Sudah lewat dini hari ketika Bara memutuskan untuk pulang. Hatinya terasa berat begitu jarak yang ia tempuh tidak lagi jauh. Tanpa sadar ia mengurangi laju kendaraannya, berhenti sebentar di depan pos kompleks perumahan untuk menyalakan sebatang rokok.
“Mas kok pulangnya malem-malem toh? Nggak dicariin bapak di rumah?” Pak Hendro, satpam yang bertugas jaga malam itu menghampiri Bara untuk membukakan palang pintu.
“Bapaknya lagi nggak di rumah Om!” timpal Bara.
“Ada orang baru yang tinggal di rumah Mas toh? Saudara?” informasi itu tentunya sudah disampaikan ke petugas jaga. Sudah pasti Kamala akan menjadi satu orang penghuni baru di kompleks perumahan itu yang akan keluar masuk.
“Iya, keluarga saya,” jawaban Bara terdengar ambigu. Ia juga meralat dari saudara menjadi keluarga. Mulutnya masih terasa berat mengakui bahwa Kamala adalah istrinya, terlebih lagi untuk orang-orang yang tidak tahu menahu perkaranya. Ia tidak mau menjadi pergunjingan hingga secara tidak sadar mulai merahasiakan pernikahannya.
“Syukurlah kalau sekarang Mas ada temennya. Ya walaupun di rumah nggak sendiri tapi kan rasanya beda kalau bareng sama keluarga sendiri. Apalagi di rumah sebesar itu,” Bara mengangguk membenarkan kalimat Pak Hendro. Tidak ada yang salah dari ucapannya. Hanya saja, Bara masih belum menganggap Kamala sebagai keluarga. Ia tidak bisa begitu saja mempercayai Kamala. Biar bagaimanapun juga, Kamala adalah orang yang masuk dari pihak Ayahnya.
Tiba-tiba hati Bara ngilu membayangkan wanita itu. Kejadian di klub tadi kembali terlintas di benaknya. Bagaimana Haga bisa tahu tentang pernikahannya? Apa Kamala kenal dengan Haga? Tapi jika dilihat dari kepribadian Kamala, ia tidak mungkin menjadi satu circle yang sama dengan Haga.
“Om aku pulang ya,” Bara kembali naik ke atas motornya. Ia kembali mengingatkan dirinya untuk tidak terlalu memperdulikan Kamala.
Lampu utama rumah sudah mati saat Bara masuk ke ruang tamu. Hanya beberapa lampu dinding saja yang masih menerangi sudut ruangan. Bara melangkah pelan masuk ke dalam rumah dan langsung naik ke lantai dua jika seseorang tidak menghentikannya.
“Tuan, ini sudah jam berapa?” suara yang mengagetkan Bara tidak lain adalah suara kepala asisten rumah tangganya, Leni.
“Brengsek, bisa nggak ngagetin orang nggak sih!” Bara terperanjat mendengar suara seseorang tanpa tahu di mana pasti keberadaannya. Apalagi ini sudah lewat jam satu dini hari.
“Apa Tuan tidak sadar bahwa ini sudah saatnya Tuan mengakhiri kebiasaan ini? Apa Tuan tidak jera dengan keputusan dari Tuan Besar?” Leni kembali mencerca Bara layaknya ia orang tuannya di sini.
“Cih, apa kau juga tidak sadar? Sampai kapan kau akan berhenti berlagak orang tuaku di sini? Kau lupa aku sudah menjadi kepala keluarga di sini?” Bara kembali turun dari tangga dan menyongsong Leni yang duduk di ujung sofa ruang keluarga. Entah sejak kapan wanita itu menunggunya di sana.
“Status tidak akan mengubah kenyataan dengan mudah kalau Anda masih seorang bocah,” ucapan tajam Leni membuat emosi di dalam diri Bara terakumulasi.
“Baguslah kalau kau paham aku adalah seorang bocah. Aku bebas berlaku apapun selama aku belum dewasa kan?” Bara sengaja mempersempit jarak keduanya. Leni yang hanya setinggi dagunya mau tidak mau ciut dengan Bara. Ia memencet tombol darurat yang ada di sakunya hingga membuat dua bodyguard yang tak jauh dari tempat Leni berada siaga.
“Kau bahkan sadar bahwa aku sudah mulai bisa melakukan sesuatu padamu hingga kau meng-hire anjing-anjing itu,” desis Bara. Ia lalu berbalik meninggalkan Leni yang terpaku di tempatnya, “sudah saatnya kau mulai mencari alternatif pekerjaan lainnya. Jika wanita itu sudah sadar akan posisinya, ia pasti akan mengambil alih pekerjaanmu yang tidak penting itu.”
Bara melenggang meninggalkan Leni yang tercengang. Ia sebenarnya sudah waspada dengan keberadaan Kamala di rumah itu, tapi ia masih percaya bahwa majikannya menempatkannya di sana untuk menjaga keduanya. Ucapan Bara barusan membuat sedikit percikan di dalam diri Leni. Ia merasa ada yang salah dengan urutan instruksi di pikirannya.
Bara membuka pintu kamar setelah mengambil nafas dalam. Ia ingin menenangkan diri sebelum menghadapi badai lain di hidupnya. Tangannya pelan memutar knop pintu dan mendorongnya sepelan mungkin. Lampu kamarnya tidak sepenuhnya menyala. Hanya lampu tidur yang menerangi kamar itu. Langkah Bara pun tidak kalah hati-hati saat masuk ke dalam kamar. Matanya menyapu sekitar, tapi ia tertegun sesaat.
Tangan Bara tergesa saat menggapai stop kontak. Ia mengabaikan cahaya lampu yang tiba-tiba menyilaukan matanya. Cahaya benderang membuat situasi sekitar semakin jelas, jelas Kamala tidak terlihat di sana. Bara bergegas menuju pintu kamar mandi, tapi nihil ia temui.
Bara langsung memutar balik badannya dan setengah berlari menuruni tangga. Kegaduhan yang dibuatnya membuat beberapa penghuni rumah terjaga termasuk Mbok Sari yang tertidur di bilik kamarnya.
“Mas, ada apa Mas!” Mbok Sari tergopoh-gopoh menghampiri tuan mudanya.
“Maaf Mbok membangunkan,” Bara meraih lengan Mbok Sari sambil tetap berlalu.
“Kalau Mas nyariin Mba Mala, dia ada di ruang baca,” ucapan Mbok Sari yang tergesa berhasil menghentikan langkah cepat Bara. Ternyata benar dugaan wanita yang sudah cukup lanjut usia itu. Hal yang membuat Bara panik adalah Kamala.
Bara memutar arah langkahnya untuk menghampiri Mbok Sari. Rasa risau yang sempat dirasakannya sudah sirna. Ia jauh lebih tenang dari sebelumnya saat mengajak asisten rumah tangganya itu duduk di dapur.
“Kok Mas pulang jam segini toh?” wajah Mbok Sari terlihat sedih melihat tuan muda yang sedari tadi berada di bawah asuhannya itu terus menerus bertingkah seperti itu. Ia mengusap lengan Bara untuk menunjukkan kepeduliannya tanpa ada keinginan untuk menguruinya.
“Ada urusan Mbok,” Bara hanya tersenyum tipis. Ia tidak ingin membuat wanita tua itu khawatir. Hanya pada Mbok Sari saja Bara bersikap manis. Mungkin Mbok Sari hanya asisten rumah tangga yang sudah tidak terlalu produktif dan lemah dibandingkan yang lainnya di rumah ini. Tapi Mbok Sari adalah orang yang paling lama tinggal di rumah itu. Bagi Bara beliaulah yang selama ini menggantikan sosok dan peranan Bunda. Ia selalu mencari sosok itu dalam diri Mbok Sari yang selama ini menemaninya tumbuh dewasa. Kekosongan yang ditinggalkan Bunda sedikit lebih mudah diterima dengan keberadaan Mbok Sari di kehidupan Bara. Seperti itulah arti penting Mbok Sari bagi Bara.
“Ada urusan pun, kan bisa siang Mas…” Mbok Sari masih tidak bisa menerima alasan Bara.
“Iya Mbok,” pungkas Bara.
“Mba Mala ada di ruang baca lepas makan malam tadi, jika ia tidak ada di kamar kemungkinan besar ada di sana. Mas udah cek belum?” Mbok Sari teringat sumber kekhawatiran Bara dang langsung membahasnya.
“Belum,” tentu saja belum karena ia tidak menyangka Kamala akan ada di ruangan lain selain kamarnya di rumah ini.
“Coba tengok, kalau ketiduran di sana takutnya masuk angin,” Mbok Sari mendorong punggung Bara untuk segera pergi menemui Kamala. Sepertinya Mbok Sari melihat ada hal positif yang dibawa Kamala ke rumah ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments