Bara terkejut bukan main saat selimutnya ditarik paksa oleh seseorang. Matanya sibuk menyesuaikan volume cahaya saat suara yang sangat dikenalinya mulai mengucapkan banyak kata yang belum siap Bara terima. Bara mengeluh dalam hati.
“Bisa-bisanya masih tidur! Ini jam berapa!” suara itu tidak lain adalah Dipa. Sang Ayah yang baru datang langsung naik pitam mendengar laporan yang diterima dari Leni tentang Bara.
“Kapan kau akan sadar! Kau pasti keluar malam lagi kan? Mabuk-mabuk lagi? Jam segini baru bangun!” kalimat Dipa hanya didengarkan sebelah telinga oleh Bara. Itu karena ia sudah terbiasa mendengar rentetan kalimat sama yang pasti keluar setelah ia pergi bersama teman-temannya.
“Inikah masih hari libur, apa salahnya sih bangun siangan?” keluh Bara.
“Siang? Ini sudah hampir sore anak muda!”
“Oh…” Bara melirik jam yang ada di atas meja. Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang. Ia melihat sekeliling dan belum melihat Kamala di sana. Ia pasti belum kembali dan itu akan membuat posisinya semakin sulit.
“Oh katamu?” kaki Dipa mundur satu langkah saat Bara turun dari tempat tidurnya dan berdiri tepat di hadapannya. Ada rasa aneh yang Dipa rasakan saat berhadapan dengan Bara yang kini sudah jauh lebih besar dari dirinya.
“Aku mau cuci muka dulu,” kata Bara cuek meninggalkan ayahnya. Ia pergi ke kamar mandi sambil meraih handphonenya.
“Bodoh…” Bara melempar gawainya ke atas wastafel saat menyadari kebodohannya. Rencana ia ingin menghubungi Kamala, tapi ia lupa bahwa ia tidak memiliki nomor wanita itu, “ke mana dia tadi…hmmm…” Bara mencoba mengingat ke mana perginya Kamala dengan ingatannya yang masih belum sepenuhnya bekerja.
DOK DOK DOK
Bara menghela nafas panjang mendengar ketukan tidak sabar dari pintu di belakangnya. Ia keluar sambil siap-siap menebalkan telinga.
“Di mana Kamala? Kau itu ya…” Dipa terlihat panik sambil mencoba menghubungi Kamala. Ada jawab operator yang terus terdengar acap kali orang tua itu mencoba menghubunginya.
Apa seperti ini wajah ayah jika sedang mencarinya?
Wajah panik dan penuh kekhawatiran.
“Apa kau tidak bisa sedikit saja berguna? Kau cari dia sekarang!” perintah Dipa.
“Dia akan pulang sendiri jika urusannya sudah selesai,” jawab Bara setengah kecewa. Biar bagaimanapun juga dia adalah anak Dipa. Sudah seharusnya ia mendapatkan perhatian lebih dari ayahnya daripada Kamala yang notabene bukan siapa-siapa.
“Apa sih yang bisa aku harapkan darimu?” Dipa tidak habis pikir dengan Bara. Apa yang salah hingga membuat anak itu seperti itu tingkah lakunya.
“Tidak ada, jangan berharap apapun,” jawab Bara dingin.
“Apa kau menyakitinya? Leni bilang kalian bertengkar subuh tadi sebelum Kamala pergi?” kalimat Dipa dimaknai tuduhan bagi Bara. Ia merasa tidak adil dengan situasi ini. Yang ia lakukan hanya tidur lebih lama dari biasanya.
“Leni lagi, tidak bisakah kau mendengarku dulu? Ayah lupa kalau orang itu kini tanggung jawabku? kenapa tidak bertanya dulu padaku?” Bara menatap Dipa dengan tidak percaya. Bisa-bisanya ia percaya dengan Leni yang bukan siapa-siapa di rumah ini. Bahkan wanita yang seharusnya menjaga rumah ini justru menjadi dalang adu domba ayah dan anak. Ia tersenyum penuh kemenangan di belakang Dipa.
Bara ingin muntah melihat betapa licik wajah wanita itu.
“Tanggung jawab katamu? Ayah nggak salah dengar? Bara bicara tanggung jawab?” Dipa tidak bisa menahan tawanya.
“Lalu mau Ayah apa?”
“Kau bahkan tidak peduli dengan istrimu! Kau mau bicara sebagai kepala rumah tangga sekarang?” Dipa merasa anaknya sangat keterlaluan dan memalukan.
“Peduli? Hah… lucu sekali! Apa Ayah pernah memberikan contoh peduli itu seperti apa?” Bara ikut tertawa, “Istriku sedang pergi ke kostnya untuk mengambil barang. Jika Ayah PEDULI, ayah akan tanya dulu padaku sebelum percaya dengan Leni.”
“Ayah menikahkanku dengan wanita itu, sudah pasti akulah yang jadi kepala keluarganya sekarang!”
“Apa kau pikir kepala keluarga itu semudah membalikan tangan? Apa kau sudah siap menjadi kepala kalau kelakuanmu masih seperti itu! Kau bahkan tidak mampu menafkahi dirimu sendiri…”
“Itu Ayah tau!” tandas Bara. Matanya menatap penuh emosi, “Ayah tau itu, kenapa menempatkanku pada posisi yang rumit dan memalukan seperti ini!”
Dipa tertegun. Ia baru saja menjilat ludahnya sendiri. Emosi membuatnya lupa apa tujuannya menikahkan Kamala dengan Bara. Ada kesepakatan yang dia buat dengan Papa Kamala dan niat baik untuk membuat Bara lebih tanggung jawab. Bukan untuk memberinya tanggung jawab secara mendadak.
“Kau harus banyak belajar tentang keluarga…” jawab Dipa pelan, tidak seemosi sebelumnya.
“Keluarga? Omong kosong macam apa ini!” Bara berjalan keluar kamar. Ia tidak bisa lebih lama menahan semua emosinya.
“Kau mau ke mana! Kita belum selesai bicara!”
“Tidak ada yang ingin aku bicarakan lagi!” langkah Bara terhalang oleh dua orang bodyguard yang berjaga di pintu kamar. Oh, kenapa di rumah ini ada bodyguard segala!
“Tuan Muda…” Leni berusaha menahan Bara.
“Jangan ikut campur! Kau tidak punya suara di sini!”
“Kau… jaga bicaramu! Sama seperti kau memperlakukan Mbok Sari, Leni juga bagian dari keluarga ini!”
“Keluarga?” Bara berbalik dan berjalan ke arah Dipa dengan ketukan tegas dan penuh tekanan.
“Apa dia juga istri ayah? Ibu tiriku? Atau simpanan Ayah?” desis Bara.
“Kurang ajar… kau…”
“Keluarga? Memang bagi ayah apa keluarga itu, hah?” Bara berusaha menyudutkan Dipa. Ia benar-benar muak mendengar kata itu. Hatinya sangat sakit mendengar Dipa berbicara tentang keluarga apalagi setelah dia sendiri yang menghancurkannya.
“Jika Ayah ingin tetap bersikukuh ingin menjadi kepala keluarga bagi wanita itu juga, kenapa ayah tidak sekalian saja menikahinya? Kenapa malah aku yang Ayah jadikan tumbal keluarga hebatmu itu!”
Perdebatan ayah anak itu sampai terdengar hingga lantai satu. Kamala yang baru saja datang langsung tertegun di depan pintu masuk. Apalagi setelah melihat Mbok Sari menangis sambil memohon padanya.
“Mba, tolong Mas Bara. Mbok nggak tega dengerinnya…” Mbok Sari menangis sambil memeluk Kamala.
“Mbok tunggu di sini ya…” Kamala mengusap lengan Mbok Sari, “Mba tolong tenangin Mbok Sari ya!” Kamala lalu berlari ke lantai dua. Ia melihat pintu kamar Bara dihalangi oleh dua bodyguard hingga Bara tidak mungkin keluar dari dalam.
Kamala bisa melihat pertengkaran itu dengan jelas sekarang. Hatinya terasa ngilu mendengar kalimat-kalimat yang terus saja keluar dari mulut keduanya. Kenapa mereka berdua saling melemparkan kata yang hanya menjadi duri di hati masing-masing?
Arah pergerakan Dipa membuat Kamala membelalakan mata. Detik berikutnya Kamala sudah menyusup di sela dua penjaga dengan mudah. Mereka tidak memperkirakan adanya pergerakan dari luar area jaga sehingga tidak sempat menahan Kamala. Tubuh Kamala tidak hanya kecil, tapi ia juga gesit menyongsong dua laki-laki yang terendam emosi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments