Keinginan Evan

Sore ini Evan membereskan meja nya. Jam sudah menunjukkan waktu selesai bekerja bagi para karyawan disana.

“Hawa-hawa pengantin baru emang beda ya! Pengennya pulang cepet terus hahah!” Rian menggoda Evan yang tengah sibuk berkemas itu. Evan menoleh singkat aja. “Lu ga bakal paham rasanya sebelum nyobain sendiri!” timpal Haris, teman satu divisi mereka.

“Mentang-mentang yang udah nikah duluan!” Rian mencebik, memang diantara ketiganya Rian saja yang masih single. Haris tertawa puas. “Makanya, nikah buruan! Biar paham gimana rasanya baru nyobain anget-angetnya!” sambung Haris.

“Kalau mau anget tinggal selimutan pake selimut setebel kasur!” balas Rian judes, sudah kalah telak dia.

“Evan, kamu sudah mau pulang?” suara Sindy menginterupsi kegiatan ketiganya yang sebenarnya sama sekali tidak berkaitan. “Kenapa Bu? Ada perlu dengan saya? Evan menunjuk dirinya sendiri.

Sindy melihat ketiga bawahan yang ia pimpin. “Sedikit ada masalah pada komputer saya, beberapa berkasnya bahkan error! Bisa bantu saya kan?” tanya Sindy memastikan. Rian dan Haris saling melihat. “Wah, kalau saya ga paham deh bu!” jawab Rian. Haris menganggukkan kepalanya, meski bekerja sepanjang hari dan setiap hari menggunakan komputer tetap saja keduanya kurang pengetahuan mengenai benda tersebut.

Evan yang memang punya sedikit pengetahuan jadilah ia yang ber inisiatif membantu atasannya itu. Toh, kalau masalah atasannya itu bisa diatasi maka kinerja divisi mereka juga akan lebih baik.

“Saya saja, biar saya coba perbaiki!” Sindy mengangguk dan masuk duluan kembali pada ruangannya. Evan mengikuti dibelakang.

“Coba kamu liat dulu, saya bingung kenapa setiap kali membuka berkas yang sudah tersimpan malah jadi error,” ucap Sindy llau mempersilahkan Evan duduk di kursinya.

Evan mengangguk lalu duduk disana dan mencoba mengotak atik komputer didepannya. Cukup lama Evan berkutat tanpa mengalihkan pandangan dari komputer tersebut. Entah jam berapa sekarang, Evan benar-benar terlena karena terkaku sibuk pada komputer.

Sindy membawa segelas kopi panas untuk Evan, dengan senyum yang mengembang ia mendekat pada Evan. “Minum dulu!” Sindy menyodorkan segelas kopi tersebut. Evan yang tengah fokus hanya mengangguk.

Tiga puluh menit kemudian, ia selesai. “Sudah!” evan tersenyum puas memandang pada pekerjaan yang mampu ia kerjakan. Sindy yang masih senantiasa memperhatikan dari tadi ikutan tersenyum. “Terima kasih, aku ga tau kalau ga ada kamu harus apa!” Sindy tersenyum senang.

“Iya, ini juga demi divisi kita! Ya tuhan, pukul berapa sekarang?” Evan baru sadar saat melihat jendela sudah gelap. “Hmm? Sudah pukul setengah 7 malam” jawab Sindy saat melihat jam tangannya.

“Astaga! Aku belum sholat maghrib!” evan menepuk dahinya. Ia langsung berdiri dan menyampirkan tas nya.

Sindy menahan tangan Evan, “Tunggu dulu! Kamu belum meminum kopi ini! Aku buatkan sebagai tanda teri ma kasih pada bantuan mu!” ucap Sindy, Evan menatap kopi yang sudah mendingin di meja,

Evan mengambil kopi tersebut dan meminumnya sampai habis sekali teguk. Sindy dibuat terpesona dengan pesona Evan. ‘Andai saja ia belum punya istri! Bolehkah aku mengharapkan dia Tuhan..?’ batin Sindy menatap Evan.

“Terimakasih Bu Sindy, saya duluan!” evan meninggalkan ruangan sindy terburu-buru. Ia bergegas ke musholla dilantai dasar, melaksanakan shalat maghrib yang ia lewatkan karena sibuk membenarkan komputer.

Selesai sholat, Evan bergegas menuju parkiran. Ia teringat akan Alina, ia tidak sempat mengabari Alina jika ia pulang telat. ‘Alina pasti bingung dan khawatir!’ monolog evan saat memasang helm nya. Evan menyempatkan merogoh ponsel yang ia simpan didalam tas.

Benar saja, sudah ada tiga panggilan dari Alina dan dua pesan yang masuk pada aplikais perpesanannya.

Alina

Mas, pulang jam berapa”

                 17.02

Kamu lembur ya Mas?

    17.30

   Maaf Al, aku sedikit terlambat

      19.55

Evan membalas pesan tersebut sebelum melajukan motornya. Tanpa disangka didepan pintu parkir, Sindy mencegat motor Evan.

“Aku minta ma’af, tapi mobilku mengalami masalah, bisa minta tolong antar aku ke rumah?” tanya Sindy semeyakinkan mungkin.

Evan terdiam sejenak, ia ragu untuk menjawab. Wajah Sindy jelas mengharapkan jawaban iya dari mulut Evan, sedangkan Evan, ia enggan untuk mengantar Sindy.

“Ma’af saya tidak bawa helm lebih! Berbahaya untuk membawa penumpang tana helm, mungkin bisa pesan Ojek Online atau Taxi online sa, lebih aman untuk anda!” jawab Evan.

Sindy kecewa, wajahnya tertekuk lesu, ia fikir Evan akan dengan senang hati mengantarnya pulang, sama seperti tadi dengan mudahnya Evan menawarkan diri untuk memperbaiki komputer diruangannya tadi.

Evan lalu melajukan sepeda motornya tanpa menoleh pada Sindy. Evan sungguh tidak tertarik bersikap ramah pada semua orang, walau pada atasannya sekalipun. Lagipula, membawa penumpang tanpa memakai helm sangat berbahaya, tentu Evan tidak akan membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Evan sampai dirumah pukul setengah 8 malam, dan sialnya ia malah bertemu dengan Dea yang tengah bermain ponsel didepan rumahnya.

“Mas Evan? Pulangnya tumben kemalaman?” tanya Dea. Entah sejak kapan pula Dea memanggil Evan dengan panggilan Mas.

“Bukan urusan kamu!” evan berujar ketus. Lalu ia mengetuk pintu rumah dan memanggil Alina. Namun panggilan Evan tak langsung digubris dari dalam. Entah sedang apa, tapi dengan sabar Evan menunggu pintu itu dibuka dengan sabar.

“Mau aku bikin kan minum Mas?” tawar Dea pada Evan yang masih berdiri didepan pintu. “Tidak usah!” jawab Evan tanpa menoleh pada Dea. Dea mencebik kesal. Kenapa usahanya selalu gagal.

Pintu didepannya terdengar dibuka kuncinya. Alina tampak menongolkan sedikit tubuhnya, tampaknya Alina tak memakai cadarnya. Jadi Alina tidak membuka pintu dengan lebar.

Evan langsung masuk tanpa menoleh pada Dea, mengabaikan Dea bahkan menganggap Dea bagai tidak ada. Evan masuk dan menutup pintu dengan cepat.

“Siapa diluar Mas? Tanya Alina saat mau memegang gorden jendela untuk mengintip, tangannya ditahan Evan. “Dea, anak sebelah!” ucap Evan, Alina mengangguk dan membatalkan tangannya untuk membuka gorden jendela.

“Mas, aku siapkan makan ya! Atau mau min8m dulu?” tanya Alina. Evan berfikir sejenak. “Makan dulu aja,” jawabnya Evan lalu berlalu ke kamar. Alina menuju dapur untuk menyiapkan makan malam yang sudah sangat terlambat ini.

Setelah selesai dengan kegiatan masing-masing, mereka berdua makan bersama. “Kenapa tidak makan duluan sebelum aku?” tanya Evan. “Aku hanya tidak ingin suamiku kelaparan diluar sana, sedngkan aku bersantai dirumah dengan perut kenyang,” jawab Alina.

Evan mendengar itu hanya diam saja. Meski memikirkan ucapan Alina.

Tiba-tiba saja Ia teringat akan ucapan rekan kerjanya tadi. Ia mengamati Alina yang duduk didepannya. Memandangi wajah polos yang kini tengah menikmati makanannya.

Wajah putih bersih itu tampak sangat manis. Meski polosan saja, tapi begitu saja waah Alina sudah terlihat sangat cantik. Dan benar, hanya ia satu-satunya pria yang bisa memandangi wajah istrinya itu dengan bebas.

Alina mengangkat wajahnya dan melihat pada Evan yang tengah melihat padanya.

Alina memandangi Evan yang masih belum juga memandangnya. “Kenapa Mas? Makanku berantakan ya?” tanya Alina, ia mengelap bibirnya dengan punggung tangannya.

Evan tersenyum tipis. “Tidak ada, makanlah lagi!” Evan melanjutkan makannya masih dengan tersenyum. Bayangan bagaimana dulu ia sering bermain dengan Alina terlintas begitu saja. Bagaimana dulu ia sering kali menjahili Alina yang suka menangis dan ngambekan.

Alina yang bingung melanjutkan makannya dengan tenang. Tidak ingin bertanya lebih jauh, lebih baik menikmati makannya saja.

***

Alina baru saja mengganti pakaiannya dengan daster untuk segera beranjak tidur. Tidak seperti biasanya, Daster yang Alina pakai kali cuman sebatas paha, dan lengannya juga sangat pendek.

Tidak ada tujuan apapun, memang Alina ingin saja memakainya, karena malam ini rasana agak panas, takut gerah dna tidak nyaman saat tidur.

Evan menaikkan pandangannya dari laptop yang tadi terbuka. Evan memandangi Alina yang baru masuk ke dalam kamar mereka. Tidak hanya wajahnya yang putih mulus, tapi kakai dna tangannya juga putih dan mulus. Evan tidak berhenti memandangi Alina yang sibuk menggantung baju yang ia pakai tadi, lalu memakai skincare malamnya.

Evan masih setia memandangi istrinya itu, sampai Alina selesai dan beranjak mendekat. Evan seadri tadi emmang sudah duduk dikasur. Mata Evan tak berkedip. Alina yang dulunya pendek, berpipi gembul sekarang sudah menjadi gadis dewasa. Yap, masih gadis.

“Mas, aku tidur duluan ya!” Alina izin seperti hari-hari biasa. Evan maish memindai Alina. Sampai ia tersadar saat Alina sudah berbaring dan menutup tugunya dengan selimut.

Evan memutuskan menyelesaikan pekerjaanya. Ia menutup laptopnya. Menyimpannya dalam tas dan meletakkannya pada tempat biasanya.

Evan lalu kembali ke kasur. Entah memang cuaca sedang dalam musim yang panas. Evan merasa kegerahan malam ini. Sehingga ia memutuskan untuk melapas kaosnya dn berbaring disamping Alina.

Evan membelakangi Alina, tapi rasanya gelisah. Ia lalu menghadap pada Alina. Pemandangan rambut indah yang tergerai serta lengan yang mulus itu membuat Evan ingin terus memandanginya.

“Al, sudah tidur?” Evan bertanya, sebab ia tidak bisa tidur meski rasanya ia ingin berbaring sedari tadi.

Alina belum sepenuhnya terlelap. Ia berbalik ke arah Evan. Tatapan mata mereka bertemu. Alina kaget saat melihat Evan tanpa bajunya.

Meski terkejut, Alina menyembunyikan keterkejutan dan bertanya dengan nada senormal mungkin. “Kenapa Mas?” tanya Alina pelan. Suara lembut Alina membuat fikiran Evan blank.

“Al,” Evan menatap Alina dalam-dalam. Tak hanya memandangi wajah cantik Alina, mata Evan sekarang sudah bergerak turun ke arah dada Alina, mungkin karen atidak sadar, satu kancing daster alina terlepas dan menampilkan pemandangan yang sangat indah.

Alina bingung, Evan menatapnya dengan mata yang berbeda. Mata Evan terliat seperti menginginkan sesuatu. Alina yang tidak paham kembali bertanya.

“Mas? Kamu-“ belum sempat Alina menyelesaikan ucapannya, Evan sudah bergerak duluan. Menyibak selimut mereka dan naik ke atas tubuh Alina.

Gerakan Evan sangat cepat, hingga Alina baru sadar saat Evan sudah mengendusi lehernya. “Al, kamu cantik banget malam ini, boleh aku menyentuhmu?” tanya Evan dengan suara serak, padahal tadi suaranya masih terdengar normal.

Alina menahan nafasnya, saat merasakan hawa panas dari deru nafas Evan dilehernya. Tangan Evan juga yang satunya bahkan sudah mengelus dan sesekali meremas lengan kanan Alina.

“Mas?” suara lirih Alina memantik keinginan Evan untuk melepaskan rasa dahaganya.

Terpopuler

Comments

Bilqies

Bilqies

duuuh Evan bakalan ngelakuin itu ga yaaa sama Alina....

wkwkkwkwk

2024-04-19

0

Teteh Lia

Teteh Lia

apa lagi pas musim hujan kaya gini.

2024-03-10

0

Atha Diyuta

Atha Diyuta

eheeem

2024-03-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!