Azlan Brilyan Ubaidillah. Dia bukan CEO seperti yang diceritakan dan diagungkan di novel-novel yang sedang booming, bukan juga anak dari owner perusahaan besar. Namun kharismanya mampu memikat banyak wanita tanpa ia sadari.
Seperti halnya Idris, Azlan hanyalah orang biasa yang kesehariannya bekerja dan menerima upah. Ia pernah bekerja menjadi security di sebuah pabrik besar pengelola berbagai macam produk yang kemudian beruntung dan dipercaya sebagai kepala koordinator keamanan kantor pusat.
Sebenarnya bukan hanya keberuntungan yang membuatnya memiliki jabatan itu, tidak akan ada hasil tanpa jerih payah, dan Azlan mendapatkan segalanya juga atas talenta yang dipandang luar biasa oleh bosnya. Tiga tahun bekerja, bukan waktu singkat untuknya berhasil duduk di kursi yang membuatnya dipatuhi banyak orang.
Namun saat perusahaan tempatnya bekerja gulung tikar, terpaksa ia harus angkat kaki dari perusahaan itu.
Azlan, dialah lelaki tampan yang selalu merasa seperti lumpur, yang selalu sibuk memperbaiki diri. Dia menolak berdekatan dengan wanita-wanita cantik bukan karena sombong, bukan juga karena ilfil, tapi hatinya selalu ingin dekat dengan penciptanya hingga ia selalu menghindari perbuatan-perbuatan yang sekiranya dapat melunturkan imannya. Ia menyadari satu hal, satu-satunya kelemahannya adalah wanita. Dan ia tidak ingin kelemahannya menghancurkan imannya.
Baru dua hari Azlan menganggur, ia sudah kebingungan mencari pekerjaan baru. Sudah googling dan bertanya kesana kemari mencari lowongan pekerjaan, tapi hidup di kota tak semudah seperti yang dibayangkan. Sampai kini ia belum mendapat pekerjaan baru setelah kemarin sempat berusaha melamar pekerjaan di rumah Alexa, namun gagal. Ralat, bukan gagal, namun kesan awal sudah membuatnya tak nyaman.
Azlan duduk di kursi teras, tangannya memutar-mutar ponsel sambil berpikir.
“Azlan, uang kontrakan besok dibayar, ya!” seru Bu Ratih, pemilik kontrakan yang melintas di depan rumah.
Azlan tersenyum dan mengangguk. Ia baru saja mengirimkan uang ke orang tuanya. Dan di dompetnya hanya tersisa sedikit, mungkin hanya cukup untuk makan seminggu ke depan.
Sebagai putra sulung yang tidak lagi memiliki ayah, Azlan menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga. Dibalik ketenangannya di mata banyak orang, seorang Azlan memiliki beban besar yang harus dipikul.
Azlan menggeser tombol hijau di ponselnya ketika benda pipih itu berdering. Idris menelepon.
“Azlan, kenapa kemarin lo langsung pergi waktu dating ke rumah majikan gue? Lo bahkan belom sempet ngobrol sama Alexa, majikan gue,” cerocos Idris di seberang.
“Sepertinya majikan lo nggak butuh pekerja lagi.”
“Siapa bilang? Justru dia baru aja memecat security, lo coba aja melamar siapa tahu lo bisa ngegantiin security yang lama. Mumpung ada yang kosong. Ini kesempatan bagus. Jangan disia-siain. Kalau lo kerja di sini, kita kan bisa berkumpul kayak dulu lagi. Kayak waktu kita SMP sampai SMA. Ayolah, gue tahu lo butuh pekerjaan.”
“Thanks atas tawaran lo. Gue pikirin nanti.”
“Jangan kelamaan mikirnya.”
“Oke oke.” Azlan memutus pembicaraan.
Azlan kemudian bergegas pergi sesaat setelah mendapat pesan dari Yakub, sahabatnya itu memberi kabar baik. Sehari yang lalu Azlan baru saja mengajukan permohonan lamaran ke sebuah perusahaan atas bantuan Yakub, dan pimpinan perusahaan memberi respon baik, kemudian hari ini Yakub mengabari bahwa pimpinan perusahaan ingin bertemu langsung dengan Azlan di sebuah kafe.
Azlan mengendarai motornya menuju kafe yang disebutkan Yakub. Hanya sepuluh menit waktu yang harus ia manfaatkan. Sebab hanya sepuluh menit waktu yang diberikan oleh pemimpin perusahaan tersebut untuk menunggunya.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 236 Episodes
Comments
Otiswan Maromon
seru
2022-01-02
0
Cikmis Dasahi
👍👍👍
2021-12-09
1
Budi Ono
hhhaaaahhha
2021-11-29
0