NovelToon NovelToon

My Little Bart

Ep. 1; Kabar Baik dan Kabar Buruk 

Senyum lebar menyempurnakan wajah ayu yang dibingkai kacamata bundar milik Kamala. Di tanganya tergenggam erat selembar bukti disahkan dirinya sebagai seorang abdi negara. Nomor Induk Kepegawaian yang melekat padanya kini menandakan awal dari perjuangan untuk mengabdi pada negeri melalui jalur pendidikan.

Kamala memeluk erat surat keputusan itu sambil membayangkan wajah Papanya nanti. Atusiasme tinggi tergantung di benak Kamala sepanjang perjalanan menemui papanya yang kini tinggal di pinggir Kota Surabaya. Ia tidak sabar ingin segera bertemu dan mengabarkan berita baik ini pada pilar pertama dalam kehidupan Kamala.

Sepeda motor yang dikendari Kamala berhenti pada sebuah pondok kecil terpisah yang ada di bagian belakang kompleks panti werda. Tidak seperti biasanya, halaman pondok yang biasanya lengang itu kini bertengger sebuah sedan mewah yang terlihat asing. Kamala mempercepat langkah kakinya untuk melihat siapa tamu sang Papa.

“Mala!” Papa terlihat terkejut dengan kedatangan Kamala. Walau pun begitu, Papa segera bangkit untuk menyambut putri semata wayangnya itu dengan pelukan, “Panjang umur anak Papa!”

“Kenapa, Pa?” Kamala tidak bisa menahan diri untuk bertanya. Kalimat Papa menunjukan bahwa dirinya baru saja menjadi topik pembahasan Papa dengan tamu yang kini menatapnya sembil tersenyum.

“Kamu masih ingat?” Papa segera menarik Kamala mendekat.

“Om Dipa!” Kamala tidak bisa menyembunyikan senyum di wajahnya. Ia langsung menyalami laki-laki paruh baya itu dengan suka cita.

“Kamu benar-benar sudah dewasa sekarang, La!” Om Dipa menepuk bahu Kamala dengan bangga. Aura keakraban langsung saja menyelimuti ruang tamu kecil yang berisikan mereka bertiga. Suasananya penuh dengan nostalgia.

Papa yang bekerja sebagai guru sebelum akhirnya menjadi kepala sekolah itu dulunya dekat dengan seorang murid yang sering mampir dan tinggal di rumahnya. Orang itu tidak lain adalah Om Dipa. Setelah lulus dan sukses pun Om Dipa masih sering bermain ke rumah Papa. Ia sudah dianggap anak sendiri orang Papa dan Mama yang belum juga memiliki momongan. Mereka hampir menyerah saat tiba-tiba kabar baik itu datang. Kamala lahir dan menjadi pelengkap keluarga kecil itu.

Tapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Mama meninggalkan Kamala yang masih berusia lima tahun. Berita duka itu lantas merekatkan kembali hubungan Papa dan Om Dipa yang sempat renggang karena bisnis yang dikelola olehnya. Bisa dibilang selain Papa sebagai orang tua tunggal yang membesarkan Kamala, Om Dipalah yang memberikan pelengkap bagi masa kanak-kanak Kamala.

Berkat kedekatan itulah Papa yang sudah pensiun sebagai kepala sekolah lantas diberikan kepercayaan untuk memimpin sebuah panti khusus orang tua yang menjadi bagian dari yayasan milik Om Dipa. Benang merah itu dibina dengan baik oleh Om Dipa hingga ia terus menunjukan baktinya pada Papa yang dulu telah menyelamatkan hidupnya.

“Om Dipa sibuk sekali ya? Sampai Mala nggak tahu lagi kabar Om!” mata Kamala tidak tamat melihat Om Dipa. Ia masih tidak percaya akan bertemu kembali dengan orang itu.

“Om banyak pekerjaan dan harus bolak balik Surabaya Jakarta La. Malah banyakan sekarang harus di Jakarta...” Om Dipa terlihat ingin mengulurkan tanganya untuk mengusap kepala Kamala namun diurungkannya. Kamala bukan lagi anak-anak.

“Jadi orang ibu kota nih sekarang ceritanya!”

“Nggak gitu juga La...” jawaban yang diberikan oleh Om Dipa terasa tergantung di langit-langit mulutnya. Senyumnya terlihat canggung dan sedikit dipaksakan. Ada sebuah ganjalan yang entah mengapa sulit untuk dikatakan.

“Ada apa?” Kamala yang menyadari kedua laki-laki yang dihormatinya itu saling lempar pandang akhirnya memutuskan untuk membuka percakapan. Ia sendiri seolah yakin bahwa kecanggungan itu menyangkut dirinya.

“Gini La, menimbang banyak sekali hal yang telah terjadi antara kami. Walau ini bukan masalah membalas budi atau rasa terima kasih, Papa ingin sekali menguatkan silaturahmi kita dengan Om Dipa...” sesaat setelah berdeham, Papa mulai mengutarakan maksudnya. Ia terlihat menunggu reaksi Kamala, tapi memutuskan lanjut saat melihat putrinya itu memilih untuk menyimak daripada menyela.

“Papa...kami berdua...berniat untuk menjodohkanmu dengan Bara. Anak Om Dipa...” keinginan Papa akhirnya tersampaikan juga. Ia ingin segara mengakhiri situasi ini dengan menjelaskan maksud dan tujuannya langsung pada intinya.

Kamala menelan ludah untuk meredam gejolak emosi yang muncul dari dalam dirinya. Ia memandang kedua orang tua itu bergantian.  Matanya tajam mencoba menelisik setiap maksud dan kesungguhan keduanya. Om Dipa bahkan tidak berani memandang mata Kamala yang kini terlihat tajam di balik kacamatanya.

“Kenapa tiba-tiba sekali? Papa bahkan tidak tahu apakah aku memiliki seseorang yang ingin aku jadikan pendamping hidup atau belum?” Kamala merasa harus tahu latar belakang dari niat keduanya itu. Tidak mungkin niatan baik itu datang tanpa sumber yang memulainya. Belum lagi ini menyangkut masa depannya.

“Apa kau punya kekasih anakku?” sepertinya Papa melupakan satu fakta ini. Selama ini putrinya itu belum pernah mengenalkan satu orang laki-laki yang dianggap dekat dengannya. Sebagian besar hanya dia kenalkan sebagai temannya. Itu pun diikuti dengan perkembangan media sosial Kamala yang tidak pernah mengarah pada satu pria khusus.

“Tidak, aku tidak memilikinya Papa. Tapi bukankan sebelum menentukan sesuatu harusnya bertanya dulu padaku? Terlebih lagi ini menyangkut masa depanku kan?” Kamala berkata sesungguhnya. Ia sadar ia bukan lagi anak remaja yang tidak memiliki nilai tawar terlebih dengan pendapatnya sendiri.

“Maafkan Papa, Nak. Pikiran Papa mungkin pendek hingga tidak sampai pada hal itu. Hanya saja, Papa ingin mempercayakanmu pada keluarga yang sudah pasti akan menyayangimu jika Papa pergi sewaktu-waktu...”

“PAPA!” Kamala mau tidak mau memotong kalimat Papa. Ia tidak sanggup mendengarkan lanjutan dari kalimat tanpa harapan itu. Kamala tidak ingin berandai-andai bahkan membayangkan perpisahan dengan satu-satunya keluarga yang ia miliki. Tatapan mata tidak percaya tertuju pada sosok yang sangat dihormatinya itu.

“Papa, Mala...” Om Dipa mencoba menengahi sebelum suasana menjadi kalut, “Mala, sebenarnya masalahnya ada di Om, Mala. Kamu jangan salah paham dulu.” Om Dipa terlihat mengambil nafas dalam dan berhati-hati untuk mengutarakan masalah yang sedang dihadapinya.

“Om merasa gagal menjadi Ayah. Anak laki-laki Om sulit sekali untuk Om mengerti. Semenjak Om menikah lagi, Bara semakin berada di luar jangkauan Om. Mungkin benar ini karma dari tindakan dan sikap Om waktu masih muda. Om merasakan ujian serupa yang mungkin dulu dirasakan oleh orang tua Om...” Om Dipa meremas tangannya dengan erat. Bahu yang bisanya terasa lebar penuh dengan kepercayaan diri itu kini luruh bersamaan dengan asa yang meninggalkan dirinya.

“Om berdiskusi dengan Papa untuk mencari jalan keluar dari ujian ini. Simpulan yang kami miliki adalah apa yang Papa sampaikan tadi. Om tahu, kamu terlalu baik untuk Bara, Om paham benar bahwa keputusan kami sangat egois dan tidak adil untukmu. Tapi Om benar-benar menemukan jalan buntu...” air mata menetes perlahan dari sudut mata Om Dipa. Hati Kamala tiba-tiba terasa begitu perih melihat sosok yang biasanya kuat itu kini terlihat letih.

Kamala memandang keduanya bergantian dan menghembuskan nafas panjang, “Keputusan ini sudah final kan? Aku tidak memiliki opsi lain selain menerimanya kan?” pertanyaan Kamala membuat Papa dan Om Dipa serentak memandangnya. Mereka tidak menyangka Kamala akan semudah itu menerimanya.

Ep. 2; Menikahi Murid!

Kamala sebenarnya berada dalam situasi yang tidak kalah pelik. Ia tidak kuasa melihat kedua orang yang memiliki andil besar dalam kehidupannya itu sampai memohon padanya, “Sebenarnya sangat sulit bagiku. Tapi mana mungkin aku menolak permintaan Papa dan Om Dipa. Kalian berdua selalu memberikan hal yang terbaik untukku...” Ada rasa pedih yang tidak biasa Kamala sampaikan langsung pada keduanya. Ia bisa saja membuat seribu satu alasan untuk menolak. Ia bisa saja langsung pergi meninggalkan tempat itu dan tidak kembali. Toh dia kini sudah bisa mandiri. Tapi apakah itu pantas ia lakukan pada orang yang sudah merawatnya selama ini? Apalagi Papa. Tidak mungkin orang tua yang sangat menyayanginya itu menjerumuskannya.

“Maafkan Om La. Tapi Bara bukanlah orang yang bisa dikatakan baik. Ia masih butuh pendampingan. Itulah mengapa Papa ingin kau mendampinginya...” Om Dipa kembali meremas jemari tanganya. Sebagai seorang guru, Kamala bisa melihat permasalahan yang sedang dihadapi oleh Om Dipa.

“Tidak ada orang yang tidak berubah Dipa. Nyatanya kau yang dulunya nakal kini jadi idaman. Kau adalah sosok yang berhasil bangkit dari masa-masa sulit. Mungkin saja Bara sedang ada dalam masa itu dan membutuhkan orang lain. Sama sepertimu dulu.” Papa meremas bahu Om Dipa untuk menguatkannya.

“Papa dari dulu selalu begitu...” rasa haru kembali membiru. Membuat Om Dipa teringat akan masa mudanya dulu.

“Mungkin Mala bisa menerimanya, tapi bagaimana dengan Bara? Apa Bara akan setuju?” Kamala masih sedikit berharap bahwa pernikahan itu akan dibatalkan dari pihak Bara. Biar bagaimanapun juga, urusan ini tidak hanya menyangkut dirinya sendiri. Masih ada orang lain yang berkaitan dengan dirinya dan memiliki kemungkinan menolak. Terlebih lagi, setahu Kamala, usia Bara terpaut beberapa tahun lebih muda dari pada dirinya. Tentunya kemungkinan penolakan datang dari Bara cukup tinggi. Apalagi anak itu dilabeli nakal oleh ayahnya sendiri.

“Om akan memaksanya, bagaimanapun caranya jika kau setuju dengan perjodohan ini.” Ada secerca cahaya harapan yang berbinar dari mata Om Dipa saat menatap Kamala. Gadis itu semakin tidak bisa berkata tidak padanya. Hanya satu hal yang mengajal di pikiranya.

“Saya, maksudku kami akan tetap tinggal di Surabaya kan Om?” Kamala teringat akan kontrak tugas yang baru saja diembannya. Ia tidak bisa meninggalkan Surabaya untuk beberapa tahun kedepan.

“Tentu saja, Bara tinggal di Surabaya kok!” jawab Om Dipa semangat.

Akhirnya dengan berat hati Kamala mengangguk. Menandakan bahwa ia setuju dan tidak ingin mendebat keinginan orang tuanya.

“Baiklah, sudah kita putuskan bahwa anak-anak akan segera menikah. Jangan tunda-tunda lagi.” Papa bahkan bertepuk tangan saking gembiranya. Ia memeluk anak perempuannya dengan erat, “terima kasih sayang...”

“Tapi ngomong-ngomong, ada apa anak Papa ini datang kemari? Padahal ini bukan weekend?” Papa teringat kejangalan yang terjadi.

“Aku hanya merindukanmu Pap,” Kamala memeluk erat Papa. Ia menyimpan lagi niatnya untuk mengabarkan diterimanya dia sebagai pengajar dengan ketetapan resmi, tidak lagi honorer di sekolahnya. Hatinya tidak siap merayakan kebahagiaan setelah mendapatkan kabar seperti itu.

“Mencurigakan...” Papa semakin tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Ia membalas pelukan putri semata wayangnya itu dengan erat. Berharap pelukan itu dapat menyampaikan semua rasa dalam dirinya.

“Andai saja Bara memiki separuh saja dari sifatmu itu, Om pasti akan sangat bahagia sekali. Om benar-benar merasa menjadi orang tua yang gagal!” Om Dipa kembali dirundung kesedihan. Kamala sampai penasaran bagaimana sifat Bara yang sebenarnya hingga membuat orang sebaik Om Dipa merasa putus asa seperti ini.

“Aku akan berusaha sekeras mungkin agar dia berubah Om...” tanpa sadar Kamala berjanji. Janji yang tidak tahu kapan akan terpenuhi.

“Dia pandai berurusan dengan anak-anak Dip, sekarang dia bekerja sebagai guru. Itulah alasannya mengapa ia ingin tetap tinggal di Surabaya. Kau juga tidak perlu merisaukan Bara bisa lulus atau tidak,” Papa menepuk-nepuk bahu Kamala dengan bangga.

“Oh ya, kamu ngajar di mana?”

“Di SMA Negeri 3, Om!” Kamala memandang Papanya heran, “tapi apa hubungannya Bara bisa lulus atau tidak dengan pekerjaanku?”

“Bara murid di SMAmu, mungkin kau tidak pernah bertemu dengannya karena beda kelas...”

“APA!” teriak Kamala. Ia sangat terkejut dengan berita ini.

“Kau tidak perlu khawatir, Bara sudah berusia 19 tahun kok, akhir tahun ini 20. Jadi kau tidak menikahi anak di bawah umur,” Om Dipa berusaha menenangkan Kamala yang masih tidak percaya dengan ucapan Om Dipa.

“Bagaimana mungkin  aku menikahi muridku sendiri?” Kamala buru-buru mengelola emosinya agar tidak berubah menjadi buliran air mata.

“Kita adakan pernikahan secara kekeluargaan saja, setelah Bara lulus kita baru berpesta. Hal itu sudah wajar kok saat ini.” Kamala bukannya tidak tahu. Tapi ia masih saja tidak percaya dengan kenyataan yang baru saja didengarnya.

Kamala hanya bisa membisu. Ia telah terlanjur berucap. Tidak mungkin ia menjilat ludahnya sendiri dengan menolak perjodohan ini. Diamnya Kamala diartikan lain oleh Papa dan Om Dipa.

“Kau bersedia mendampinginya saja sudah membuat Om bahagia La. Kau adalah calon mantu terbaik yang bisa Om dapatkan. Terima kasih, anakku!”

Seolah ada benteng yang terbuat dari air mata, pandangan mata Kamala terasa kabur. Ia merasakan pedih yang kini seolah menghujam hatinya.

Mulut mungkin bisa diam, namun hati tidak bisa berbohong,

Ia merasakan kepahitan yang keluar dari asam lambung yang perlahan memanjat melalui kerongkongannya.

Kalau saja, ia bertemu dengan jodohnya dengan cara seperti orang kebanyakan, kalimat yang baru saja diucapkan oleh Om Dipa adalah penghargaan yang luar biasa. Ia mungkin akan jauh lebih bahagia karena diterima baik oleh mertuanya. Apalagi mertua yang sudah mengenalnya layaknya keluarga sendiri.

Andai saja...

Tapi takdir ternyata mengikat keduanya dengan cara yang paling misterius.

Harapan Kamala tentang batalnya pernikahannya dengan Bara sempat melambung tinggi. Calon suaminya itu tidak pernah muncul dalam pertemuan keluarga, pun ia tidak datang saat mempersiapkan pesta kecil-kecilan yang hanya akan didatangi oleh keluarga inti. Walau ia terpaksa melakoninya semuanya sendiri, ia masih berharap bahwa Bara akan tetap seperti itu sampai akhir.

BRAK!

Pintu ruangan tempat Kamala menunggu di hari penikahannya  dibuka kasar oleh seseorang yang tidak ia kenal. Laki-laki itu berjalan dengan langkah berat ke arah Kamala. Matanya merah seolah menahan amarah yang terakumulasi di dalam tubuh yang sudah begitu jangkung. Menambah aura mengerikan yang kini menguar mencari sasaran.

Kamala mencengkeram jarik yang dikenakannya. Walau ia ketakutan setengah mati, ia tidak melepaskan pandangannya dari laki-laki itu. Ia tidak ingin kehilangan momentum untuk bisa menyelamatkan diri.

“Akhhhh!” teriakan itu bersamaan dengan suara tangan yang menghantam meja di samping tempat duduk Kamala. Membuat kaca di atasnya pecah menjadi kepingan, darah segar membasahi permukaannya.

“Jika kau segitu inginnya menikah denganku, baiklah, aku akan menunjukan padamu bagaimana rasanya neraka yang ada di dunia!”

Ep 3; Kau adalah wanita dewasa, Kamala.

Mata Kamala yang semula tertutup rapat perlahan membuka. Perasaan takut beransur-ansur lebih lega saat mengetahui laki-laki yang masuk ke dalam ruangannya itu adalah Bara. Bukan orang asing yang bisa saja mencelakainya. Setelah lebih tenang, ia memberanikan diri menatap Bara.

“Duduklah...” kata Kamala pelan, ia menunjuk kursi di sampingnya dengan lirikan mata.

“Kau tidak berhak memerintahku!” tandas Bara. Amarah masih menguasainya. Tidak hanya mata tapi wajahnya juga memerah menahan semua emosi yang kini mengambil kendali dirinya.

Kamala menghembuskan nafas untuk menenangkan diri, “Lalu kau mau apa?”

“Batalkan pernikahan ini sekarang!” perintah Bara tegas.

Kamala menatap Bara tajam seolah ingin membuka asal sumber amarah yang dirasakan laki-laki itu. Ia mengambil nafas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya sebelum kembali berbicara,  “Pergi saja jika kau tidak mau. Kenapa pula kau datang kemari?”

“Bukan urusanmu! Batalkan pernikahan ini sekarang juga!” perintah Bara masih dengan nada yang sama.

“Kau juga tidak berhak memerintahku....” Kamala sebisa mungkin menahan diri agar tidak terbawa emosi.

“Apa kau sudah gila hingga mau menerima pernikahan ini? Apa pikiranmu sudah tidak waras? Kau jual berapa dirimu itu, hah!” Bara semakin menyudutkan Kamala. Ia tidak menyangka wanita itu mau menjalani pernikahan yang tidak masuk akal ini.

“Jika kau tidak tahu apa-apa, apalagi tidak tahu masalahnya, setidaknya jaga mulutmu agar tidak melukai orang lain,” Kamala menatap Bara lekat-lekat. Ia bisa melihat laki-laki itu putus asa hingga melampiaskan apa yang tidak bisa ia katakan pada Om Dipa. Kamala tentu saja menjadi sasaran empuk bagi amarah Bara.

“Persetan dengan semuanya itu! Pokoknya batalkan pernikahan...”

“AKU!” Kamala sengaja menaikan intonasi suaranya untuk memotong kalimat Bara. Ia menelan lagi emosi yang hampir saja lepas kendali. “ Aku...juga sudah mengatakannya bukan? Jangan memerintahku anak muda. Lagi pula, pernikahan ini tidak hanya milikku tapi juga milikmu, jika kau tidak mau kau bisa pergi. Aku lebih memilih menahan malu sekarang daripada nanti!” Kamala bahkan menyilangkan tangannya di atas dada.

“Kau...”

“Kenapa? Kau tidak  bisa menolaknya kan?” tembak Kamala langsung pada intinya.

“Apa itu kau berarti setuju dengan ide gila ini?” Bara tidak bisa mempercayai kata-kata Kamala.

Kamala mendengus kesal. Butuh kesabaran lebih untuk berhadapan dengan Bara tanpa menaikan nada suara, “kau saja tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi aku! Aku sudah berusaha semampuku dan berharap agar kau tidak datang hari ini. Tapi lihatlah...”

Kamala bisa melihat ketegangan yang dirasakan oleh Bara mulai melunak. Perlahan ia mulai lebih tenang dari sebelumnya. Ia terdiam dalam waktu yang cukup lama, seolah-olah sedang memahami dan menerima apa yang telah terjadi.

Kamala tidak salah.  Bara memang datang dengan penuh dengan amarah. Tapi ia juga menggenggam bendera putih di kepalan tangannya yang mengeras. Ia tidak bisa mengelak lagi dari perjodohan Ayahnya. Ia baru sadar bahwa ia begitu lemah tanpa Ayahnya.

 “Duduklah...” tidak seperti sebelumnya, Baru mengikuti kemauan Kamala. Hati-hati Kamala meraih tangan Bara yang masih mengeluarkan darah. Ia membungkus luka itu dengan sapu tangan miliknya.

“Bersikaplah dengan baik dan terima takdirmu, takdir kita. Kita hanya perlu bertahan beberapa tahun saja bukan?” Kamala berdiri dari duduknya. Ia berjalan mengambil jas yang masih tergantung menunggu pemiliknya lalu menyerahkannya pada Bara.

“Jika kau tidak bisa memegang kendali penuh atas dirimu sendiri, setidaknya kau harus mengupayakan agar kau bisa bertahan walau dengan sedikit paksaan. Semuanya pasti berlalu...” Kamala tersenyum pada laki-laki yang kini menatapnya dengan curiga.

Bara meraih jas dari tangan Kamala dengan kasar. Tanpa menghiraukan keberadaan Kamala, Bara mulai mengganti bajunya di hadapan wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu. Ia bahkan tidak melepaskan pandangannya dari Kamala yang mulai salah tingkah saat Bara melepas celananya.

“Apa kau belum pernah melihat tubuh pria? Payah!” goda Bara saat melihat pipi Kamala mulai merona.

“Kau menyebut dirimu pria? Heh pria mana yang melampiaskan ketidakmampuannya kepada seorang wanita! Sudah pasti kau masih anak-anak!” Kamala tidak ingin terlihat lemah di hadapan laki-laki kecil itu.

“Kau!” Bara tidak bisa membalas kalimat Kamala yang begitu menohok egonya.

“Apa? Aku yakin kau bahkan tidak bisa menggunakan dasi mu dengan benar.” Sebenarnya Bara tidak salah, Kamala panik saat Bara tiba-tiba melepaskan bajunya. Kejadian itu terlalu tiba-tiba dan membuat Kamala merona. Kamala bahkan merutuki dirinya yang tiba-tiba gagap di hadapan anak kecil itu. Ia lalu meraih kotak dasi yang senada dengan warna jas yang dikenakan oleh Bara.

“Kau salah jika meremehkan anak-anak. Aku...” Bara menyeringai lebar.

Belum selesai Bara berbicara, seseorang mengetuk pintu dan tak lama kemudian seorang karyawan wedding organiser memberikan kode bahwa upacara pernikahan akan segera dimulai.

 “Terima kasih...” Kamala hendak melangkah mengikuti orang itu saat Bara menarik lengannya.

“Kau belum melakukan tugasmu dengan benar, Istri!” Bara mengulurkan dasinya pada Kamala. Ia tidak tahu cara memakai dasi persis seperti ucapan Kamala.

“Jika orang lain mendengarnya, mereka pikir kita adalah pasangan yang saling mencintai!” Kamala melingkarkan kedua tangannya untuk meraih ujung dasi. Perbedaan tinggi badan antara Kamala dan Bara membuat wanita itu berjinjit walau sudah memakai hak tinggi. Hati-hati ia mengikat simpul agar bentukan dasi calon suaminya itu sempurna.

“Cinta? Cih!” Bara tidak percaya apalagi tau arti dari kata yang baru saja diucapkan oleh Kamala. Ia tidak pernah bermimpi dalam hidupnya akan bisa merasakan hal absurd itu.

“Nah sempurna, kau siap?”

“Mari kita arungi neraka ini bersama-sama!” Entah apa yang membuat Bara berubah menjadi semangat, tapi Kamala tidak mempedulikannya. Ia hanya ingin hari ini segera berakhir menjadi masa lalu. Harapan terakhirnya sudah dipatahkan dengan kedatangan Bara ke venue tempat pernikahan sederhana itu digelar. Ia kini hanya bisa bergantung pada tali lain dan kepercayaan pada dirinya sendiri.

Kau adalah wanita dewasa, Kamala. Kau pasti bisa menjalani semua ini, walau tidak mudah.

Kamala tidak ingin memikirkan hal yang belum tentu terjadi. Ia hanya ingin fokus untuk bertahan dalam cobaan yang harus ia jalani ini. Ia kembali menyerahkannya pada kuasa sang takdir.

Lantas Ikrar sakral itu resmi diucapkan.

Doa-doa resmi dipanjatkan.

Wajah-wajah gembira memenuhi seluruh ruangan.

Hanya sepasang pengantin yang pura-pura tersenyum sambil canggung menggenggam tangan satu sama lain. Entah saling menguatkan atau justru menguar kebencian.

Entahlah! Yang jelas kini keduanya menaiki kapal yang sama. Mereka berlayar tanpa tujuan dermaga yang jelas dan tanpa nahkoda yang memimpinnya. Hanya karam atau sampai tujuanlah ujungnya. Itu pun kalau mereka berhasil menentukan tujuan yang sama.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!