Pembahasan masalah foto terpaksa ditunda, karena Indra ada tugas di luar kota. Meskipun hati Kiran sudah lebih tenang, tapi masih ada yang mengganjal tentang siapa pria di foto tersebut.
Seperti orang tidak ada kerjaan, Kiran sering memandang layar ponsel yang menunjukan foto itu, memastikan kalau pria itu memang bukan Indra. Meskipun dari beberapa bagian tubuh yang terlihat sangat mirip dengan postur tubuh Indra.
“Berhenti Kiran, jangan berpikir terlalu jauh. Kalaupun pria ini adalah Indra, dia pasti punya alasan kenapa memeluk wanita ini,” gumam Kiran dan tidak menyadari Erlan berjalan pelan di belakangnya lalu mengagetkan membuat ponselnya jatuh.
“Apaan sih, ngagetin aja deh.”
“Gabut amat jadi orang,” ujar Erlan lalu menunduk dan mengambil ponsel milik sang kakak. Sempat terpaku memandang layar ponsel itu. “Ini Bang Indra ya? Ngapain lihatin foto dia, suka?”
Kiran merebut ponselnya. Gugup harus menjawab apa dari pertanyaan Erlan. Sudah lama menginginkan hubungannya diketahui oleh keluarga, tapi bukan oleh Erlan. Berharap Ayahnya lah yang pertama kali mengetahui.
“Sok tahu, foto apaan sih?” tanya Kiran pura-pura bertanya. “Ini aku dapat dari grup chat. Emang ini Indra ya?”
“Bang Indra, tanya aja kalau nanti dia kemari.”
“Kamu mau ke mana?” tanya Kiran mengalihkan pembicaraan. Erlan sudah rapi dan jelas akan kuliah. Mendengar pertanyaan absurd dari sang kakak, Erlan menjentikan jarinya pada kening Kiran.
“Pertanyaan apa itu? Memang aku yang setampan ini mau ke mana? Ngojek.”
“Siapa tahu ternyata kamu mau … kencan.”
“Makanya Kak, patuh aja sama Ayah. Kerja di kantor, bukan jadi ratu halu,” ejek Erlan lalu terkekeh dan berlari karena dikejar oleh Kiran
“Hei, hei. Kalian ini, mirip sekali dengan tom and jerry,” tegur Narita. Penampilan wanita itu sangat berkelas sebagai seorang istri pengusaha dan pemilik butik ternama. “Kiran, dari pada kamu jadi pengangguran tidak jelas lebih baik ikut Bunda.”
“Kemana?”
“Lounching katalog baru, sebentar lagi musim dingin.”
“Musim hujan kali Bun, di Indonesia mana ada musim dingin,” ejek Erlan yang sudah berdiri di samping Kiran bahkan merangkul bahu gadis itu.
“Aku di sana ngapain Bun?”
“Beres-beres kak, memang ngapain pula ngajak kalau nggak ada fungsinya. Nggak mungkin disuruh diem jadi tiang backdrop.” Kiran mendorong tubuh Erlan agar menjauh.
“Pokoknya nanti siang Bunda tunggu di butik. Siapa tahu kamu ada bakat lain dan bisa bantu Bunda buka cabang. Kadang Bunda bingung kalau ada yang tanya profesi kamu apa, masa jawab menulis. Anak TK juga menulis.”
Erlan terbahak mendengar ucapan Narita, jangan ditanya bagaimana wajah Kiran … cemberut.
“Sudah kak, ikut aja. Benar kata Bunda, siapa tahu cocok dengan bisnis itu. Kak Emran sudah mulai magang, Kak Kiran gak akan mungkin bisa bersaing dengannya.”
“Siapa juga yang mau bersaing.”
Sepeninggal Erlan dan Narita, Kiran kembali ke kamarnya. Masih ada waktu sebelum menghadiri acara yang dimaksud Narita, Kiran menatap layar laptop melanjutkan pekerjaannya. Profesinya memerlukan tingkat konsentrasi yang cukup termasuk juga suasana yang tenang dan saat ini kedua hal tadi cukup mendukung.
Sesekali Kiran menoleh ke arah ponselnya, menunggu pesan atau panggilan telepon dari Indra. Perkiraan dari waktu keberangkatan, seharusnya pesawat Indra sudah mendarat satu jam lalu dan sudah bisa menggunakan ponselnya. Namun, Kiran belum mendapatkan kabar apapun.
***
Suasana butik milik Bunda Narita cukup ramai, padahal belum waktunya acara dimulai. Para karyawan di sana tentu saja tahu siapa Kiran. Gadis itu diarahkan ke dalam untuk menemui Narita. Ternyata pemilik butik itu sedang memastikan acara yang akan dimulai tidak lama lagi berjalan lancar.
Pandangan Kiran tertuju pada Vira yang dengan luwes mengarahkan beberapa petugas. Entah kemana Narita pergi, Kiran menatap sekeliling mencari keberadaannya. Tidak juga menemukan sosok yang dicari padahal tadi terlihat di sana, Kiran pun menghampiri Vira. Namun, wanita itu menjauh dengan ponsel di telinganya.
Bukan bermaksud menguping pembicaraan, Kiran hanya ingin bertanya di mana Narita tapi sudah terjeda dengan percakapan Vira dengan seseorang.
“Iya sayang, hati-hati di sana."
Terdengar Vira tertawa ringan. Kiran duduk pada kursi yang tidak jauh darinya menunggu wanita itu selesai berbincang. Berusaha tidak peduli dengan yang dikatakan Vira.
“Sebenarnya aku sudah muak, ingin segera mengakhiri ini. Orang kecil sepertiku hanya bisa ditindas dan dimanfaatkan. Aku sudah tidak sabar menunggu saat di mana aku bisa mengangkat wajahku dengan bangga pada orang yang selalu menghina dan ….” Ucapan Vira terhenti karena pandangannya mengarah pada Kiran yang ada di sana, menunduk asyik dengan ponsel.
“Aku hubungi lagi nanti.”
Vira mendekati Kiran.
“Nona Kiran, sedang apa di sini?”
“Itu … aku ingin tanya di mana Bunda, tapi kamu sibuk menerima telepon.”
Vira mengangguk pelan dan yakin gadis dihadapannya ini tidak tahu apa yang dibicarakan tadi juga dengan siapa dia bicara.
“Mari, saya antar.”
Kiran mengekor langkah Vira yang sesekali menatap keliling ruangan memastikan semua sudah siap. Ternyata Narita dan Vira bisa cocok karena sama-sama perfeksionis.
“Ibu Narita, di sana,” tunjuk Vira.
Kiran tersenyum saat Vira mengangguk pelan meninggalkannya.
“Bunda,” panggil Kiran.
Tidak lama acara pun dimulai, Kiran menempati sofa di sebelah Narita. Padahal dia ingin duduk di belakang saja bergabung dengan para tamu. Kadang dia menguap bahkan menggelengkan kepala saat acara berlangsung.
Tamu yang datang adalah pelanggan VIP dan tidak lebih dari tujuh puluh orang. Namun, berasal dari kalangan berkelas. Bahkan Kiran melihat ada beberapa artis juga yang hadir, istri pejabat juga istri pengusaha. Acara hampir selesai dan Kiran sudah tidak tahan berada di keramaian, dia meninggalkan aula meskipun dalam pandangan Narita. Tujuannya ruang kerja sang Bunda, lalu merebahkan diri di sofa.
“Bukan tempatku di sana, aku memang cocok di sini. Rebahan, selonjoran dan kipas-kipas tunggu suami pulang kerja. Eh, apa nanti aku dan Indra begitu ya. Dia kerja aku di rumah, jadi ibu rumah tangga,” gumam Kiran sudah beranjak duduk dan terkekeh sendiri membayangkan rumah tangganya dengan Indra Jaya. Entah terlalu naif atau terlalu percaya pada pria bernama Indra, yang sampai saat bahkan belum berkabar dengannya.
Sudah lewat jauh dari jam makan siang, perut Kiran sudah meronta minta diisi. Gadis itu kembali beranjak dengan malas dari ruang kerja Narita menuju aula kembali dan tujuannya adalah buffet. Acara sudah selesai bahkan sebagian tamu sudah meninggalkan ruangan. Langkah Kiran terhenti saat melihat seseorang.
“Mas Bram,” gumam Kiran.
Kebetulan ada hal yang ingin gadis itu bicarakan. Kalau dia tanya pada Yudis, biasanya akan dimulai atau diakhiri dengan banyak nasihat. Kiran memutuskan bertanya pada Brama, salah satu kepercayaan Ayahnya.
“Cepat amat sih, kemana perginya,” gumam Kiran. “Ah, itu dia.”
Mulutnya sudah terbuka ingin memanggil pria itu, tapi urung melihat Brama ternyata menemui Vira. Kedua orang itu terlihat seperti pasangan yang serasi. Brama dengan tubuh tinggi tegap dan berwibawa, sedangkan Vira yang juga tinggi hampir menyamai Brama. Kecantikan wanita itu tidak perlu ditanya, bahkan sangat cocok menjadi seorang model.
Ada hal lain yang membuat Kiran mengernyitkan dahinya, wajah Vira yang dia tatap dari samping mengingatkan pada foto itu. Bahkan Kiran membuka ponselnya untuk meyakinkan apa yang dia lihat. Pandangannya bergantian pada layar ponsel dan Vira yang asli.
“Nona Kiran,” panggil Vira.
Kiran bergeming, mana kala mendapati kalung yang dikenakan wanita itu sama persis dengan yang dikenakan wanita dalam foto.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Sri Widjiastuti
cocoklogi nya kelamaan kiran
2025-01-14
0
Sleepyhead
Jodoh Masa depan Kiran 😁🍺
2024-11-10
0
Ranny
ya ternyata filling ku benar kan yg tidur dengan Indra itu Vira dasar wanita murahan...
2024-08-05
1