Stella tidak menyangka bahwa Raja Shavir akan datang ke istananya, pantas saja penjagaan di sekitar istananya menjadi diperketat. Satu-satunya pertanyaan yang muncul di pikirannya sekarang adalah; mengapa manusia es itu datang?
Sementara Stella dan Raja Shavir saling beradu pandang, Jesriel yang berada di samping Stella seketika merasakan keringat dingin mengalir di belakang tengkuknya. Mentalnya masih belum siap jika diharuskan berhadapan dengan sang raja sekarang! Kemudian, Jesriel memandang Stella dengan pandangan menyalahkan.
'Muridku, ini semua karenamu!' batinnya, menjerit di dalam hatinya dengan rasa frustrasi yang dalam. 'Seandainya saja tadi di Mansion Ic kau memberi penghormatan pada Yang Mulia, maka aku pasti akan merasa tenang!'
Ya, itulah masalahnya.
Ketika tadi Stella tidak memberikan penghormatan atau mengucap salam pada Raja Shavir dan Dhemiel, Jesriel merasakan firasat buruk.
Orang yang tidak menghormati raja sama saja dengan pelaku kejahatan, itu dianggap dosa besar dan hukumannya tidaklah ringan, meskipun orang itu adalah seorang bangsawan. Jadi secara mental, Jesriel belum siap berhadapan dengan Raja Shavir lantaran tadi dia juga mengikuti Stella yang tidak memberi penghormatan pada Raja Shavir dan Dhemiel. Dia tidak tahu apakah Raja Shavir bersedia memaafkannya atau tidak, hal itu membuatnya sulit bernapas untuk beberapa detik.
Setelah beberapa saat hening, Raja Shavir―yang duduk di salah satu sofa di sana―berdiri dari duduknya, kemudian menghampiri Stella tanpa melepaskan pandangannya dari anak kecil perempuan itu.
Suzy dan para pelayan lainnya yang menyaksikan adegan itu dari jauh segera mendoakan keselamatan tuan mereka.
Bagaimanapun perlakuan dingin Stella pada mereka, tetap saja menurut mereka Stella adalah orang yang baik, karena ia tidak pernah memarahi orang-orang yang bekerja di bawah kendalinya. Bahkan jika mereka berbuat salah, bukan Stella yang menegur, melainkan Suzy.
Terkadang, ketika suasana hati Stella sedang dalam kondisi baik, Suzy dan para pelayan lainnya diberi perintah olehnya meliburkan diri dari pekerjaan selama seminggu, tentu saja hal itu membuat mereka bersemangat dan berjanji akan melayani Stella dengan sepenuh hati.
Itulah mengapa tidak pernah terjadi konflik di Istana Everstell, itu juga yang membuat mereka menghormati Stella lebih dari siapa pun, bahkan beberapa hari yang lalu ketika Raja Shavir, Dhemiel, dan Xylia datang berkunjung, para pelayan tidak mempersilakan mereka duduk karena belum menerima perintah apa pun dari Stella.
...―――...
"Stella."
Ini nyata.
Stella menatap tak percaya pada pria yang berdiri di hadapannya.
Manusia es itu berbicara padanya, menyebut namanya. Itu bukan suara dingin yang diharapkan Stella, melainkan suara yang tenang tanpa ada emosi di dalamnya, namun itulah yang membuatnya semakin waspada.
Biarpun Raja Shavir di hadapannya sangat tenang, tetapi ketenangannya membawa bahaya besar yang mengancam keberadaannya. Dia seperti laut, jernih dan tenang, tetapi ada kalanya laut mendatangkan gelombang besar yang menyapu seluruh wilayah di sekitarnya.
Apa yang selanjutnya terjadi membuat Stella membuka matanya lebar-lebar.
Orang itu membungkuk, kemudian berjongkok di hadapannya.
Ya, dia membungkuk lalu berjongkok!
Manusia es itu sedang menyamakan tingginya dengan dirinya, sungguh hal yang tak terduga.
Setelah itu, kalimat yang selanjutnya keluar dari bibir pria itu membuat sekujur tubuh Stella mati rasa.
"Apa kau baik-baik saja?"
Hening.
Baik Stella, Jesriel, maupun Suzy dan para pelayan lainnya tidak dapat berbicara sepatah kata pun. Mulut mereka terkunci rapat, seakan ada lem yang sangat kuat melekat di sana.
Raja Shavir yang tak mendapat respons apa pun, segera merasakan semua pasang mata memandangnya dengan pandangan berbeda. Mereka seakan lupa bahwa dialah raja negeri ini. Bagi semua pasang mata yang memandang Raja Shavir, di mata mereka Raja Shavir bukanlah seorang raja, melainkan seorang pria yang tersesat di hutan dan bertanya pada seekor burung yang cantik bagaimana caranya pulang.
Ini aneh karena tiba-tiba manusia es itu menanyakan pertanyaan seperti itu.
Apakah kepalanya terbentur suatu benda keras?
...―――...
"Aku pulang, Ibu!"
Seorang anak kecil perempuan berlari dengan riang di sekitar taman bunga di kediamannya. Biasanya, ibunya berada di taman bunga pada jam ini, jadi dia terbiasa mengatakan "aku pulang" setelah sampai di taman bunga itu daripada mengatakan kalimat itu ketika ia memasuki kediamannya.
"Kemarilah, Xylia."
Sebuah suara yang lembut terdengar. Anak kecil perempuan itu, Xylia, memandang wajah ibunya yang duduk di tempat biasanya mereka menghabiskan waktu bersama. Kemudian, senyumnya mengembang, ia segera mengangguk dan berlari kecil menuju ibunya.
"Aku merindukanmu, Bu!" kata Xylia dengan gembira.
Dia memeluk ibunya dengan erat. Ibunya balas memeluknya, sesekali mengusap-usap rambut Xylia dengan pelan. Sedetik kemudian, wajah sukacita Xylia berubah menjadi murung. Suaranya terdengar lirih saat dia berbicara.
"Bu, aku minta maaf...."
"Eh?"
Ibu Xylia tertegun sejenak kala merasakan tubuh putrinya bergetar. Dia kemudian melepaskan pelukannya, lantas menatap wajah putrinya yang telah menitikkan air mata.
"Ada apa, Xylia?" tanyanya dengan nada khawatir.
"A-aku takut ... takut kalau Ayah―"
"Xylia!"
Suara tajam yang terdengar menakutkan di telinga Xylia mengambil alih perhatian gadis kecil itu, begitu juga dengan ibunya. Tak jauh dari tempat mereka, seorang pria dengan pakaian bangsawan datang. Rambut cokelatnya mengilat di bawah sinar matahari. Mata hijaunya menatap Xylia dengan pandangan tajam. Berjalan, pria itu menghampiri Xylia.
"Kenapa Yang Mulia menurunkanmu di tengah jalan dan bukannya di depan gerbang kediaman?" tanyanya setelah tiba di hadapan Xylia.
"Ak-aku ... aku, aku...."
Xylia tergagap, tidak bisa menjawab pertanyaan ayahnya, lidahnya mendadak kelu.
'Ugh, aku selalu tidak bisa bersikap tenang di depan Ayah!' batinnya dengan frustrasi.
Melihat putrinya tampak ketakutan di matanya, ibu Xylia segera memeluk Xylia.
"Yang Mulia mungkin memiliki urusan penting, makanya menurunkan Xylia di tengah jalan," jawab wanita itu.
Ayah Xylia tampak tidak puas kala mendengar jawaban istrinya, kemudian tatapannya mengarah pada Xylia yang meringkuk di pelukan Daneen―ibu Xylia.
"Xylia, seharusnya kau membuat Yang Mulia nyaman bersamamu, dan bukannya membuat Yang Mulia menjauhimu," kata Levon sarkastis, ayah Xylia.
Pria itu memiliki ambisi besar dengan mendekatkan putrinya pada raja agar posisinya sebagai seorang duke dapat naik ke tingkat yang lebih tinggi. Rencananya dari awal ialah menguasai Kerajaan Evergard. Berbekal rambut pirang yang dimiliki putrinya, Levon mati-matian mengajari Xylia segalanya tentang bagaimana caranya menjadi seorang putri raja yang baik dan dicintai semua orang.
Sekarang, yang diperlukan Levon hanya dukungan dari raja. Oleh karena itu, bagaimanapun caranya, Xylia harus bisa memikat Raja Shavir dan kemudian diangkat menjadi seorang putri! Dengan demikian, yang perlu dia singkirkan adalah anggota keluarga kerajaan lainnya agar dia bisa menduduki takhta kerajaan, termasuk Raja Shavir.
Sementara itu, Daneen menatap suaminya dengan pandangan tidak setuju.
"Bukankah itu bagus kalau Yang Mulia menjauhi Xylia? Jika itu terjadi, maka Xylia-ku tidak akan pulang dalam keadaan berdarah lagi!" tukas Daneen dengan nada sedikit meninggi.
Sebagai seorang ibu, dia tidak suka jika putrinya dijadikan boneka yang ditugaskan untuk menuruti semua perintah suaminya.
Kerajaan Evergard memiliki banyak musuh, apalagi musuh Raja Shavir. Biasanya, taktik musuh untuk memancing lawannya ialah melukai orang-orang terdekat dari lawan tersebut.
Selama ini, semua orang mengetahui bahwa Xylia amat "dicintai" raja. Oleh karena itu, nyawa Xylia terancam setiap kali raja membawanya bepergian. Setelah bepergian, Xylia langsung diturunkan dari kereta di tengah jalan, dan bukannya di depan kediamannya. Hal itu membuat para musuh kerajaan memiliki peluang yang besar untuk menyakiti Xylia. Setiap kali hal itu terjadi, Xylia selalu pulang dalam keadaan tubuh dipenuhi darah dan bekas luka di mana-mana.
Daneen selalu diliputi amarah kala melihat Xylia dalam kondisi mengenaskan, tapi dia tidak bisa mengubah isi pikiran suaminya tentang takhta. Bagi Levon, ia tidak masalah jika Xylia selalu dikejar musuh-musuh kerajaan, karena itu membuktikan bahwa Xylia memiliki peran yang penting dalam kehidupan Raja Shavir. Selain itu, Xylia juga tidak pernah mengeluh tentang kondisinya, karena itu juga keinginannya sendiri.
Setiap orang memiliki pemikiran yang berbeda, sama halnya dengan ketiga orang ini.
Levon menggunakan Xylia sebagai boneka untuk mendapatkan takhta.
Raja Shavir berpura-pura mencintai Xylia untuk mengalihkan perhatian musuh dari anggota keluarga kerajaan.
Sedangkan Xylia, ia rela dikejar musuh-musuh kerajaan hanya untuk menjadi tameng bagi keselamatan sang putri kerajaan, Stella.
――――――――――――――
ada pendapat?
chapter terpanjang di antara yg lainnya, mengalahkan chapter 8 •̀.•́✧ semoga suka~
TBC!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Ahmad Risqi
terus di kehidupn sebelumny kenapa kepala stela ei penggal bilang melindungi tpi kok di penggal
2024-06-23
0
Naomi Azumi
makin gk jelas alur ceritanya ..terlalu banyak .kata kata yg kurang jelas
2021-06-12
1
Arwah Panda
bener kan kata nindya... ini bagai pedang bermata dua. pedang itu digunakan untuk melindungi, tapi, juga banyak melukai orang yang dilindungi itu kan kak ( ? )
2021-03-26
4