Bara kembali terkejut dengan sikap Kamala. Ia tidak menyangka Kamala akan bersikap seperti itu pada Leni yang baru saja dikenalnya. Belum selesai keterkejutan itu, Bara tergagap saat Kamala tiba-tiba menyentuh lengannya.
“Be…bentar!” Bara menghentikan langkah Kamala dan kembali menatap Leni, “kembalikan kartuku dan berikan kartu milik Kamala. Walau kau mendapat perintah dari Ayah. Kau tidak berhak membawanya. Apalagi tidak memberikannya pada kami setelah perintah itu selesai!”
Leni yang belum sepenuhnya bisa menerima situasi yang baru saja terjadi, tanpa sadar memberikan dua kartu kredit berwarna hitam yang langsung diambil oleh Bara. Bahkan tangannya gemetar, entah antara menahan amarah atau kesal dilawan seperti itu oleh dua orang. Bara bahkan tersenyum lebar sambil menggandeng tangan Kamala menuju garasi tempat motornya berada. Hatinya terlalu puas melihat wajah Leni yang pias. Ia seperti mendapatkan teman untuk melawan wanita yang dibencinya itu.
“Kita mau naik ini?” walau ini kedua kalinya Kamala melihat motor Bara, tapi ia tidak berpikir akan ikut menumpang di atasnya. Sekali pandang saja, Kamala tahu bahwa motor itu lebih mahal dari mobil keluarga paling baru sekalipun.
“Ya iya lah, mau naik motor buntutmu? Itu kalau aku yang naik langsung turun mesin tauk!” bukannya berniat menghina motor Kamala yang mungkin saja ia beli dengan uangnya sendiri. Tapi apa yang dikatakan Bara tidaklah salah. Motor matic milik Kamala memiliki body yang kecil sehingga jika dikendarai oleh Bara yang sebesar beruang sangat tidak direkomendasikan.
“Biar begitu…”
“...aku membelinya dengan uangku sendiri.” Bara ikut menimpali ucapan Kamala seperti yang sudah ia duga.
“Kok gitu sih!”
“Dah apal, gih naik!” Bara bahkan memberikan helem lain pada Kamala. Jelas Bara risih dengan helem yang memiliki merek yang sama dengan pabrik motornya itu.
Kamala kembali menelan untaian kata portes yang hendak ia ungkapkan dan memilih menerima helem yang diberikan oleh Bara. Ia menunggu Bara naik motor terlebih dulu dan mengambil ancang-ancang untuk naik di belakangnya.
“Aku boleh pegangan nggak? Di belakang nggak ada handlenya ini,” lagi-lagi Bara tertawa mendengar ucapan Kamala. Dia sampai heran ini kenapa ada anak sepolos itu.
“Bolehlah, pakai nanya!” mendengar izin yang diberikan oleh Bara, kamala memegang jaket Bara dengan kedua tangannya.
“Kalau pegangannya ga bener, aku nggak tanggung jawab kalau sampai jatoh lo ya?”
“Ini udah kenceng bawel!” protes Kamala.
Tapi bukannya marah, lagi-lagi seulas senyum menghiasi wajah Bara. Kedua tangan Bara meraih tangan Kamala dan menariknya melingkari pinggangnya. Ia bisa merasakan tubuh Kamala yang menegang saat ia menarik kedua tangannya.
“Santai istri, nggak ada yang tahu kalau aku masih SMA ini,” kelakar Bara sebelum menyalakan mesin motornya.
“Masalahnya nggak cuma itu aja…” perkataan Kamala tidak terdengar oleh Bara saking lirihnya. Semua ini terasa sangat asing bagi Kamala. Tentu saja karena ini juga pertama kalinya ia berboncengan dengan laki-laki sedekat dan semesra itu. Belum lagi di jalan raya di mana banyak orang yang akan melihat mereka. Tapi yang paling mengusiknya adalah debaran jantung Kamala yang tidak bisa dikendalikannya.
Secara teori Kamala memang sedang berpegangan agar tidak jatuh saat mengendarai motor. Tapi secara praktek, Kamala sedang memeluk laki-laki lain selain Papanya. Bagaimana hatinya tidak gusar berada di posisi tersebut?
“Kau ingin ke mana? Pantai ? Kafe? Kota tua?” tanya Bara saat ia mulai melajukan motornya.
“Tujuan utama kita kan untuk bicara, nggak untuk liburan,” komentar Kamala sambil mengencangkan pegangannya.
“Kalau gitu kita cari cafe aja, tapi sebelum itu ada tempat lain yang ingin aku tuju,” Bara mulai menggeber motor gedenya melintasi jalan Kota Surabaya yang mulai ramai. Tidak ada percakapan di antara kedua insan yang masih menggenggam keraguan di hati masing-masing. Tubuh keduanya saling beradu dengan kebimbangan detak jantung siapa yang paling bertalu-talu. Kamala hanya bisa mengalihkan pandangannya pada riuhnya jalanan di kala pulang kerja. Tatapannya kosong menyapu suasana hingga ia tidak sadar bahwa motor yang ditumpanginya telah berganti arah dan masuk ke pusat perbelanjaan yang cukup terkenal di tengah kota tua.
“Kau mau beli apa?” tanya Kamala begitu ia sadar mereka masuk ke basement parkiran mall.
“Ikut aja…” kata Bara santai. Ia memarkirkan motornya di tempat parkiran mobil, membuat Kamala bingung.
“Kok parkir di sini?” protes Kamala sambil ragu turun dari motor.
“Emang ada yang bilang nggak boleh?” lagi-lagi Bara terkekeh melihat muka Kamala yang kebingungan. Bara menyerahkan kunci motornya pada seorang petugas valet parkir yang ada lalu mendorong punggung Kamala masuk ke dalam mall.
“Bisa pelan dikit nggak?” protes Kamala saat berusaha menjajari langkah kaki Bara untuk kesekian kalinya. Perbedaan tinggi keduanya baru benar-benar terasa saat mereka berjalan bersamaan seperti itu. Kamala kewalahan mengikuti Bara yang jalan tergesa.
“Dasar bocah!” Berbeda dengan ucapannya, Bara memelankan langkah kakinya, “sini, tar ilang!”
“Kau makan apa sih bisa segede itu?” kata Kamala sambil melangkahkan kakinya ke arah eskalator. Bara menarik lengan Kamala agar bisa berada satu tangga bersamanya.
“Kau aja yang kena stunting!” Bara meringis saat Kamala mencubit lengannya. Keduanya memang terlihat terus berdebat, namun sebenarnya sepasang sejoli ini terlihat seperti pasangan pada umumnya. Saling bercanda dan terlihat bahagia. Bara juga menikmati caranya mengejek Kamala yang memiliki style dan gaya hidup yang jauh berbeda dengannya.
“Kita mau ke mana sih?” Bukannya menjawab pertanyaan Kamala, Bara justru mendorong punggung Kamala masuk ke dalam store bergambar apel silver.
“Aku ngga mau!” tolak Kamala tegas bahkan sebelum Bara mengatakan apa tujuannya masuk ke sana. Ia langsung berbalik keluar dan mengabaikan Bara yang terkikik geli. Ia bisa melihat wajah panik Kamala begitu ia menyentuh handphone keluaran terbaru dari merek itu.
“Kau butuh hape baru kan?” Bara menghadang langkah Kamala.
“Iya, tapi nggak itu juga!”
“So? Merek yang sama?” Bara menunjuk gerai lainnya.
Kamala ragu hendak mengangguk, ia berfikir jika membelinya di luar mall mungkin ada selisih harga yang dapat digunakan untuk membeli kebutuhan lainnya, “Aku yang beli di luar aja,” akhirnya memberanikan diri menyatakan pendapatnya.
“Siapa yang menyuruhmu membelinya?” Bara sudah mendahului Kamala masuk kedalam gerai tanpa menunggu jawabannya. Tangannya langsung menyentuh beberapa model yang di display.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya pramuniaga yang mendatangi Bara.
“Yang paling baru mana?” Bara mengikuti arah langkah kaki pramuniaga tanpa mempedulikan wajah Kamala yang langsung panik.
“Bara! Aku itu aja!” Kamala langsung menunjuk gadget dengan harga sekitar dua jutaan yang tertangkap matanya. Ia ingin segera mengakhiri penderitaan di dalam ruangan yang berisi banyak barang dengan harga yang tidak bisa dijangkaunya.
“Tapi ini bagus…”
“Aku nggak mau, aku mau itu aja!” Kamala bergidik melihat dua digit angka yang tertera di samping hape yang dipegang oleh Bara.
Bara kembali tergelak, sambil menghampiri Kamala yang terus gelisah. Ia melihat hape yang ditunjuk oleh Kamala dan mempelajari fiturnya. Jelas dibanding miliknya, hape yang ditunjuk oleh Kamala hanya memiliki fitur dasar.
“Kau yakin?”
“Iya!” jawab Kamala cepat. Setidaknya ia masih memiliki tabungan yang cukup untuk membeli itu.
“Aku yang bayar, kau boleh memilih yang lain…”
“Tidak! Itu cukup!” tawaran Bara tetap tidak membuat Kamala goyah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments