Dia dan Hujan

“Kita ketemu lagi.”

Mata ku menatap sosok tinggi yang berdiri menjulang di depan ku.

Hujan baru saja berhenti membasahi bumi dan seisinya. Meninggalkan genangan di setiap sudut jalan juga lembab yang menguar di sekitar tubuh makhluk hidup disekitarnya.

Sekitar tiga jam yang lalu aku melangkahkan kaki keluar toko. Tidak ada yang ku cari, hanya ingin menghirup udara segar, pikirku, sebelum hujan datang dan mengeroyokku.

Ya, 3 jam aku terjebak disini karena hujan. Berteduh disebuah ruko kecil yang tak jauh dari toko ku.

“Ahh kamu lagi.” Aku tersenyum membalas sapa Jovin.

Anak itu berdiri dihadapan ku saat aku menegakkan tubuh hendak pergi dari tempatku berteduh.

“Hujan.” Ucapnya datar.

“Sudah reda.” Balasku sedikit tersenyum.

“Mau ku antar pulang?”

Aku menilik tubuh Jovin dari atas sampai bawah. Anak itu hanya mengenakan setelan baju olahraga berwarna hitam dan putih. Bukan baju olahraga sekolah ku rasa.

“Tidak perlu, toko ku hanya beberapa blok dari sini, tidak jauh dan aku…”

“Tidak ada penolakan.”

Memotong ucapan lawan bicara bukankah termasuk tindakan tidak sopan? Dan anak itu baru saja melakukannya padaku.

Sebenarnya aku tidak begitu mempermasalahkannya, tapi ya… “Baiklah.” Aku tidak bisa menolak pada akhirnya.

Jovin minggir dua langkah. Memastikan aku untuk berjalan terlebih dahulu. Aku mengambil tiga langkah kedepan untuk mensejajarkan tubuhku dengan tubuh anak itu. Sedikit melirik ke arahnya, memastikan apa anak itu menampakkan ekspresi atau tidak, senyum atau tidak, tapi muka itu tetap saja menampakkan mimik datar.

Kami berjalan beriringan. Tidak ada yang membuka percakapan, baik aku ataupun Jovin. Saling diam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Dua tangannya masuk ke saku celana, kepala menunduk menatap jalanan basah dibawahnya, rambut sedikit basah karena tetesan air yang turun melalui ranting dan daun.

Niat hati ingin membuka percakapan, tapi terlalu bingung mencari topik agar sepadan dengan isi pembicaraan.

Takut jika topik pembicaraan yang kubuka justru membuat kami semakin canggung. Membuat kami semakin terdiam lebih lama lagi. Atau parahnya, membuat kami tidak saling nyaman satu sama lain.

Bukankah salah satu hal yang sulit adalah membuka topik pembicaraan? Dan aku menjadi salah satu orang yang tidak pandai dalam membuka obrolan dengan lawan bicara.

Terlalu bingung bergelut dengan isi pikiran, membawaku sampai pada dua sosok yang berjarak sekitar 500 meter dari tempat ku dan Jovin.

Kami sudah sampai di depan toko ku ngomong-ngomong. Tidak butuh waktu lama karena memang jarak ku berteduh dengan toko ku tidak jauh.

Niat ingin mencari udara segar, namun gagal karena hujan yang turun terlebih dahulu tanpa permisi.

Dan sepertinya aku menyesal pulang setelah hujan. Harusnya aku melanjutkan langkahku untuk mencari udara segar, atau udara yang lebih segar, karena ku rasa udara di sekitarku saat ini terasa sangat pengap dan sesak.

Mata ku menatap dua sosok yang saling berhadapan di sebrang rumahku. Tidak sebrang persis, karena rumah ku dan rumah itu terpisah jalanan serta satu rumah lagi.

Mataku panas, tapi aku menahan agar tidak menangis atau menahan agar tidak ketahuan ingin menangis.

“Itu bukannya pacarmu?”

Bahkan, akh hampir melupakan sosok Jovin di sampingku.

Buru-buru aku mengalihkan pandanganku pada Jovib. Tersenyum sebentar sebelum menjawab pertanyaan nya.

“Namanya Kenzie. Dia bukan pacarku, dia… temanku.” Ada gelenyar aneh yang rasanya seperti sengatan listrik menghantam dadaku. Rasanya sakit saat mengatakan ‘dia temanku’, melupakan kenyataan bahwa memang kami berteman, meskipun rasaku padanya sudah melebihi batas teman.

Menyakitkan dan memalukan jika Kenzie tahu tentang perasaan ku yang sesungguhnya.

Haruskah anak itu tahu?

Demi Tuhan tidak akan kuberi tahu sampai kapanpun perihal perasaan ku padanya.

“Aku pikir kalian pacaran.”

Sekali lagi aku menggeleng dan tersenyum pedih, “Hanya teman dari kecil dan tidak lebih dari itu.” Yaa.. tidak akan lebih.

Jovin mengangguk paham. Mata kami kembali tertuju pada dua sosok – Kenzie dan Kimi – yang sudah berpindah posisi. Maksutku, dari mereka yang hanya berhadapan, kini menjadi semakin berhadapan. Kau tahu maksutku? Mereka berpelukan.

Bibir Kenzie terus bergerak seperti mengucapkan kata penenang untuk Kimi yang sepertinya sedang menangis. Kenapa kubilang seperti? Karena dari sini aku bisa melihat Kenzie yang mengusap air mata Kimi dengan jari-jarinya.

Kebiasaan yang anak itu lakukan untukku, namun terasa beda jika dibandingkan perlakuannya pada ku dan Kimi.

Aku tersenyum getir. Kenzie semakin mendekap tubuh gadis itu, dihadapanku. Mau tahu bagaimana hatiku saat ini? Satu kata untuk menggambarkannya, hancur.

Haruskah aku menangis?

Tidak.

Aku tidak akan menangis. Terlebih sekarang ada Jovin yang memandangku sedari tadi, mana mungkin aku menangis.

Tunggu.

Memandang?

“Kenapa menatapku seperti itu?”

“Percaya sebuah mitos?”

“Huh?”

“Ada mitos mengatakan, hubungan pertemanan antara lawan jenis yang terlalu lama terjalin bisa menumbuhkan gelenyar aneh yang dinamakan cinta.”

Mataku sedikit melebar mendengar penuturan nya. Tersenyum canggung untuk menghilangkan gugup. “Kamu bicara apa?” nyatanya itu bukanlah sebuah mitos belaka.

“Tidak ada perasaan hanya sekedar teman diantara laki-laki dan perempuan.”

Aku tahu.

Tapi aku selalu mencoba mengelak dan menghilangkan perasaan gila itu. “Jangan bicara ngawur. Sudah ayo, bantu aku di toko.” Tanganku menyeret tangan Jovin yang terasa cukup besar di genggamanku.

Menariknya sedikit susah karena tubuhnya yang lebih besar dari tubuhku. Membawanya masuk ke florist lalu menyuruhnya masuk.

“Aku ngapain disini?” Pertanyaan konyol apa itu?

Tapi… Aku juga tidak tahu untuk apa dia ku seret ke sini?

“Terserah kamu mau ngapain.” Aku tidak punya alasan pasti membawanya masuk ke toko. Tapi aku juga sedang tidak ingin sendiri untuk saat ini.

“Kamu sering hujan-hujanan?” Tanyanya setelah sebelumnya mengganti tulisan ‘close’ yang ada di pintu toko menjadi ‘open’.

“Begitulah,” Jawabku seadanya.

Jovin berjalan mendekat ke arahku. Menopang kedua tangannya di atas meja kasir, lalu menatapku dengan intens.

Entah hanya perasaan ku saja atau memang benar nyatanya, meski aku baru mengenalnya, tapi aku merasa sudah akrab dengan sosok anak ini.

“Kenapa suka hujan?”

Menatap sebentar manik Jovin, aku membawa bokongku mendarat ke kursi empuk yang tersedia di tempat kasir.

“Hujan itu aneh.” Ucapku sambil memainkan pulpen hitam “Beberapa orang membenci hujan karena kedatangannya bisa membawa musibah. Tapi beberapa orang menyukai hujan karena hujan datang membawa berkah.”

“Lalu, kau ada di pihak yang mana?”

“Tergantung hatiku.”

Alis Jovin terangkat satu.

“Maksutku, tergantung suasana hatiku.” Menghela nafas pelan, aku membuka tutup pulpen yang ku genggam. Mengambil secarik kertas lalu menulis kata ‘hujan’ disana. “Dibanding menyukai hujan, aku lebih menyukai orang yang mengenalkan ku pada hujan. Pada dia yang berhasil membuatku akrab dengan hujan. Pada dia yang bisa menenangkan ku karena suara rintik hujan yang berpadu dengan suara indah nya saat dia menyanyikan bait lagu dengan nada khas dan arti lirik yang begitu menusuk. Pada dia, yang memberitahuku meski tanpa pelangi, hujan akan selalu terlihat indah.”

Dia… laki-laki yang ku cintai, namun tak akan bisa kumiliki.

Dia… laki-laki yang menceritakanku lewat sepenggal lirik namun mampu membuatku paham.

Dia… yang membuatku dekat tanpa jarak pemisah karena hujan.

Dia… yang tidak mengeluh meski gadis cacat sepertiku selalu berkeliaran di dekatnya.

Dia… pemilik hatiku, Kenzie Masashi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!