Mama keluar dengan membawa dua cangkir teh yang masih agak mengepul asapnya.
Aku diam tak berkutik.
Tampang Mama dingin menyeramkan.
Terlihat Ruby juga tak berani berbuat macam-macam. Matanya menunduk ke lantai sementara jemarinya sibuk memilin-milin tali tas kecilnya.
"Mama kecewa. Terutama padamu, Angga!"
Aku masih menunggu ucapan Mama selanjutnya. Dia sepertinya sedang berusaha menyusun kalimat yang tepat untuk menyerang ku karena kesalahpahaman ini.
Aku masih sangat penasaran, apa saja yang Mama dengar dari Laila. tentang Ruby yang adalah istriku. Tapi untuk saat ini, kubiarkan dulu Mama menumpahkan unek-uneknya. Biar kudengarkan dahulu apa katanya.
"Bisa-bisanya kalian menikah, tanpa pemberitahuan. Bahkan Mama tahu kabar itu justru dari Laila. Bukan darimu, Ga!"
"Laila..., dia cerita apa aja sama Mama?"
Tiba-tiba Mamaku berdiri dan berjalan cepat menuju kamarnya. Setelah itu kembali keluar dengan sapu lidi di tangan.
Prok prok prokkk
Keprokkk
"Mama! Aduhh, Mama!"
"Terakhir kali kamu merasakan pukulan sapu lidi Mama ketika usiamu sebelas tahun. Ingat? Waktu itu kamu mencuri mangga pak Dirga. Dan kali ini Mama tidak akan segan memukulmu karena sudah bertingkah memalukan. Sangat sangat memalukan!"
"Ma! Apa salah Angga? Apa yang salah denganmu? Hanya karena Angga tidak pulang ke rumah beberapa hari,"
"Bukan itu masalahnya! Tapi kamu sudah berbuat jahat pada anak gadis orang! Kamu sudah mencoreng muka Mama! Beraninya mencuri dan menghamili Ruby sampai kalian harus dinikahkan paksa tanpa persiapan!"
"Ehh?"
Ehh??? Koq, ceritanya jadi lain? Apa yang sudah Laila ceritakan pada Mama?
"Tunggu! Tunggu!!! Adauww sakit, Mama! Mama!"
"Mama tidak akan berhenti! Sampai kamu minta maaf pada Ruby karena telah melakukan perbuatan yang memalukan! Minta maaf!"
"I iya, tapi udah mukulnya!" jeritku kesakitan.
Sapu lidi Mama pedas terasa di sekujur tubuh. Dan jujur Aku trauma dengan masa kecil yang sering sekali dipukul Mama dengan sapu lidi.
"Ma Mama, maaf... kasihan Angga. Angga gak salah. Saya yang salah."
Aku terkejut. Ruby menangkap tubuh Mama dari belakang. Dia mencoba meredakan amarah Mama. Dan... berhasil.
Mama berhenti memukulku.
Dia diam mematung tak bergerak.
Hanya matanya yang perlahan meneteskan air. Wajahnya mengandung kesedihan yang mendalam.
"Maaf..., maafkan anak Mama ya Ruby? Hik hiks hiks..."
"Mama..."
"Ma..."
"Kamu harus minta maaf pada gadis baik hati ini! Ayo cepat minta maaf!"
Entah bagaimana ceritanya. Aku terdoktrin sebagai pria yang nyaris sama dengan si Ryan. Disangka telah melakukan pelecehan s++sual padahal tidak sama sekali.
"Ma maaf, Ruby..."
Ruby tersenyum sambil mengangguk. Ada rona bahagia dari tatapannya dan senyuman kepuasan yang membuatku ingin sekali menjitak kepalanya.
Sepertinya dia sengaja mentertawakan aku. Terlihat lidahnya dijulurkan tanda meledek tanpa sepengetahuan Mama.
"Masih untung kamu tidak dilaporkan ke polisi. Coba kalau seperti suaminya Laila, habis kamu. Ruby gadis baik. Anak keluarga baik pula. Sehingga kamu hanya langsung dinikahkan padahal tak punya apa-apa dan tak membawa apapun ketika menikah."
"Bawa. Jiwa ragaku, Ma. Bahkan kini kukorbankan masa mudaku menikah dengan perempuan ini."
"Eh? Ehh? Masa mudaku juga kali'?!"
Prokkk
Lagi-lagi Mama memukul dengan sapu lidi yang masih di genggamannya.
"Angga...! Mama tidak pernah mengajarkan kamu untuk kejam kepada perempuan. Hik hiks hiks... Mama selalu nasehatin kamu sedari kecil. Jangan pernah menjadikan perempuan sebagai objek. Karena perempuan adalah makhluk paling suci dan paling mulia. Hik hiks hiks... Tapi ternyata... Mama telah gagal mendidik kamu. Mama benar-benar ibu yang buruk. Hik hik hiks..."
Aku tertegun.
Termangu melihat Mama menangis terisak dengan kepala tertunduk.
Aku kadang kesal dengan tingkah Mama yang misterius dan banyak rahasia padaku. Tapi, Aku juga menyayanginya meskipun dalam versiku sendiri.
Sejujurnya aku takut kehilangannya. Karena hanya Mama seorang saja yang kupunya.
Kami hanya hidup berdua.
Sedari aku kecil.
Papa, hanyalah selewat ada di hidupku.
Karena pertemuan kami bahkan bisa dihitung dengan jari.
Hhh...
Grepp.
Kurangkul bahu Mama.
"Maaf... Maaf. Aku belum bisa memberikan Mama bahagia. Maaf..." gumamku dengan bibir bergetar.
Aku ikut sedih dan terhanyut mengingat Mama serta pengorbanannya selama ini.
Tangis Mama semakin besar. Aku mulai panik. Tapi untungnya Ruby ternyata cukup handal dan cekatan.
Dia memeluk Mama, ikut menenangkannya.
Akhirnya semua kegundahan Mama bisa kami redam.
Kami. Aku dan Ruby. Istriku yang hanya dikontrak satu tahun saja.
Mama menanyakan perihal kehamilan Ruby.
Gadis itu sangat terbuka pada Mamaku. Sehingga aku sendiri akhirnya mendengar penuturan Ruby tentang bayi dalam kandungannya.
"Menginaplah kalian disini." Pinta Mama dengan tatapan mengiba.
"Tapi keluarganya Ruby,"
"Iya, Ma. Kami akan menginap untuk menemani Mama."
Aku menoleh ke arah Ruby.
Tak percaya kalau dia menyetujui ajakan Mama. Aku menolak karena takut Ruby tidak mau. Secara, rumah kami lumayan jelek. Lembab dan sedikit bau jamur karena temboknya yang seringkali rembes jika hujan deras datang.
"Ruby?"
"Aku bisa kok temenin Mama semalam. Kebetulan aku masih cuti kerja sampai lusa."
"Oh iya, Mama lupa. Ruby ternyata juga kerja ya?"
"Iya, Ma. Tapi pas mau nikah Ruby ambil cuti."
"Kerja dimana, Nak?" tanya Mama.
"Kuli, Mah. Cuma... karyawan biasa."
"Ah kamu, terlalu merendah. Mama juga. Mama dari Angga masih kecil karyawan pabrik garmen yang ada di Cibinong."
"Mama juga kerja di garmen? Cibinong mananya?"
"PT GA."
"Hah? PT GA? Oh, Mama kerja disitu? Bagian mana?"
"Di bagian cutting. Menjahit. Hehehe..."
"Ruby?"
"Aku? Aku...mmm akuntansi, Ma."
"Waah, keren dong. di garmen mana?"
"Garmen kecil. Hehehe..."
"Oh. Iya ya... Angga belum punya pekerjaan yang jelas. Hhh... Anak ini masih seperti bocah walaupun sudah dua puluh enam tahun usianya. Masih suka main-main dan belum serius mencari kerja. Maafkan Angga ya Ruby? Mungkin itu sebabnya dia belum berani memikirkan pernikahan. Tapi nafsunya terlalu tinggi sampai berani... mengajakmu melakukan hal-hal yang dilarang agama."
"Tidak apa, Ma. Ini sudah suratan takdir. Ruby senang, Angga menikahi Ruby. Kami akan jalani dengan hati yang ikhlas."
"Anak baik. Beruntungnya Angga bisa mendapatkan kamu sebagai istri."
"Uhuk uhuukkk..."
Aku hanya bisa terbatuk-batuk. Tersedak air ludahku sendiri.
Andai Mama tau, gue cuma suami kontrak dari anak holang kaya ini. Hm.
"Mama..., tidak masak. Mama pikir kalian tidak akan datang hari ini."
"Jangan terlalu dipikirkan, Ma. Kita bisa pesan order lewat online. Sekarang gampang. Ga perlu ribet. Hehehe... Mama mau makan apa? Biar Ruby pesan sekarang. Ga lama paling lama setengah jam makanan sudah datang. Mama mau makan apa?"
"Mama malu. Jadi ikut merepotkan Ruby."
"Jangan sungkan, Ma. Ruby sekarang kan juga anak Mama. Kita beli makanan ala Sunda aja ya? Ayam bakar, sambel lalapan."
"Terserah Ruby. Mama sudah seminggu ini mulutnya kurang sehat."
"Nanti makan banyak. Biar kembali sehat."
"Aamiin... Terima kasih banyak ya Nak."
Ada senang, ada sedih.
Ruby cepat akrab dengan Mama. Mereka cepat terkonek padahal baru saja bertemu.
Bahkan sesekali kulihat wajah Mama dan Ruby yang begitu ceria. Berbincang santai kadang tertawa-tawa.
Sudah lama sekali aku tidak melihat Mama sebahagia ini. Wajahnya tampak berseri walaupun masih sedikit pucat karena sedang sakit.
Aku ingin Mama bahagia.
Hari ini, hatiku tenang karena bisa membuat Mama ceria dan tertawa-tawa.
Semuanya karena Ruby.
Berkat Ruby.
Dalam hati aku bersyukur Tuhan menjadikan Ruby istriku. Walau hanya untuk satu tahun saja. Tapi ini adalah anugerah terindah dalam hidupku.
Terima kasih, Tuhan.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
ɳσҽɾ
akhirnya terucap kata syukurkan, mungkin kalian memang sebenarnya berjodoh
2023-10-23
1