Ponsel dalam saku celana Azlan bergetar. Dengan satu tangan, Azlan merogoh ponsel. Bunda moooet, begitu nama yang tertulis di layar ponselnya. Ia menyelipkan ponsel ke balik helm. Tidak ada satu pun alasan bagi Azlan menolak telepon Bundanya meski ia sedang terburu-buru sekarang. Bunda adalah prioritas utama dalam hidupnya.
“Azlan, apa kabar, Nak?”
“Baik Bunda!”
“Maaf, bunda ngerepotin, Bunda butuh uang lagi.”
“Iya, Bunda. Akan kukirim.”
“Adik-adikmu butuh biaya untuk sekolah. Apalagi Sasha.”
Azlan terdiam menatap sendu ke depan, seolah-olah yang sedang ia pandangi sekarang adalah wajah bundanya. Ada banyak hal yang ingin Azlan katakan, namun yang keluar dari bibir tipisnya hanya satu kalimat. “Maaf Bun, tapi mungkin aku akan sedikit lebih lambat mengirimkannya.”
Azlan tidak mungkin menceritakan panjang lebar masalah pekerjaan yang membuatnya kini tidak memiliki pendapatan. Sudah cukup beban hidup Ibunya, yang menanggung banyak penderitaan.
Lima detik jeda kosong dalam perbincangan mereka.
Ada ruang rindu yang terselip di benak Azlan selama jeda itu, rindu pada Bunda tentunya. Sudah tiga bulan tidak bertemu, Azlan terlalu sibuk hingga tidak sempat pulang kampung.
Azlan tahu, Bundanya sedang ingin menyampaikan banyak hal, atau mungkin keluh kesah selama tiga bulan terakhir.
Sebenarnya Azlan tetap siap mendengarkannya, tapi sepertinya sang Bunda enggan menceritakan. Azlan tidak pernah membantah Bundanya, tidak pernah menolak permintaan Bundanya. Sekalipun tidak pernah. Apa saja yang Bundanya minta, pasti ia turuti. Azlan benar-benar anak berbakti dan patuh pada orang tua. Bahkan untuk urusan jodoh, Azlan mengangguk patuh saat Bundanya menunjuk Mekka sebagai calon istrinya.
Azlan telah mewakafkan dirinya di jalan Allah, ia siap menghabiskan hidupnya demi Bundanya tercinta. Karena bila ia menggantikan perjuangan Bundanya sejak mengandung, melahirkan dan membesarkannya dengan berkarung-karung berlian, itu semua tidak akan cukup.
“Bunda jangan cemas, aku pasti akan kirim uang buat Bunda. Oke, Bun?”
“Cepat pulang ya, Nak. Bunda kangen. Adik-adikmu juga pengen ketemu.”
Azlan tersenyum. Azlan tahu, adik-adiknya pasti merindukan uang, juga oleh-oleh darinya. Itu saja. Andai beberapa gadis melihat senyumnya saat mengiris bawang, maka jari-jari mereka pun akan teriris tanpa sadar. Sungguh Azlan adalah lelaki yang sangat tampan.
“Ada satu lagi yang Bunda sangat harapkan darimu.”
“Apa itu, Bun? Katakan saja.”
“Menikahlah.”
Jantung Azlan terasa lemah mendengar kata-kata itu. Raut wajahnya juga berubah memucat.
Entahlah, Azlan merasa belum siap menikah meski usianya sudah memasuki angka dua puluh tujuh tahun. Disamping menurutnya usia segitu masih terlalu muda, dia juga belum berpikir untuk berumah tangga. Saat ini, hanya cinta dari Yang Maha Menyayangi yang dia inginkan. Dan berharap tidak ada cinta lain yang tumbuh di hatinya selain itu. Salahkah dia?
“Pulanglah, temui Mekka. Halalkan dia. Bunda ingin melihatmu menikah. Bunda cemas membiarkanmu jauh dari Bunda. Siapa perempuan di dekatmu, dengan siapa kamu bergaul, bunda mencemaskan itu, Nak.”
“Bunda percaya sama aku, kan?”
“Tapi Bunda tidak percaya dengan lingkungan dan orang-orang disekelilingmu. Kamu hidup di kota, di Jakarta, beda dengan di kampung. Insyaa Allah, Mekka akan mendampingimu, mengingatkanmu, berjuang di jalan Allah membina rumah tangga yang baik. Dia perempuan baik yang selalu menjaga kehormatan. Dia akan melengkapi hidupmu. Percayalah pada Bunda. Kamu harus segera menikah agar Bunda tenang.”
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 236 Episodes
Comments
Sumardani Yati Ori
hadeuhhh mulai dah emak2 jodohin anak berkiblat....mahrom dll seakan wanita tak berhijab wanita.....ga layak nikah😒🙁☹😞
2022-09-28
2
Nani Marlina
itu namany orang tua ga tau diri terlalu... terlalu membebani, ambil upahan cucian kek buat tambah tambah..
2022-05-24
0
Jalitong Jalitong
sory thor coba mengingatkan,,,,,waktu bunda menelpon kok gug ucapin salam,,,ktanya taat pada agama
2022-05-04
0