Kamala kembali menghela nafas begitu ia memasuki kamar yang sengaja dipersiapkan untuknya. Tepatnya untuk dia dan Bara. Kamar terbaik di sebuah resort mewah itu telah disulap sedemikian rupa menjadi kamar untuk malam pertama yang sangat indah. Bunga mawar bertebaran di sudut-sudut kamar dengan estetika sekelas hotel bintang lima. Beberapa lilin aromatik sengaja di nyalakan untuk menambah nuansa romantis bagi sang penghuni kamar.
Nyatanya tiada suasana romantis yang akan tercipta mengingat penghuni kamar malam ini bukanlah pasangan yang menikah bahagia. Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh orang tuanya? Tiba-tiba saja Kamala dan Bara jatuh cinta dan menggunakan kamar itu bersama-sama?
“Benar-benar konyol. Mereka pikir kita akan menghabiskan malam pertama di sini? Aku denganmu? Cih...” Bara masuk ke dalam kamar dan langsung melempar handuk berbentuk angsa itu ke ujung ruangan.
Kamala mengikuti langkah Bara tanpa berniat mendebatnya. Ia juga memiliki pemikiran yang sama dengan Bara. Sudah wajar jika keduanya kehilangan kata-kata begitu melihat situasi kamar.
“Aku mandi duluan dan pergi dari sini...” tanpa menunggu Kamala menjawab, ia masuk ke dalam kamar mandi setelah melempar jas yang dikenakannya sembarangan.
Kamala diam tidak peduli. Toh itu kalimat pernyataan bukan pertanyaan. Ia juga tidak perlu menjawab ataupun memberitahu Bara bahwa laki-laki itu tidak akan bisa menjalankan apa yang menjadi keinginannya. Tempat ini sudah dijaga. Tentu saja, ia tidak bisa pergi ke mana-mana.
Jemari Kamala menelusuri pinggiran meja saat ia berjalan menuju balkon kamar. Langkahnya terhenti saat ia melihat melihat sosok yang terpantul dari kaca besar di ujung meja panjang. Wajah yang biasanya polos tanpa riasan itu kini terlihat berbeda didandani make up artis ternama. Ia bahkan hampir tidak bisa mengenali wajahnya sendiri. Bagian diri Kamala yang terlihat asing itu bahkan telah merebut kebebasannya. Ia tidak lagi seorang lajang tapi menjadi istri orang.
Buliran bening air mata mengalir perlahan dari sudut mata Kamala. Ia menarik kursi dan duduk tanpa berniat mengalihkan pandangannya dari cermin kaca. Dengan tatapan kosong, Kamala mulai melepaskan hiasan di kepalanya. Satu persatu ia mencoba mengurai kekalutan hati dan pikirannya. Ia tidak bisa berlama-lama larut dalam kesedihannya.
“Apa mereka menyiapkan baju ganti?” Bara keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada. Ia menghampiri Kamala yang masih duduk diam di depan cermin kamar.
“Apa kau anak kecil yang harus disiapkan segalanya?” jawab Kamala tanpa mengalihkan pandangannya ke arah Bara. Ia tidak tahu harus melihat ke arah mana. Dari pantulan kaca saja sudah terlihat kalau anak kecil itu hanya memakai handuk untuk menutupi tubuhnya.
“Kau tidak bisa ya berhenti menghinaku?” bukannya menjauh, Bara justru mendekati Kamala. Membuat tubuh laki-laki itu terlihat jelas di mata Kamala.
“Kau... ingin aku menjawab apa?” Kamala menelan ludah untuk menenangkan dirinya.
Mata Bara berbinar melihat kepanikan yang tersirat dari wanita yang kini telah menjadi istrinya itu. Tiba-tiba saja ia ingin menjahili Kamala, “apa sebenarnya kau ingin malam ini seperti layaknya malam pertama yang sesungguhnya?” bisik Bara di telinga Kamala.
Kamala mendorong tubuh Bara menjauh. Tangannya yang bersentuhan langsung dengan kulit Bara terasa panas. Ia lalu berdiri untuk menjaga jarak dengan laki-laki yang kini menyunggingkan senyum yang tak bisa diartikannya.
“Jangan bercanda...” tatapan Kamala berubah tajam. Ia tidak ingin jatuh ke permainan Bara. Ia lalu memanfaatkan jeda itu untuk mengambil baju ganti dan beranjak ke kamar mandi. Kama ingin segera mengguyur semua kejadian hari ini yang masih berbekas jelas melalui make up dan baju kebaya pengantin yang masih dikenakannya.
Setelah memastikan kunci kamar mandi terpasang sempurna, Kamala segala melepaskan kebaya yang menempel ketat di tubuhnya. Setelah menggantung baju itu hati-hati, ia mulai membersihkan make up dari wajahnya.
Lagi-lagi Kamala teringat nasibnya saat melihat pantulan dirinya dari dalam kaca. Air mata kembali mengalir bersamaan dengan sulitnya make up untuk dihapus dari wajahnya. Ia berkali-kali mengusapnya dengan kapas yang sudah dilumuri cleanser, sudah juga dengan tisu basah, namun sisa riasan itu masih tetap ada. Kamala melampiaskan emosinya pada wajahnya yang tak berdosa itu.
Suara shower air menenggelamkan isak tangis Kamala. Ia sengaja berdiam diri cukup lama di bawah guyuran air panas. Sambil menetapkan hatinya untuk terakhir kali, Kamala mencurahkan semua emosinya saat ini. Setelah ini, ia tidak akan lagi mengasihani dirinya sendiri. Ia harus terus melangkah maju apapun rintangannya.
Itulah tujuan hidupnya saat ini.
Kamala keluar dari kamar mandi setelah lebih dari satu jam membersihkan diri. Ia mengedarkan mata untuk mencari keberadaan Bara. Tidak seperti keinginan awalnya, laki-laki itu kini justru tengah tertidur di atas kasur. Ia jelas-jelas kelelahan dengan prosesi dan pesta pernikahan yang baru saja digelar.
Kamala berjalan mendekat dan menarik selimut untuk menutupi tubuh Bara yang setengah telanjang. Biar bagaimanapun juga tidur di ruangan berpendingin seperti itu bisa membuatnya masuk angin. Kamala hanya tidak ingin hal itu terjadi.
“Bisa berikan kami satu selimut lagi?” tanya Kamala begitu sambungan telepon kabelnya terhubung dengan meja resepsionis, “apa ada P3K? Kalau ada tolong bawakan ke kamar. Terima kasih...”
Saat menyelimuti Bara, ia menyadari bahwa buku-buku jari Bara terlihat terbuka dan mengeluarkan darah. Luka tadi siang belum sepenuhnya mengering saat terkena air begitu laki-laki itu membersihkan diri sewaktu mandi.
Tidak lama kemudian seseorang membunyikan bel kamar. Kamala buru-buru membuka kan pintu kamar. Petugas hotel membawakan pesanan yang diminta Kamala dan segera undur diri dari kamar, “apa saya bisa minta bantuan?”
“Bisa Nyonya,” jawabnya langsung.
“Saya tadi menggunakan ruang tunggu pengantin di samping ballroom utama. Bisakah pihak hotel membawakan baju yang ada di ruangan itu ke kamar kami setelah mencucinya?” Kamala teringat baju yang ditanggalkan Bara begitu saja di ruangan itu.
“Tentu saja Nyonya, besok pagi akan kami antarkan ke kamar.”
“Terima kasih!” Kamala kembali pintu kamar. Ia lalu berjalan ke samping tempat tidur untuk merawat luka di tangan Bara. Ia mengambil tangan kanan laki-laki itu pelan agar tidak membangunkannya. Hati-hati ia mulai menyemprotkan pembersih luka sebelum mengolesinya dengan salep agar lukanya segera mengering. Terakhir Kamala menempelkan hypafix untuk menutup luka itu agar tidak kembali terbuka. Ia tersenyum sambil mengusap hasil pekerjaannya yang terlihat sempurna.
“Jangan terlalu peduli jika kau juga akan pergi...” kalimat Bara membuat Kamala menoleh. Tatapan keduanya beradu. Ia tidak tahu sejak kapan Bara terbangun dan memperhatikannya.
“Maafkan aku...” Kamala melepaskan tangan Bara yang masih digenggamnya.
“Sakit...dingin...” Bara menarik selimutnya lebih tinggi hingga menutupi kepalanya. Tak lama setelahnya terdengar kembali dengkuran halus darinya, menunjukkan jika Bara sudah kembali terlelap dalam tidurnya.
Kamala buru-buru turun dari tempat tidur dan berjalan ke arah sofa yang ada di samping jendela. Ia membawa serta bantal dan selimut yang semula di pesannya. Kamala meringkuk membelakangi Bara sambil menatap ke arah luar jendela. Ia berharap langit malam mampu mendamaikan hatinya dan mengusir pikiran liar yang kini tengah menghantuinya. Buntut kata-kata yang diucapkan Bara ternyata begitu membekas bagi Kamala. Entah Bara sadar atau tidak saat mengatakannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments