Bara menatap punggung wanita yang sedang tertidur diatas sofa itu dengan mata menyelidik. Ia belum benar-benar kembali tidur. Suara bel yang dibunyikan petugas hotel membuatnya terjaga. Ia juga mendengar semua percakapan Kamala dengannya. Ia juga berpura-pura tidur saat wanita itu merawat lukanya. Bara sengaja menunggu untuk memastikan sesuatu.
Bara sebenarnya tidak membenci Kamala. Tapi tidak pula mempercayai wanita itu. Ia tidak tahu motif dibalik pernikahannya. Ia juga tidak tahu apa alasan wanita itu menyetujui pernikahan yang menurutnya sangat tidak masuk akal ini. Apa wanita itu menerima uang atau perjanjian dengan Ayahnya sebagai syarat pernikahan ini? Atau ada hal lain yang ia tidak ketahui sehingga membuat wanita itu terpaksa? Dilihat dari caranya memperlakukan Bara seharian ini juga tidak ada yang aneh. Justru yang paling mengganggu Bara ada bisikan yang mengatakan kalau wanita itu adalah wanita baik-baik.
Tapi wanita baik mana yang mau menikah dengan anak SMA? Apa dia sudah gila?
Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Bara terjaga untuk waktu yang lama. Ia tidak bisa menemukan jawaban yang tepat untuk menyimpulkan apa dan maksud tujuan wanita bernama Kamala itu.
Bara beranjak dari tempat tidur begitu memasuki waktu subuh. Hal pertama yang dilakukannya adalah menghubungi resepsionis untuk mengirimkan bajunya sekarang. Bara langsung membersihkan diri begitu menerima kembali bajunya. Ia ingin segera pergi dari sana seperti rencananya semula.
Akan tetapi saat Bara hendak meninggalkan kamar matanya menangkap sosok yang masih tertidur pulas di atas sofa. Wanita itu sama sekali tidak merubah posisinya ataupun terbangun setelah Bara melakukan aktivitas pagi yang menimbulkan banyak suara. Urung Bara membuka pintu. Ia berjalan menghampiri Kamala.
Pelan, Bara menyentuh bahu Kamala. Walaupun posisinya berubah, wanita itu tetap tidak bergeming. Setelah memastikan bahwa Kamala memang benar-benar tertidur, ia bersiap-siap mengangkat tubuh istrinya. Wajah Bara terkejut saat merasakan beban di tangannya lebih ringan dari perkiraannya.
Geliat tubuh Kamala membuat Bara kembali tersadar. Pelan-pelan ia membawa Kamala di atas tempat tidur dan meletakkannya secara hati-hati agar tidak terbangun. Tangan Bara menyingkirkan anak rambut dari wajah Kamala. Ia terdiam sesaat sambil menatap wajah ayu itu dengan seksama. Baru kali ini Bara benar-benar melihat wajah asli Kamala setelah sebelumnya make up menutupi permukaannya. Ia menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba mengering. Tanpa menoleh lagi Bara pergi meninggalkan Kamala sendirian di kamarnya.
Kamala sedikit terkejut saat mendapati dirinya berada di atas tempat tidur. Seingatnya, semalam ia tidur di atas sofa. Kedua netranya yang belum sepenuhnya terbuka menyapu seluruh ruangan. Tidak ada jejak keberadaan Bara di sana.
Sambil mengumpulkan ingatan, Kamala beranjak turun untuk mencuci mukanya. Diamati wajahnya yang kini terlihat jauh lebih segar daripada semalam. Walau sembab di kelopak matanya belum sepenuhnya menghilang, tapi Kamala merasa lebih tenang.
Kamala mengambil cardigan panjang untuk menutupi piyama polosnya. Setelah mengambil kaca mata, ia keluar kamar menuju resto untuk sarapan. Perutnya mengalahkan egonya, ia tidak peduli pendapat orang tentang penampilannya. Cacing di perutnya sudah protes sejak ia membuka mata, mengingatkan bahwa terakhir kali ia makan adalah kemarin siang.
“Kenapa kau sarapan sendiri? Apa anak itu belum bangun?” tegur Om Dipa.
“Om...” Kamala buru-buru menelan sepotong telur dadar yang ada di mulutnya.
“Sekarang aku juga Ayahmu,” Om Dipa tersenyum saat mengatakannya. Ia menarik kursi di samping Kamala.
“Anda ingin Kopi atau Teh, Tuan?” pramusaji segera menghampiri Om Dipa begitu ia duduk di samping Kamala.
“Aku sudah minum, terima kasih...” kata Om Dipa sambil menunjuk meja berjarak 50 meter dari tempat duduk yang dipilih Kamala. Mata Kamala mengikuti arah telunjuk Om Dipa dan tersenyum untuk menyapa ibu mertuanya, Tante Sylvi.
“Anak itu ya benar-benar! Bisa-bisanya membiarkanmu sarapan sendirian!” Om Dipa langsung saja melampiaskan kekesalannya.
“Aku keburu lapar Om, eh Yah...” Kamala masih belum terbiasa dengan perubahan panggilan itu.
“Tapi tetap saja...” Om Dipa menghela nafas panjang. Tidak habis pikir dengan sikap putranya, “jangan ragu untuk bilang ke Om kalau dia berbuat aneh-aneh!”
Kamala terkekeh mendengar Om Dipa menyebut dirinya sebagai Om. Ia pasti juga merasakan hal yang sama. Sulit untuk merubah panggilan itu dalam waktu semalam.
“Aneh-aneh gimana?” Kamala kembali memasukan potongan sosis ke dalam mulutnya.
“Ya, semisal dia sampai menyakitimu...” Om Dipa terlihat salah tingkah. Ia tidak bisa mendeskripsikan maksud dari kata-katanya sendiri. Jikapun Bara melakukan hal yang dilakukan suami-istri itu hal yang wajar, tapi di matanya, kedua orang itu masih anak-anak baginya.
“Papa dimana?” Kamala mengubah topik pembicaraan. Ia tidak ingin membahas hal yang serius apalagi sensitif sepagi ini.
“Papa sudah sarapan pagi tadi, beliau bilang ingin segera kembali ke panti. Ada hal penting yang harus ia urus...” Kamala mengangguk-angguk mengerti. Ia keluar kamar hampir pukul sembilan. Sudah sewajarnya jika orang-orang sudah kembali menjalani aktivitas seperti biasanya.
“Ayah juga sudah mau pergi?” tanya Kamala sambil membiasakan diri untuk memanggil Om Dipa dengan sebutan itu.
“Ha...eh.. iya... aku akan kembali ke Jakarta sore ini...” bahkan Om Dipa sendiri masih merasa aneh saat mendengar panggilan itu dari Kamala.
“Baiklah...”
“Apa kalian ingin tinggal di sini untuk beberapa hari? Aku akan meninggalkan pesan untuk resepsionis...”
“Tidak...” potong Kamala tegas, “kami akan check out sesuai jadwal. Aku pikir juga lebih nyaman jika berada di rumah,” Kamala segera memberikan penjelasan sebelum salah paham.
“Ah iya... kau akan tinggal di rumah kami kan? Kalian tinggal di rumah kami sampai menemukan tempat tinggal yang cocok untuk kalian tinggali berdua,” Om Dipa menatap Kamala dengan penuh harap.
“Terserah Bara nanti...” jawaban Kamala terdengar ambigu. Ia tidak tahu harus memulai kisah ini dari mana.
“Maafkan aku Mala... aku tidak bisa mendidik Bara dengan benar dan malah merepotkanmu seperti ini,” terlihat sekali bahwa Om Dipa benar-benar merasa bersalah telah melimpahkan kewajibannya pada Kamala. Ia kini senang namun juga sedih dengan situasi ini.
“Jangan sampai Bara mendengar ini secara langsung Yah. Itu terdengar seperti ayah yang sedang membuang anaknya,” tegas Kamala memperingatkan Om Dipa. Entah kenapa ia merasa perkataan itu tidaklah pantas diucapkan oleh seorang Ayah.
Om Dipa sendiri tercengang mendengarnya. Ia merasa sedang ditegur oleh seseorang. Ia tidak menyangka Kamala sudah berubah menjadi sangat dewasa. Bahkan cara pikir dan bicaranya benar-benar menunjukan betapa terdidiknya dia sebagai seorang guru. Ia tidak akan menyesal menjadikan Kamala sebagai menantunya. Buktinya, dalam waktu semalam Bara sudah mendapatkan orang yang berada dipihaknya.
“Aku akan mengingatnya... terima kasih La...” ucap om Dipa sungguh-sungguh. Ia benar-benar bersyukur Kamala bersedia menjadi menantunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments