Evan sibuk memindahkan peralatan yang baru dibeli istrinya itu. Tak banyak yang dibeli hanya lemari plastik kecil, kompor, kasur,bantal, karpet dan beberapa peralatan makan yang mereka beli dalam jumlah dua buah. Serta beberapa mangkok tempat menyimpan lauk dan teko air.
Evan memandangi rumah yang ia kontrak itu. Rumah kecil dalam keadaan sangat sederhana, bahkan isinya pun hanya kosong melompong. Ia juga melihat setiap barang yang dibeli, barang biasa dengan kualitas murah.
Hidup Evan benar-benar sedang di jungkir balikkan kali ini. Yang biasanya hidup mewah, tak pernah takut kekurangan apapun, mendadak sekarang harus serba irit dan perhitungan.
"Mas, sudah ya? Ini minum dulu, aku buatkan kopi" Alina mengantarkan segelas kopi yang baru saja ia buat pada Evan. Mereka lalu duduk di karpet yang dibentangkan dibagian depan rumah, bisa dibilang ruang tamu mungkin walau tak ada kursi dan meja tamu.
"Ma'af aku ga bisa beri tempat yang layak buat kamu" Evan lagi-lagi minta ma'af. Sebagai teman kecil, Evan merasa tidak enak karena harus mengajak Alina hidup susah.
"Kan aku udah bilang, Ga apa-apa, aku ikhlas Mas! Kamu jangan merasa bersalah terus, ayo punya semangat baru lagi! Kamu bisa bangkit kok, aku akan selalu dukung dan nge do'a in kamu!" Alina menyemangati Daffa, berharap suaminya itu tidak berlarut dalam keputus asa an.
"Iya, aku akan usaha lagi!" Evan mengangguk. Alina senang, setidaknya ada sedikit ambisi di wajah suaminya itu.
"Oh iya, nafkah buat minggu ini, aku ga bisa kasih banyak, uangnya mau aku pakai buat mulai usaha lagi" Evan tak melihat kearah Alina. Ia takut wajah Alina berubah masam dan membuat ia makin merasa bersalah.
"Iya, ga apa-apa, kita makan seadanya saja dulu, ga masalah kan mas kalau masak nya tahu, tempe? Atau mungkin ikan asin?" begitupun Alina, ia juga meragu akan pertanyaan yang ia ajukan. Takut saja Evan tak biasa makan makanan begitu.
Evan menoleh, ia tak melihat wajah masam, namun tampak wajah alina yang nampak sedikit ada rasa takut. "Apapun, ga masalah! Aku akan makan apa aja asal masakan kamu !" senyum Alina langsung terbit. Walau hanya ucapan biasa, namun hal itu bisa membuat hati Alina menghangat.
""Iya mas, aku akan masak buat kamu tiap hari, walau masakannya sederhana" Alina mengangguk dengan antusias. Entah bagaimana, sepertinya Alina ini punya virus menular dari senyumnya. Terbukti Evan juga ikutan tersenyum.
"Besok aku akan nyari kerja Al, buat bikin usaha sendiri modalnya belum cukup" sekarang mereka sudah dalam mode biasa saja dalam membahas kehidupan.
"Iya, nanti aku akan setrika baju buat kamu pakai besok, aku bakal bangun pagi buat bikin sarapan!" sungguh, Evan merasa energinya tengah penuh terisi semangat untuk memulai kehidupan baru. Punya seseorang disisinya yang menyemangatinya dengan tulus merupakan keberuntungan hidup yang sangat disyukuri Evan.
Walau harus melangkah dari awal, ia akan berusaha, ia akan berusaha membahagiakan Alina, wanita baik hati yang mau menerima dirinya dan mau berusaha bersama dengannya.
Malamnya setelah makan malam, Alina juga telah menyelesaikan setrikaannya. Evan tengah sibuk menata berkas-berkas yang sekiranya diperlukan untuk melamar kerja, kali ini ia akan mencoba melamar pada beberapa perusahaan yang dulunya adalah mantan rekan bisnisnya.
Ia optimis, dari sekian banyaknya perusahaan besar pasti ada satu yang akan menerimanya.
Alina berfikir sejenak, apa ia harus melepas hijabnya saat tidur atau tidak, sebab selama menikah, Evan tidak tidur dirumah, jadi ia bebas membuka hijabnya. Namun, karena sekarang tidur sekamar berdua, ia malah jadi ragu antara melepas hijab atau tetap mengenakannya.
Namun, ia menepis fikiran ragu, untuk apa ragu, toh dia dan Evan adalah pasangan suami istri yang sah. Apapun yang dilihat Evan dari diri Alina adalah Halal untuknya, begitupun sebaliknya.
Jadi Alina putuskan melepas hijabnya dan duduk disamping Evan yang tengah sibuk dengan ponselnya.
"Belum mau tidur Mas?" Evan menoleh mendengar pertanyaan Alina.
Evan tertegun, wanita yang ada didepannya, istrinya, tampak sangat berbeda.
Rambut panjang sedada itu nampak sangat cantik dengan potongan layer. Wajah bulat dan mulus itu nampak makin cantik.
"Alina..." gumam Evan. Alina yang merasa Evan tampak terkejut dengan penampilannya merasa malu. "Kenapa mas? Aku jelek ya?" tanya Alina pelan, ia menunduk. Bagi Alina, ia pasti sedang terlihat jelek didepan Evan sekarang.
Evan beringsut maju, ia mengangkat wajah Alina yang tertunduk. Memandangi sebentar wajah yang dulu ia ingat masih imut-imut, sekarang sudah sedewasa ini.
"Kamu cantik."
Blusshhh. Wajah Alina langsung memanas dan memerah, ia menjadi berdebar dengan kata-kata Evan yang manis.
"Al..." Evan makin mendekat, bahkan tangan Evan sudah menahan wajah Alina tetap pada posisinya. Memandangi wajah yang sudah lama sekali tak ia ingat.
"Terima kasih sudah percaya padaku, terima kasih kamu mau membantu keluargaku" Sorot mata Evan dalam, pria yang hidupnya tengah rapuh ini tak hentinya mengucap maaf dan teri makasih pada Alina.
"Sudah ya, tinggalkan semua yang menyakiti kamu Mas, kita akan melangkah di lembaran baru, kita akan saling menguatkan untuk kedepannya, Aku akan percaya kamu!" senyuman Alina mengembang indah.
Evan mengangguk, ia mengelus wajah Alina lembut dengan ibu jarinya.
"Kita istirahat ya? Kamu besok mau nyari kerja kan? Biar ga kesiangan" Evan mengangguk dan mereka sama-sama merebahkan diri pada kasur tipis yang baru dibeli tadi siang.
"Maaf ya Al kalau tidak nyaman" Alina menoleh pada Evan, pria itu memandang lurus pada langi-langit kamar.
Alina terkekeh pelan. "Mas tau nggak, aku tidur di Asrama waktu sekolah itu dimana?"
Evan menoleh pada Alina hingga pandangan keduanya bertemu.
"Aku juga tidur dengan alas kayak gini mas" Alina tersenyum, mengingat kenangan indah saat ia masih menuntut ilmu dulu.
"Bahkan kami juga tidur desek-desekan kalau abis cerita horor, atau ga ya pas ada kamar lain yang bermasalah plafonnya!"
Evan tersenyum. "Kenapa dulu kamu masuk ke sana? Padahal kalau sekolah di tenpat biasa kan kamu bisa tinggal sama kedua orang tuamu dengan nyaman"
"Karena itu keinginanku Mas, ilmu yang ingin aku pelajari adalah ilmu agama. Aku ingin lebih dalam lagi mengenal Tuhanku dan Agamaku, tapi aku juga ga melupakan ilmu mengenai dunia, jadi aku putuskan sekolah disana! Disana aku jadi belajar banyak hal, ga cuman ilmu yang aku dapat, tapi aku juga mengerti dan belajar berbagai cara bertahan hidup" Alina tersenyum bercerita sambil mengingat-ingat memori yang ada.
"Semenyenangkan itu?" tanya Evan. Alina mengangguk cepat.
"Disana aku belajar masak, menanam sayuran, merawat diri sendiri dan mengurusi semua kebutuhan disana, bahkan aku juga harus pandai-pandai mengehemat uang jajan yang diberikan Abi, soalnya disana di kantin itu biasanya akan selalu banyak aksesoris hijab yang lucu dan bagus Mas, biasanya banyak santriwati yang berebut menyerbu barang-barang tersebut, tapi disitu aku juga belajar untuk lebih paham mana yang kebutuhan dan mana yang keinginan, aku ga pernah ikut-ikutan membeli aksesoris hijab itu karna lebih baik cukup satu saja, selagi masih bagus dipakai jadi tidak harus tiap kali memebeli baru!" Evan menyimak dengan baik, ia sekarang mengerri kenapa sikap Alina amat sangat dewasa, baik, lapang dada dalam menerima keadaan. Ia sudah dilatih dan dididik dari dulu untuk berusaha menjadi ornag yang bijak seperti ini.
"Kalau kamu dulu di sekolah gimana Mas? Aku pernah sekali mendengar Mama bilang kamu pernah ikut tawuran saat SMP" Evan tersenyum kecil.
"Hahhah... Hanya perkelahian kecil, satpol PP nya saja yang lebay, kami digiring ke kantornya karna dituduh tawuran!"
Alina lalu menyimak bagaimana cerita Evan mengani teman-teman semasa SMP nya dan mengenai pertemanan mereka yang masih terjalin sampai sekarang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Atha Diyuta
ciyee yang udah mulai nyaman.ekhem ekhem
2024-03-02
1
💞Amie🍂🍃
Baper gak tuh😁😁
2024-01-16
1