Kamala sebenarnya berada dalam situasi yang tidak kalah pelik. Ia tidak kuasa melihat kedua orang yang memiliki andil besar dalam kehidupannya itu sampai memohon padanya, “Sebenarnya sangat sulit bagiku. Tapi mana mungkin aku menolak permintaan Papa dan Om Dipa. Kalian berdua selalu memberikan hal yang terbaik untukku...” Ada rasa pedih yang tidak biasa Kamala sampaikan langsung pada keduanya. Ia bisa saja membuat seribu satu alasan untuk menolak. Ia bisa saja langsung pergi meninggalkan tempat itu dan tidak kembali. Toh dia kini sudah bisa mandiri. Tapi apakah itu pantas ia lakukan pada orang yang sudah merawatnya selama ini? Apalagi Papa. Tidak mungkin orang tua yang sangat menyayanginya itu menjerumuskannya.
“Maafkan Om La. Tapi Bara bukanlah orang yang bisa dikatakan baik. Ia masih butuh pendampingan. Itulah mengapa Papa ingin kau mendampinginya...” Om Dipa kembali meremas jemari tanganya. Sebagai seorang guru, Kamala bisa melihat permasalahan yang sedang dihadapi oleh Om Dipa.
“Tidak ada orang yang tidak berubah Dipa. Nyatanya kau yang dulunya nakal kini jadi idaman. Kau adalah sosok yang berhasil bangkit dari masa-masa sulit. Mungkin saja Bara sedang ada dalam masa itu dan membutuhkan orang lain. Sama sepertimu dulu.” Papa meremas bahu Om Dipa untuk menguatkannya.
“Papa dari dulu selalu begitu...” rasa haru kembali membiru. Membuat Om Dipa teringat akan masa mudanya dulu.
“Mungkin Mala bisa menerimanya, tapi bagaimana dengan Bara? Apa Bara akan setuju?” Kamala masih sedikit berharap bahwa pernikahan itu akan dibatalkan dari pihak Bara. Biar bagaimanapun juga, urusan ini tidak hanya menyangkut dirinya sendiri. Masih ada orang lain yang berkaitan dengan dirinya dan memiliki kemungkinan menolak. Terlebih lagi, setahu Kamala, usia Bara terpaut beberapa tahun lebih muda dari pada dirinya. Tentunya kemungkinan penolakan datang dari Bara cukup tinggi. Apalagi anak itu dilabeli nakal oleh ayahnya sendiri.
“Om akan memaksanya, bagaimanapun caranya jika kau setuju dengan perjodohan ini.” Ada secerca cahaya harapan yang berbinar dari mata Om Dipa saat menatap Kamala. Gadis itu semakin tidak bisa berkata tidak padanya. Hanya satu hal yang mengajal di pikiranya.
“Saya, maksudku kami akan tetap tinggal di Surabaya kan Om?” Kamala teringat akan kontrak tugas yang baru saja diembannya. Ia tidak bisa meninggalkan Surabaya untuk beberapa tahun kedepan.
“Tentu saja, Bara tinggal di Surabaya kok!” jawab Om Dipa semangat.
Akhirnya dengan berat hati Kamala mengangguk. Menandakan bahwa ia setuju dan tidak ingin mendebat keinginan orang tuanya.
“Baiklah, sudah kita putuskan bahwa anak-anak akan segera menikah. Jangan tunda-tunda lagi.” Papa bahkan bertepuk tangan saking gembiranya. Ia memeluk anak perempuannya dengan erat, “terima kasih sayang...”
“Tapi ngomong-ngomong, ada apa anak Papa ini datang kemari? Padahal ini bukan weekend?” Papa teringat kejangalan yang terjadi.
“Aku hanya merindukanmu Pap,” Kamala memeluk erat Papa. Ia menyimpan lagi niatnya untuk mengabarkan diterimanya dia sebagai pengajar dengan ketetapan resmi, tidak lagi honorer di sekolahnya. Hatinya tidak siap merayakan kebahagiaan setelah mendapatkan kabar seperti itu.
“Mencurigakan...” Papa semakin tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Ia membalas pelukan putri semata wayangnya itu dengan erat. Berharap pelukan itu dapat menyampaikan semua rasa dalam dirinya.
“Andai saja Bara memiki separuh saja dari sifatmu itu, Om pasti akan sangat bahagia sekali. Om benar-benar merasa menjadi orang tua yang gagal!” Om Dipa kembali dirundung kesedihan. Kamala sampai penasaran bagaimana sifat Bara yang sebenarnya hingga membuat orang sebaik Om Dipa merasa putus asa seperti ini.
“Aku akan berusaha sekeras mungkin agar dia berubah Om...” tanpa sadar Kamala berjanji. Janji yang tidak tahu kapan akan terpenuhi.
“Dia pandai berurusan dengan anak-anak Dip, sekarang dia bekerja sebagai guru. Itulah alasannya mengapa ia ingin tetap tinggal di Surabaya. Kau juga tidak perlu merisaukan Bara bisa lulus atau tidak,” Papa menepuk-nepuk bahu Kamala dengan bangga.
“Oh ya, kamu ngajar di mana?”
“Di SMA Negeri 3, Om!” Kamala memandang Papanya heran, “tapi apa hubungannya Bara bisa lulus atau tidak dengan pekerjaanku?”
“Bara murid di SMAmu, mungkin kau tidak pernah bertemu dengannya karena beda kelas...”
“APA!” teriak Kamala. Ia sangat terkejut dengan berita ini.
“Kau tidak perlu khawatir, Bara sudah berusia 19 tahun kok, akhir tahun ini 20. Jadi kau tidak menikahi anak di bawah umur,” Om Dipa berusaha menenangkan Kamala yang masih tidak percaya dengan ucapan Om Dipa.
“Bagaimana mungkin aku menikahi muridku sendiri?” Kamala buru-buru mengelola emosinya agar tidak berubah menjadi buliran air mata.
“Kita adakan pernikahan secara kekeluargaan saja, setelah Bara lulus kita baru berpesta. Hal itu sudah wajar kok saat ini.” Kamala bukannya tidak tahu. Tapi ia masih saja tidak percaya dengan kenyataan yang baru saja didengarnya.
Kamala hanya bisa membisu. Ia telah terlanjur berucap. Tidak mungkin ia menjilat ludahnya sendiri dengan menolak perjodohan ini. Diamnya Kamala diartikan lain oleh Papa dan Om Dipa.
“Kau bersedia mendampinginya saja sudah membuat Om bahagia La. Kau adalah calon mantu terbaik yang bisa Om dapatkan. Terima kasih, anakku!”
Seolah ada benteng yang terbuat dari air mata, pandangan mata Kamala terasa kabur. Ia merasakan pedih yang kini seolah menghujam hatinya.
Mulut mungkin bisa diam, namun hati tidak bisa berbohong,
Ia merasakan kepahitan yang keluar dari asam lambung yang perlahan memanjat melalui kerongkongannya.
Kalau saja, ia bertemu dengan jodohnya dengan cara seperti orang kebanyakan, kalimat yang baru saja diucapkan oleh Om Dipa adalah penghargaan yang luar biasa. Ia mungkin akan jauh lebih bahagia karena diterima baik oleh mertuanya. Apalagi mertua yang sudah mengenalnya layaknya keluarga sendiri.
Andai saja...
Tapi takdir ternyata mengikat keduanya dengan cara yang paling misterius.
Harapan Kamala tentang batalnya pernikahannya dengan Bara sempat melambung tinggi. Calon suaminya itu tidak pernah muncul dalam pertemuan keluarga, pun ia tidak datang saat mempersiapkan pesta kecil-kecilan yang hanya akan didatangi oleh keluarga inti. Walau ia terpaksa melakoninya semuanya sendiri, ia masih berharap bahwa Bara akan tetap seperti itu sampai akhir.
BRAK!
Pintu ruangan tempat Kamala menunggu di hari penikahannya dibuka kasar oleh seseorang yang tidak ia kenal. Laki-laki itu berjalan dengan langkah berat ke arah Kamala. Matanya merah seolah menahan amarah yang terakumulasi di dalam tubuh yang sudah begitu jangkung. Menambah aura mengerikan yang kini menguar mencari sasaran.
Kamala mencengkeram jarik yang dikenakannya. Walau ia ketakutan setengah mati, ia tidak melepaskan pandangannya dari laki-laki itu. Ia tidak ingin kehilangan momentum untuk bisa menyelamatkan diri.
“Akhhhh!” teriakan itu bersamaan dengan suara tangan yang menghantam meja di samping tempat duduk Kamala. Membuat kaca di atasnya pecah menjadi kepingan, darah segar membasahi permukaannya.
“Jika kau segitu inginnya menikah denganku, baiklah, aku akan menunjukan padamu bagaimana rasanya neraka yang ada di dunia!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Kuningan
Panjang banget /Scare/, untung aku tipe pembaca scroll kalo enggak sih bakalan siwer mataku 🤣🤣
2024-02-15
0