Dugaan Kamala tidak salah, tangan Dipa terangkat dan bersiap untuk memukul Bara. Dalam gerakan cepat yang diperlambat, Kamala dengan menarik tangan Bara sehingga pukulan itu hanya mengenai udara. Sambil mengatur nafasnya yang masih memburu, Kamala menempatkan dirinya di antara ayah-anak itu.
“Selamat siang, Ayah!” sapa Kamala setenang mungkin. Nyalinya sempat ciut melihat Dipa yang murka dengan mata merah. Ia belum pernah melihat sosok Dipa yang seperti itu selama ia mengenalnya. Kamala menggenggam erat tangan Bara di balik punggungnya demi meredakan rasa takut yang mulai ia rasakan.
Bara bisa merasakan ketakutan dari eratnya pegangan tangan Kamala. Ia menatap punggung wanita yang sedang mengumpulkan keberanian itu dengan mata sendu. Bara tidak tahu apa yang harus ia lakukan dalam situasi ini. Ia merasa malu karena Kamala melihat betapa hancurnya keluarganya namun ada desiran lain yang membuat hatinya terasa hangat dalam lindungan punggung kecil dihadapannya. Terlebih lagi, ia sedikit senang melihat kepanikan di wajah ayahnya.
“Oh, Kamala…” Dipa sedikit linglung. Ia amat sangat terkejut dengan kemunculan Kamala yang tiba-tiba. Dipa yang semula dibutakan oleh amarah tiba-tiba harus mencerna emosi lain yang muncul. Ia malu dan takut jika sampai Kamala melihat sosoknya yang seperti itu, “Su..sudah dari tadi?” tanpa bisa ia tahan, Dipa tergagap di hadapan Kamala.
“Belum, baru aja sampai. Ayah kenapa tidak memberi kabar kalau akan pulang?” Kamala bisa melihat kegugupan dari Dipa. Itu membuatnya sedikit lega.
“Aku sudah mengabarkannya pada Leni…” Dipa mengusap wajahnya dengan kasar.
“Kami tidak tahu,” kali ini Kamala menatap tajam ke arah Leni, “lain kali bisakah kau memberitahu kami?” kalimat Kamala ia tekankan lebih pada perintah daripada permintaan.
“Ba…baik Nyonya…” Leni bisa melihat amarah yang ada dalam tatapan tajam Kamala. Ia belum sepenuhnya mengenal nyonya barunya itu hingga ia tidak tahu ada aura lain yang sangat mengintimidasi dari Kamala
“Ayah sudah makan siang?” walau hati Kamala masih diliputi rasa takut, tapi ia berusaha untuk tetap tenang sambil terus mencoba mencairkan suasana.
“Sudah tadi, kamu?” suara Dipa jauh lebih tenang dari sebelumnya.
“Ehm sudah… Ayah sendiri atau sama Ibu?” Kamala mengalihkan pandangan untuk mencari di mana ibu mertuanya berada.
“Tidak…Ayah sendiri, Ayah ada pekerjaan mendadak,” Dipa baru teringat tujuannya datang ke Surabaya. Ia lalu bergegas pamit, “Ayah harus ke kantor, nanti malam kita makan malam bersama.”
“Ayah!” Kamala memanggil Dipa sebelum laki-laki itu pergi, “kami sudah terlanjur ada janji keluar malam ini,” walau tidak sepenuhnya bohong, tapi Kamala tidak ingin duduk bersama dengan Dipa setelah situasi ini.
“Oh, baiklah…” Dipa kemudian meninggalkan kamar dengan terburu-buru diikuti Leni dibelakangnya.
Kamala langsung berlari untuk menutup kamar sebelum menjatuhkan dirinya di balik pintu. Ia merasakan lututnya lemas dan kehilangan kekuatan untuk menopang tubuhnya setelah ketegangan itu berakhir. Sambil memejamkan mata, Kamala bersandar pasrah di pintu kamar.
“Kau pikir aku akan berterima kasih atas apa yang kau lakukan?” tanya Bara sambil berjongkok di hadapan Kamala.
“Aku tidak membutuhkan ucapan terima kasihmu. Aku bertindak atas keinginanku sendiri…” Kamala masih belum membuka matanya sehingga tidak menyadari kehadiran Bara di depannya. Laki-laki itu mengamati setiap inci wajah Kamala yang masih pucat.
“Kenapa?”
“Aku hanya tidak ingin menyesal…” mata Kamala bergetar saat kedua pasang mata itu bertemu, ia tidak menyadari bahwa Bara sedekat itu. Keduanya tidak terdiam sambil mencoba membaca arti tatapan masing-masing.
“Kau tau, kadang bersikap tidak peduli itu akan meninggalkan penyesalan yang lebih panjang. Aku hanya tidak mau abai dengan suara hatiku sendiri,” tegas Kamala menjelaskan maksud tindakannya. Ia memang tidak ingin kejadian menyedihkan itu terjadi di depan mata kepalanya sendiri. Selama ia bisa mencegahnya, ia akan melakukannya saat itu juga.
“Bisa saja kau yang kena pukul,” ujar Bara, “lain kali jangan bermain-main di antara dua singa yang gelap mata.
“Kau tahu, menolong kucing yang jatuh di got tidak lantas membebaskan dirimu dari cakaran atau gigitannya. Pun sama, ketika menolong orang belum tentu kita akan selalu mendapatkan kebaikannya,” Kamala tidak ingin kalah, “intinya, jangan berhenti untuk berbuat baik.”
“Kau jangan sok bijak!” Bara tidak yakin dengan ucapan Kamala.
“Tidak, aku hanya menyadari bahwa waktu yang sudah berlalu tidak akan pernah kembali,” Kamala masih teguh dengan prinsipnya.
“Dasar keras kepala!” Bara berdiri terlebih dahulu lalu mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Kamala tanpa pikir panjang.
“Memang kita mau ke mana malam ini?” tanya Bara begitu Kamala berdiri.
“Entahlah, kau ada ide? Kita perlu bicara dan aku nggak mau berada di rumah setelah situasi mengerikan tadi,” Kamala melangkah melewati Bara. Ia berjalan menuju tempat tidur di ujung kamar.
“Apa benar kau dinikahkan untukku untuk membuatku jinak? Kau ini ada dipihak mana sih?” tanya Bara heran. Ia tidak dapat menahan senyumnya saat melihat Kamala menjatuhkan diri di atas kasur seperti anak kecil dan mulai merenggangkan tubuhnya.
“Itu pertanyaan yang harus kau jawab, bukan aku,” Kamala memejamkan matanya, “pikirkan baik-baik sebelum kita bicara nanti. Terlepas dari kenyataan kita dipaksa untuk berada di perahu yang sama, kau ingin aku ada dipihak siapa?”
“Bangunkan aku setelah kau selesai bersih-bersih. Tiba-tiba aku ngantuk sekali,” sambung Kamala karena Bara tidak juga menjawab. Tidak lama setelahnya terdengar dengkuran halus dari Kamala, menandakan bahwa dia sudah berada di alam yang berbeda.
Sedangkan Bara masih tertegun di tempatnya berdiri. Ia menatap Kamala dengan bingung. Berapa kali dipikir pun ia masih merasa aneh dengan pribadi Kamala. Di luar patuhnya ia pada orang tuanya, Kamala justru terlihat memiliki jiwa yang bebas. Wanita itu terlihat sangat santai dan cenderung semuanya sendiri. Ia tidak lantas mengekang bahkan mengatur Bara seperti dugaan awalnya.
Apa motif Kamala sebenarnya?
Bara yang masih dirundung kegalauan memilih masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia juga merasa tubuhnya tidak nyaman karena tidur seharian, ditambah lagi ia bangun dalam keadaan terkejut. Ia bahkan masih bisa merasakan lehernya yang kaku akibat kekalutan emosi yang baru saja dirasakannya. Ia tidak melakukan apapun hari ini, tapi rasanya tubuhnya terasa begitu lelah.
“Kau ingin aku ada dipihak siapa?” suara Kamala terngiang jelas di bawah shower mandi yang mengguyur tubuh Bara.
“Dasar wanita aneh! Apa kau pikir kau bisa mengelabuhiku!” berbeda dari ucapannya, dengusan nafas dari hidung Bara terasa begitu pahit. Hati kecilnya berharap ia bisa mempercayai ucapan Kamala. Tapi logikanya merasakan dilema dan ketakutan akan penghianatan yang mungkin saja bisa terjadi setelah Bara memberikan Kamala seluruh kepercayaannya pada wanita itu.
Dari semua rasa ketidakpastian itu hanya satu hal yang pasti.
Bara takut kecewa dan terluka oleh harapannya sediri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments