, kedua bola mata Kak Dhafin melebar. Apa dia terkejut?
“Lain kali biar kakak saja. Kamu tidak perlu susah-susah membersihkan kamar kakak.”
“Tapi kak,”
“Hmm…”
Ragu untukku menannyakannya pada kakak ku. Selain lancang masuk ke kamar nya tanpa izin, aku juga lancang mengambil beberapa butir obat kakak ku.
Bukan maksut ingin sok tahu atau apapun itu. Aku tidak percaya dengan perkataan Kenzie jika kakakku hanya mengkonsumsi obat penghilang nyeri untuk mengurangi rasa lelahnya. Bukannya tidur bisa mengembalikan energi yang habis karena kelelahan? Kenapa harus mengkonsumsi obat-obatan sebegitu banyak?
Bahkan yang lebih membuatku heran, semalam aku melihat ada obat baru berwarna kuning di atas nakas. Itu obat apa lagi?
Aku menelan ludahku kasar. Penasaran tapi takut bertanya. Jika tidak bertanya, aku akan penasaran. Kak Dhafin akan jujur jika aku tanya, benar kan? Lebih baik bertanya daripada aku terus menerka-nerka. Ya, seperti itu. Aku akan bertanya.
“Tidak jadi kak.”
Sudut bibirku terangkat, aku tersenyum masam. Jiwa pengecut ku lebih mendominasi rupanya.
Kak Dhafin tersenyum lembut, “Sudah, kakak mau beres-beres dulu. Sarapannya nanti biar di antar Kak Andrian saja. Kamu baik-baik ya di rumah.”
Aku mengangguk sebagai jawaban.
Bisa ku lihat tubuh kakak ku yang mulai menjauh. Tubuh kekar yang menanggung beban berat semenjak kepergian ayah dan ibu.
Punggung yang memikul banyak tanggung jawab semenjak umurnya masih 10 tahun. Kakak yang hebat untuk adik cacat sepertiku.
Aku tidak ingin hilang percaya diri. Aku sudah memantapkan niat, setidaknya nekat merubah cara pandangku agar aku bisa sukses dan membuat kakak ku bangga.
Aku ingin melihat tubuh kokoh itu berdiri dan merentangkan kedua tangannya menyambut kesuksesanku.
Aku punya beberapa keahlian. Merawat tanaman dan sedikit bisa mengarang cerita.
Memang tidak sejago orang-orang pada umumnya. Aku hanya merawat taman belakang rumah dan tulisanku pun masih berantakan. Belum mau menunjukkan semuanya pada kakak ku. Tapi aku ingin melihat kakak ku tersenyum bangga ke arahku.
Sekali lagi aku menoleh ke arah taman. Sebentar lagi bunga mulai bermekaran. Aku harus belajar menyeduh teh chamomile untuk kakak ku.
Kakak ku suka dengan teh chamomile, katanya aroma nya yang wangi sangat menenangkan.
Kali ini biar aku yang merawat nya. Aku tidak boleh menjadi parasit terlalu lama. Aku punya tujuan untuk membahagiakan nya.
Tubuh tegap itu menghilang. Entah, setiap Kak Dhafin pamit pergi, sebenarnya hatiku menahan. Aku tidak ingin jauh dari nya. Aku bahkan menangis saat dia sudah menghilang dari pandanganku. Seperti sekarang contohnya.
Tanganku kembali menyeka air mata yang terus turun di pipi. Kak Dhafin hanya pergi ke café, tapi rasanya aku seperti akan di tinggal Kak Dhafin pergi jauh.
Dari umurku 5 tahun, dan semenjak ayah ibu kami meninggal, Kak Dhafin tidak pernah sekalipun meninggalkanku. Lalu kenapa sekarang aku merasa takut sekali?
Kak Dhafin tidak akan pergi meninggalkan tanggung jawabnya untuk merawatku. Tidak akan. Dia pria yang sangat bertanggung jawab. Sampai akhir Kak Dhafin akan tetap terus bersamaku.
Ting Tong…
Tetesan air mata ku terhenti saat aku mendengar bell pintu rumah berbunyi. Menyeka dan menghilangkan jejak air mata di pipi sebelum aku beranjak menuju pintu utama.
Melewati ruang tengah, aku melirik pada jam dinding yang menempel anteng di dekat foto ku dan Kak Dhafin. Masih jam 8 pagi. Masih terbilang pagi untuk seseorang bertamu.
Cklekk…
Bisa ku lihat dengan jelas siapa yang sekarang berdiri di depanku.
Laki-laki dengan tubuh tinggi, rambut sedikit acak, memakai seragam sekolah, dan tidak tahu malunya tersenyum memamerkan gigi putihnya ke arahku.
“Kok kesini?” tanyaku dengan dahi yang mengernyit.
“Aku malas sekolah. Jadi aku kesini.”
Aku mendengus pelan. Keluar rumah lalu mensejajarkan diriku dengan tinggi Kenzie. “Banyak orang di luar sana yang ingin sekolah. Kamu bukannya sekolah yang benar malah membolos.”
Anak itu mengusap tengkuk lehernya. “Aku mau belajar bersamamu. Aku dengar guru mu asyik dan tampan, jadi aku kesini menemanimu.” Dahiku mengernyit. “A-anu maksutku, kamu kan perempuan, dirumah sendirian, terus gurumu laki-laki kalau dia jahat padamu bagaimana?”
Dahiku masih mengernyit. “Alasan mu klasik Ken.” Ucapku dan dia tertawa.
“Aku bawa banyak makanan. Kita bisa sarapan bersama.”
Aku mengendikkan bahu lalu masuk ke dalam rumah disusul Kenzie yang mengekor dibelakangku.
Aku mendudukkan bokong ku pada kursi tamu. Kenzie mengambil duduk di depanku. Bisa ku lihat matanya mengamatiku.
Pelan-pelan aku melepas hearing aid yang selalu menempel di telingaku. Kenzie sedikit terkejut. Bibirnya bergerak seperti mengucapkan sesuatu. Sayang, aku tidak bisa mendengar ucapannya.
Tanganku bergerak membentuk sebuah pola. Mengajak Kenzie mengobrol dengan gerak tangan seperti mengajak orang bisu berbicara.
Anak itu terdiam melihat gerakan tanganku. Cukup lama aku menggerakan tanganku dengan tatap mata yang tak ku lepaskan dari tatap mata nya.
Aku menatap mata itu dalam. Setelah beberapa menit, aku menurunkan kedua tanganku. Kembali memakai hearing aid dan setelahnya bisa ku dengar sayup-sayup suara menyapa gendang telingaku.
Aku tersenyum.
Aku melatih diriku untuk berinteraksi dengan banyak orang. Tidak tahu sampai kapan aku akan memakai hearing aid. Tidak tahu sampai kapan aku bergantung pada orang-orang di sekitarku.
Aku harus lepas dari belenggu semua beban yang menyiksaku. Aku ingin bebas. Dan aku bertekad untuk itu.
“Hyera…” panggil Kenzie lembut dan aku tersenyum.
“Sarapan yuk. Aku akan menyiapkannya di dapur.” Ucapku lalu beranjak meninggalkan Kenzie sendirian.
Aku tahu suatu saat semua akan pergi satu persatu. Aku tahu suatu saat semua akan menemukan jalannya masing-masing. Tidak terkecuali aku, Kenzie atau kakak ku.
Selama masih ada waktu, aku akan mencoba memikul bebanku sendiri dan sedikit melepas tangan mereka yang menuntunku selama ini.
Mereka berhak berjalan sesuka mereka. Mereka berhak menemukan kehidupan terbaik mereka. Tanpa harus terfikirkan dengan aku yang sendirian menunggu mereka saat hujan tiba-tiba datang tanpa mendung sebelumnya.
Aku ingin mereka meraih pelangi tanpa perlu terhambat badai. Mereka punya kehidupan, dan aku akan menemukan kehidupanku, suatu saat nanti. Aku ingin membuat mereka bangga pada orang cacat yang mereka asuh selama ini. Meski hanya menjadi pelangi sementara selepas hujan, aku ingin mereka tersenyum dan berbahagia di dekatku tanpa tersambar petir atau tertiup badai.
Aku ingin menghilangkan semua perasaan cemas juga kekhawatiran mereka tentang aku yang cacat ini. Masih ada waktu sebelum aku benar-benar menyesalinya. Dan aku bersyukur, sang pencipta memberiku tekad kuat sebelum pencipta memberiku takdir yang lebih kejam lagi.
***
“***Suatu saat, saat semua berputar dan berubah. Tolong ingat aku. Saat kamu menemukan siapa pendampingmu, tolong ceritakan pada mereka tentang aku. Aku yang berdiri sebagai orang cacat di sampingmu namun pernah memberi cerita di kehidupanmu.
Suatu saat, saat dirimu mempunyai anak-anak yang lucu, tolong beritahu mereka tentang tante mereka yang cacat dan sering menyusahkan ayahnya. Beritahu pada bidadarimu nanti bahwa dulu ada pelangi sementara selepas hujan yang berhasil membuatmu tersenyum meski terpaksa.
Tinggalah sedikit lebih lama sampai aku bisa membuatmu bangga mengenalku. Aku akan bangkit dan membuat mu bangga***.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Machalatte
sumpah sad banget😭
2020-09-08
1
kelabu senja
aaa keren banget cerita nya Thor, mampir ya Thor di story' aku judulnya VIRAZATA, Cerita mengenai manusia dan makhluk immortal lainnya seperti demons, seriga dan vampir
2020-09-08
2
Rose Kanam
so sweet kata katax thor
2020-09-08
1