Kamala menatap tas belanja yang ada di sampingnya dengan tatapan kosong. Ia tidak menyangka dalam waktu beberapa menit saja ia sudah mengeluarkan hampir tiga bulan gajinya sebagai guru. Helaan nafas panjang terus saja keluar dari ujung hidung mungilnya saat membayangkan mengganti uang yang Bara keluarkan untuk membayar semua itu.
Tidak hanya berhenti di handphone, Bara juga mengajak Kamala keluar masuk toko baju dan sepatu. Laki-laki itu memaksa Kamala untuk mencoba beberapa pakaian dan sepatu yang akhirnya dibeli Bara dengan menggunakan kartunya. Ia tidak sempat menahan Bara dan malah terus dijadikan bahan ejekan oleh anak itu.
“Sampai kapan kau mau mengalamun, hah?” Bara meletakan minuman di depan Kamala duduk.
Kamala memilih tidak menjawab dan meraih minuman yang baru saja diberikan Bara. Lagi-lagi ia menghela nafas. Bahkan harga minumannya itu bisa ia gunakan untuk makan seharian.
Setelah puas Bara membuat Kamala panik, mereka akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam salah satu cafe untuk mencari minum dan melanjutkan tujuan utama mereka keluar bersama. Bangku berkapasitas empat orang Bara pilih karena lokasinya yang lumayan jauh dari kerumunan dan cocok untuk berbicara yang lebih privat.
“Biasanya cewek akan sangat berterima kasih jika dibelanjain segini banyaknya, ini malah kayak lagi berkabung aja! Aneh!” kata Bara sambil menghempaskan tubuhnya di sofa.
“Tidak semua cewe sama dan ini bukan gayaku menghabiskan uang. Karena dari awal memang tidak pernah ada,” jujur Kamala mengakuinya. Bahkan celana jeans baru dan sepatu sneaker putih yang kini dikenakannya terasa bukan gayanya.
“Kau cocok memakainya, jangan meragukan penilaianku,” Bara sekali lagi mengamati Kamala dengan seksama. Walau tidak mengatakannya secara langsung, Bara bisa melihat bahwa Kamala sebenarnya adalah wanita yang menarik. Terlepas dari gayanya yang kampungan, kulit Kamala bersih dan tubuh kecilnya bisa dikatakan proporsional.
“Bukan itu masalahnya!” kata Kamala kesal. Pasalnya sepertinya Bara tidak mengerti maksud sikapnya, “gajiku itu nggak sampai tiga juga Bar, apa kau nggak mikir apa kata orang-orang kalau aku memakai pakaian branded dan gadget dengan harga yang bisa sampai bulan gajiku? Dikira aku ngepet dari mana!”
“Kenapa mikirin pendapat orang lain sih?” Bara asal menimpali.
“Aku nggak hidup sendiri!” Kamala tidak kalah tegas. Dia tidak ingin membuat orang berpikir rendah terhadap dirinya. Apalagi dengan hal-hal yang bersifat hedonisme seperti itu.
“Bilang aja kau menikah dengan orang kaya. Beres. Toh kenyataannya seperti itu.”
“Aku tidak mau repot menjelaskan sesuatu yang belum tentu,” kalimat Kamala menghentikan aktivitas Bara yang sedang menikmati minumannya. Ia meletakan kembali gelas minumnya di atas meja.
“Ya kalau itu maumu, pakai semua itu saat kau pergi bersamaku. Anggap saja itu seragam...” ada nada kecewa dari kalimat Bara, “Ayo kita buat kesepakatan!”
Bara menyerahkan ponselnya pada Kamala dan memperlihatkan catatan yang sudah ditulisnya dari semalam.
“Apa menjaga privasi masing-masing ini berarti aku akan mendapatkan kamarku sendiri setelah ini?” clausal pertama catatan itu langsung membuat Kamala bertanya-tanya sejauh mana arti privasi yang dimaksud oleh Bara.
“Tidak, kita akan tetap menggunakan kamar yang sama!”
“Lalu apa maksudnya ini? Itu saja sudah melanggar privasi!” Kamala menuntut penjelasan.
“Ya urusan kita di luar itu...”
“Itu sama saja nggak jelas, pun sama dengan keinginan-keinginan mu yang lainnya...” Kamala membaca larangan-larangan yang dibuat Bara. Hal-hal yang sangat kekanak-kanakan untuk usia Kamala yang sudah tidak lagi remaja, “semuanya sudah kau langgar, satu-satunya hal yang masuk akal di sini hanyalah larangan untuk berhubungan asmara dengan lawan jenis,” simpul Kamala. Ia lalu menutup note catatan yang dibuat Bara dan menghapusnya.
“Apa kau sudah memikirkan jawaban pertanyaanku?” tanya Kamala serius.
Bara menatap lekat-lekat kedua mata Kamala untuk mencari tahu kesungguhan dari pertanyaan Kamala. Jujur ia tidak bisa membaca jalan pikir Kamala sampai saat ini. Kamala bagaikan kertas polos di mana ia kesulitan untuk menentukan motif setiap pergerakannya.
“Seandainya aku menjawab aku ingin kau berada dipihakku, bagaimana aku bisa langsung mempercayaimu?” daripada menjawabnya langsung dengan jawaban iya atau tidak, Bara akhirnya memilih untuk meyakinkan dirinya terlebih dahulu.
“Aku tidak menyuruhmu untuk langsung mempercayaiku, percaya atau tidak itu adalah hakmu. Aku hanya melempar umpan untuk menentukan ke arah mana kita harus berjalan,” Kamala menjawab dengan logika yang menurutnya paling mudah untuk dimengerti. Ia tidak ingin memperumit dirinya sendiri.
“Jika kau memilihku, aku juga akan memilihmu. Tapi jika tidak, kita sudahi saja permainan ini, kita tinggal satu atap tapi hidup masing-masing. Toh kau menikahiku karena kau memiliki tujuan lain kan?” Kamala meneguk air minumnya setelah mengatakan hal itu. Ia bahkan tidak berani melirik ke arah Bara untuk melihat bagaimana reaksinya.
“Kau terlihat sangat menyakinkan untuk orang yang dipaksa untuk menikahi seorang remaja,” sindir Bara melihat cara bicara Kamala yang terkesan penuh janji yang menggiurkan baginya.
“Kau tidak selamanya akan menjadi remaja...” jawaban Kamala menohok Bara. Ia kini memberanikan diri menatap laki-laki itu, “dan asal kau tahu, aku menikahimu bukan karena dipaksa, itu pilihanku sendiri.”
“Apa? Apa kau sudah gila?” Bara hampir saja berteriak jika Kamala tidak memberinya kode dengan tatapan mata.
“Entahlah, aku hanya menghargai pendapat kedua orang tua kita. Mereka masih memberiku pilihan, tapi seperti yang aku bilang sebelumnya, aku tidak memiliki alasan untuk menolak,” Kamala berkata jujur. Ini kesempatan untuk meluruskan segalanya. Ia tidak mau Bara salah paham dengan dirinya. Terlebih lagi, Bara adalah orang yang mau tidak mau akan ada di hidupnya sampai waktu yang tidak ditentukan. Akan lebih mudah berdamai daripada bermusuhan.
“Apa kau tidak pernah merasakan jatuh cinta hingga kau tidak ingin menikahi laki-laki yang kau cintai? Kau ini bodoh atau apa sih!” Bara heran menatap Kamala. Biasanya wanita memiliki cita-cita tentang pernikahan dan laki-laki yang diinginkannya.
“Sayangnya tidak, aku tidak memiliki laki-laki seperti itu, aku tidak memiliki waktu untuk hal-hal seperti itu,” jawaban Kamala membuat perasaan kalut yang dirasakan Bara mulai mereda. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan wanita di hadapannya itu. Ia mulai menimbang-nimbang jawaban apa yang akan ia berikan pada Kamala.
Tidak seperti pikirannya semula, kini berteman dengan Kamala pun terasa cukup menarik. Ia bahkan menolak mentah-mentah ide Kamala untuk hidup masing-masing. Bara sudah melangkah lebih jauh daripada perkiraannya hingga ia enggan melepaskan Kamala begitu saja.
“Jika aku menginginkanmu, apa yang kau inginkan dariku?” ini adalah pertanyaan final yang akan menentukan kemana keputusan Bara akan berlabuh. Ia harus memastikan sekali lagi syarat yang akan diberikan setelah tawaran menggiurkan itu diberikan. Tentu saja, tidak ada yang gratis di dunia ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Arizona
semangat thor cerita nya seru😊
2023-11-04
1