Seperti yang sudah Kamala duga. Rumah tempat tinggal Bara dan keluarganya berada di kompleks pemukiman elit dengan luasan dan bentuk yang megah. Kamala sampai menelan ludah sendiri membayangkan seberapa besar perawatan bulanan yang harus dibayar untuk bisa tinggal di rumah ini. Pastinya itu lebih besar dari gajinya sebulan.
“Kenapa diem aja? Masuk!” Bara menyadarkan Kamala yang masih termangu menatap fasad rumah berlantai dua itu. Kamala lalu menyeret kopernya masuk ke dalam rumah dengan rasa yang masih sama. Takjub dengan pemandangan luar biasa yang ada di hadapannya.
“Selamat datang Tuan...Nyonya...” sapa seorang wanita berusia pertengahan 30 tahunan. Di dadanya tertulis nama Leni sebegai kepala asisten rumah tangga.
Kamala hanya mengangguk pelan. Bukannya angkuh, namun Kamala tidak bisa berkata-kata. Ia tidak mengira di rumah ini terdapat sistem yang begitu kompleks. Dari depan gerbang sampai dengan ruang tengah bangunan, Kamala sudah bertemu lebih dari enam orang yang berbeda dengan jabatan yang berbeda.
“Ayo...” tanpa diduga oleh Kamala, Bara menggenggam tangannya. Ia membimbing langkah Kamala naik ke lantai dua.
“Bar...Bara...pelan dikit bisa nggak sih!” Kamala berusaha untuk menahan laju Bara yang tergesa. Jika ia salah langkah sedikit saja, tulang keringnya akan langsung terantuk bibir tangga. Apalagi ia masih menyeret serta koper bersamanya.
“Kau ini merepotkan saja!” Bara meraih koper dari tangan Kamala dengan tangannya yang bebas. Sambil menurunkan ritme langkahnya, Bara kembali menarik Kamala naik ke lantai dua. Ia lalu mengajak Kamala masuk ke dalam kamar yang ada di ujung lorong.
“Bisa tolong jelaskan arti sikapmu ini?” tanya Kamala begitu mereka sudah berada di dalam kamar. Dilihat sekilas, Kamala sudah bisa menebak bahwa ini kamar laki-laki itu.
“Aku mau mandi dulu...” bukannya menjawab, Bara justru masuk ke dalam kamar mandi, “jangan keluar kamar!” ia berteriak mengingatkan Kamala.
“Iya, bawel!” Kamala mulai mengedarkan pandangan ke ruang kamar Bara. Kamar seluas kurang lebih 10 kali 8 meter itu terlihat biasa saja. Justru terlihat sangat rapi untuk ukuran remaja laki-laki. Desain interior kamar didominasi warna biru dongker, hitam, dan putih. Kasur berukuran king size berada di ujung kamar dekat gorden dengan warna hitam. Terdapat sofa dan TV raksasa begitu memasuki kamar. Antara tempat tidur dan sofa terdapat rak yang membatasi area keduanya.
Selain kamar mandi yang baru saja dimasuki oleh Bara, terdapat satu pintu penghubung lain yang mengarah pada ruangan berisi baju-baju milik Bara. Kamar yang luasnya tiga kali lebih lebar dari kamar indekosnya itu diisi oleh Bara sendiri.
Kamala memutuskan untuk duduk di sofa dan menyalakan TV sambil menunggu Bara selesai mandi. Ia menahan dirinya sendiri untuk penasaran dengan privasi Bara. Lebih baik menunggu si empunya kamar keluar daripada melanggar batas-batas yang belum tentu ketetapannya.
Bara mendapati Kamala tengah asik menonton drama korea. Wanita itu senyam senyum sendiri melihat adegan yang menurut Bara membosankan. Saking fokusnya, Kamala bahkan tidak menyadari bahwa Bara sudah ada di dekatnya.
“Kaget aku!” Kamala terlonjak dari duduknya saat Bara tiba-tiba sudah duduk di sampingnya.
“Apa bagusnya sih itu?” Bara merebut remot dari tangan Kamala dan membesarkan volume suara TV. Sikap yang membuat Kamala bingung. Antara ucapan dan tindakan Bara tidak ada yang sinkron.
“Sekarang kita harus gimana?” tanya Bara tiba-tiba. Ia mengubah posisi duduknya menghadap samping agar bisa menatap wajah Kamala dengan jelas.
“Kita?”
“Ya, aku, kamu, dan drama bodoh ini...” yang dimaksud drama bodoh ini adalah kisah keduanya yang terjebak pada bahtera pernikahan dengan terpaksa.
“Sebelum aku berkata lebih jauh lagi, apa yang kau harapkan dari pernikahan ini? Apa rencanamu setelah menyetujui pernikahan ini?” Kamala ingin lebih banyak mendengar. Ia dalam posisi yang tidak terlalu memiliki banyak syarat saat menyetujui pernikahan itu. Ini mungkin terdengar konyol, tapi ia hanya ingin menuruti kemauan orang tuanya dan percaya dengan putusan mereka.
“Aku tidak punya rencana,” jawab Bara jujur, “Aku hanya ingin mempermainkanmu, mempermainkan kalian, orang-orang dewasa yang egois,” tandas Bara. Ia sebenarnya memiliki pemikiran yang lebih kejam lagi hingga membuat Kamala tersiksa dan semakin kerepotan. Tapi melihat sikap Kamala yang cenderung cuek dan tidak peduli membuat Bara meredam niatnya. Ia ingin melihat Kamala lebih dekat lagi. Entah kenapa ia melihat Kamala sebagai objek yang menarik.
“Itu masuk akal...” Kamala tidak terkejut lagi dengan pemikiran itu. Itu adalah pemikiran umum yang bisa dimiliki siapa saja yang ada di posisi Bara. Salah satu wujud pemberontakan yang bisa dilakukan anak seumurnya adalah bersikap lebih nekat dari sebelumnya.
“Aku tidak habis pikir dengan motif mu sebenarnya. Kau menerima apa hingga kau mau menikahi bocah sepertiku? Dibayar berapa dirimu?” pertanyaan Bara membuat Kamala terkekeh geli. Sangat lucu mendengar Bara menyebut dirinya sendiri sebagai bocah mengingat sebelumnya ia tidak terima dengan sebutan yang disematkan Kamala.
“Aku tidak memiliki motif apa pun dan aku tidak menerima apa pun kecuali akad yang telah kau ucapkan kemarin padaku,” Kamala berkata sejujurnya karena itulah kenyataannya.
“Cih mana mungkin ada orang seperti itu! Jangan berbohong dan sok suci! Sebenarnya apa yang membuatmu melakukan semua ini? Tidak mungkin kan hanya karena menuruti perintah orang tua?” Bara menatap Kamala curiga. Ia belum sepenuhnya mengenal wanita itu hingga tidak tahu apa yang ada di otaknya.
“Ada, dan akulah orangnya. Aku tidak sok suci. Aku ini tidak sebaik yang kau kira...” Kamala menatap Bara dengan seksama, “Aku tidak memiliki motif apa pun kecuali mengikuti perintah orang tuaku.”
“Pembohong...”
“Apa salahnya mencoba mengikuti nasihat mereka?” setidaknya itulah yang Kamala yakini.
“Walau itu berarti kau harus membuang mimpi-mimpimu? Masa depanmu?” Bara masih tidak mengerti dengan pola pikir Kamala yang terdengar tidak berdasar.
“Siapa juga yang membuang mimpiku? Siapa pula yang membuang masa depanku. Aku masih memiliki keduanya...” jawaban Kamala seperti sebuah pukulan untuk Bara. Pikirannya sudah sejauh itu menanggapi masalah ini. Ia kira hidupnya telah hancur karena pernikahan sialan itu.
“Jika kau ingin hidup seperti apa maumu, mulai sekarang buang semua pikiran negatifmu itu. Toh belum tentu kita besok masih hidup...” Kamala kembali melempar pandangannya ke arah TV di depannya.
“Apa itu artinya aku harus menerima semua ini?” gumam Bara pelan. Ia sesaat terbujuk oleh ucapan Kamala.
“Itu terserah padamu...” Kamala tidak ingin memaksakan apapun pada Bara. Ia tahu anak itu seharusnya sudah mulai bisa mempertimbangkan apa yang terbaik untuknya, “Lagi pula bukankan mengikuti jalan yang sudah digariskan itu jauh lebih mudah daripada harus menentukannya sendiri?” gumam Kamala yang sebenarnya ditujukan untuk dirinya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments