My Little Bart
Senyum lebar menyempurnakan wajah ayu yang dibingkai kacamata bundar milik Kamala. Di tanganya tergenggam erat selembar bukti disahkan dirinya sebagai seorang abdi negara. Nomor Induk Kepegawaian yang melekat padanya kini menandakan awal dari perjuangan untuk mengabdi pada negeri melalui jalur pendidikan.
Kamala memeluk erat surat keputusan itu sambil membayangkan wajah Papanya nanti. Atusiasme tinggi tergantung di benak Kamala sepanjang perjalanan menemui papanya yang kini tinggal di pinggir Kota Surabaya. Ia tidak sabar ingin segera bertemu dan mengabarkan berita baik ini pada pilar pertama dalam kehidupan Kamala.
Sepeda motor yang dikendari Kamala berhenti pada sebuah pondok kecil terpisah yang ada di bagian belakang kompleks panti werda. Tidak seperti biasanya, halaman pondok yang biasanya lengang itu kini bertengger sebuah sedan mewah yang terlihat asing. Kamala mempercepat langkah kakinya untuk melihat siapa tamu sang Papa.
“Mala!” Papa terlihat terkejut dengan kedatangan Kamala. Walau pun begitu, Papa segera bangkit untuk menyambut putri semata wayangnya itu dengan pelukan, “Panjang umur anak Papa!”
“Kenapa, Pa?” Kamala tidak bisa menahan diri untuk bertanya. Kalimat Papa menunjukan bahwa dirinya baru saja menjadi topik pembahasan Papa dengan tamu yang kini menatapnya sembil tersenyum.
“Kamu masih ingat?” Papa segera menarik Kamala mendekat.
“Om Dipa!” Kamala tidak bisa menyembunyikan senyum di wajahnya. Ia langsung menyalami laki-laki paruh baya itu dengan suka cita.
“Kamu benar-benar sudah dewasa sekarang, La!” Om Dipa menepuk bahu Kamala dengan bangga. Aura keakraban langsung saja menyelimuti ruang tamu kecil yang berisikan mereka bertiga. Suasananya penuh dengan nostalgia.
Papa yang bekerja sebagai guru sebelum akhirnya menjadi kepala sekolah itu dulunya dekat dengan seorang murid yang sering mampir dan tinggal di rumahnya. Orang itu tidak lain adalah Om Dipa. Setelah lulus dan sukses pun Om Dipa masih sering bermain ke rumah Papa. Ia sudah dianggap anak sendiri orang Papa dan Mama yang belum juga memiliki momongan. Mereka hampir menyerah saat tiba-tiba kabar baik itu datang. Kamala lahir dan menjadi pelengkap keluarga kecil itu.
Tapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Mama meninggalkan Kamala yang masih berusia lima tahun. Berita duka itu lantas merekatkan kembali hubungan Papa dan Om Dipa yang sempat renggang karena bisnis yang dikelola olehnya. Bisa dibilang selain Papa sebagai orang tua tunggal yang membesarkan Kamala, Om Dipalah yang memberikan pelengkap bagi masa kanak-kanak Kamala.
Berkat kedekatan itulah Papa yang sudah pensiun sebagai kepala sekolah lantas diberikan kepercayaan untuk memimpin sebuah panti khusus orang tua yang menjadi bagian dari yayasan milik Om Dipa. Benang merah itu dibina dengan baik oleh Om Dipa hingga ia terus menunjukan baktinya pada Papa yang dulu telah menyelamatkan hidupnya.
“Om Dipa sibuk sekali ya? Sampai Mala nggak tahu lagi kabar Om!” mata Kamala tidak tamat melihat Om Dipa. Ia masih tidak percaya akan bertemu kembali dengan orang itu.
“Om banyak pekerjaan dan harus bolak balik Surabaya Jakarta La. Malah banyakan sekarang harus di Jakarta...” Om Dipa terlihat ingin mengulurkan tanganya untuk mengusap kepala Kamala namun diurungkannya. Kamala bukan lagi anak-anak.
“Jadi orang ibu kota nih sekarang ceritanya!”
“Nggak gitu juga La...” jawaban yang diberikan oleh Om Dipa terasa tergantung di langit-langit mulutnya. Senyumnya terlihat canggung dan sedikit dipaksakan. Ada sebuah ganjalan yang entah mengapa sulit untuk dikatakan.
“Ada apa?” Kamala yang menyadari kedua laki-laki yang dihormatinya itu saling lempar pandang akhirnya memutuskan untuk membuka percakapan. Ia sendiri seolah yakin bahwa kecanggungan itu menyangkut dirinya.
“Gini La, menimbang banyak sekali hal yang telah terjadi antara kami. Walau ini bukan masalah membalas budi atau rasa terima kasih, Papa ingin sekali menguatkan silaturahmi kita dengan Om Dipa...” sesaat setelah berdeham, Papa mulai mengutarakan maksudnya. Ia terlihat menunggu reaksi Kamala, tapi memutuskan lanjut saat melihat putrinya itu memilih untuk menyimak daripada menyela.
“Papa...kami berdua...berniat untuk menjodohkanmu dengan Bara. Anak Om Dipa...” keinginan Papa akhirnya tersampaikan juga. Ia ingin segara mengakhiri situasi ini dengan menjelaskan maksud dan tujuannya langsung pada intinya.
Kamala menelan ludah untuk meredam gejolak emosi yang muncul dari dalam dirinya. Ia memandang kedua orang tua itu bergantian. Matanya tajam mencoba menelisik setiap maksud dan kesungguhan keduanya. Om Dipa bahkan tidak berani memandang mata Kamala yang kini terlihat tajam di balik kacamatanya.
“Kenapa tiba-tiba sekali? Papa bahkan tidak tahu apakah aku memiliki seseorang yang ingin aku jadikan pendamping hidup atau belum?” Kamala merasa harus tahu latar belakang dari niat keduanya itu. Tidak mungkin niatan baik itu datang tanpa sumber yang memulainya. Belum lagi ini menyangkut masa depannya.
“Apa kau punya kekasih anakku?” sepertinya Papa melupakan satu fakta ini. Selama ini putrinya itu belum pernah mengenalkan satu orang laki-laki yang dianggap dekat dengannya. Sebagian besar hanya dia kenalkan sebagai temannya. Itu pun diikuti dengan perkembangan media sosial Kamala yang tidak pernah mengarah pada satu pria khusus.
“Tidak, aku tidak memilikinya Papa. Tapi bukankan sebelum menentukan sesuatu harusnya bertanya dulu padaku? Terlebih lagi ini menyangkut masa depanku kan?” Kamala berkata sesungguhnya. Ia sadar ia bukan lagi anak remaja yang tidak memiliki nilai tawar terlebih dengan pendapatnya sendiri.
“Maafkan Papa, Nak. Pikiran Papa mungkin pendek hingga tidak sampai pada hal itu. Hanya saja, Papa ingin mempercayakanmu pada keluarga yang sudah pasti akan menyayangimu jika Papa pergi sewaktu-waktu...”
“PAPA!” Kamala mau tidak mau memotong kalimat Papa. Ia tidak sanggup mendengarkan lanjutan dari kalimat tanpa harapan itu. Kamala tidak ingin berandai-andai bahkan membayangkan perpisahan dengan satu-satunya keluarga yang ia miliki. Tatapan mata tidak percaya tertuju pada sosok yang sangat dihormatinya itu.
“Papa, Mala...” Om Dipa mencoba menengahi sebelum suasana menjadi kalut, “Mala, sebenarnya masalahnya ada di Om, Mala. Kamu jangan salah paham dulu.” Om Dipa terlihat mengambil nafas dalam dan berhati-hati untuk mengutarakan masalah yang sedang dihadapinya.
“Om merasa gagal menjadi Ayah. Anak laki-laki Om sulit sekali untuk Om mengerti. Semenjak Om menikah lagi, Bara semakin berada di luar jangkauan Om. Mungkin benar ini karma dari tindakan dan sikap Om waktu masih muda. Om merasakan ujian serupa yang mungkin dulu dirasakan oleh orang tua Om...” Om Dipa meremas tangannya dengan erat. Bahu yang bisanya terasa lebar penuh dengan kepercayaan diri itu kini luruh bersamaan dengan asa yang meninggalkan dirinya.
“Om berdiskusi dengan Papa untuk mencari jalan keluar dari ujian ini. Simpulan yang kami miliki adalah apa yang Papa sampaikan tadi. Om tahu, kamu terlalu baik untuk Bara, Om paham benar bahwa keputusan kami sangat egois dan tidak adil untukmu. Tapi Om benar-benar menemukan jalan buntu...” air mata menetes perlahan dari sudut mata Om Dipa. Hati Kamala tiba-tiba terasa begitu perih melihat sosok yang biasanya kuat itu kini terlihat letih.
Kamala memandang keduanya bergantian dan menghembuskan nafas panjang, “Keputusan ini sudah final kan? Aku tidak memiliki opsi lain selain menerimanya kan?” pertanyaan Kamala membuat Papa dan Om Dipa serentak memandangnya. Mereka tidak menyangka Kamala akan semudah itu menerimanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Kuningan
Aku baca pake akun ini ya, akun pemecah regulasi buat yang berbau fantasi 😅
2024-02-15
0
White Mist (Trisha)
kurang suka genre ceo sih, tapi buat bahan belajar gak masalah kan? 😅
2024-02-14
0
White Mist (Trisha)
kunjungi ini kan?
2024-02-14
0