Four (4)

"Ada apa ini?" tanya Dhemiel.

Sontak saja hal itu membuat para pelayan yang sedang bekerja menghentikan aktivitas mereka. Tatapan mereka beralih pada ketiga orang yang tiba-tiba berada di dalam istana Putri Stella. Tapi setelah mengetahui siapa mereka, para pelayan dengan cepat memberi penghormatan.

"Memberi hormat pada Pangeran Dhemiel dan Raja Shavir. Semoga Kerajaan Evergard selalu diberkati," ucap mereka serempak.

Lalu tatapan mereka teralihkan pada seorang gadis kecil berambut pirang dengan mata berwarna hijau. Kemudian, mereka kembali memberi penghormatan.

"Memberi hormat pada Nona Xylia."

Dhemiel mengangguk sebagai tanda menerima penghormatan itu.

Lalu dia kembali bertanya, "Ada apa ini?"

Salah satu di antara mereka menjawab, "Menjawab Pangeran, kami sedang melaksanakan tugas kami. Semua buku lama yang sudah selesai dibaca oleh Putri Jenius kami sumbangkan kepada rakyat, sedangkan semua buku yang baru saja datang sedang kami letakkan di rak-rak buku."

Apa?

Semua buku yang baru saja Dhemiel lihat datang seminggu yang lalu sudah selesai dibaca? Lalu, kenapa mereka memanggil adiknya dengan panggilan "Putri Jenius"? Apa dia melewatkan suatu informasi penting tentang adiknya?

Tak tahan dengan semua pertanyaan yang bersarang di kepalanya, Dhemiel pun bertanya, "Apa maksudmu memanggil adikku dengan panggilan "Putri Jenius"?"

"A-ah ... itu...."

Mereka semua tergagap, tidak berani memandang wajah Pangeran Dhemiel.

"Jawab!" sentak Dhemiel tidak sabaran, dia terlalu penasaran tentang suatu fakta yang tidak diketahui olehnya.

"Men-menjawab Pangeran, itu ... itu karena Putri Ste-Stella memang jenius!"

Ada perasaan takut ketika salah satu pelayan itu memanggil nama "Stella". Pasalnya, selama lima tahun mereka mengurus Stella, tak ada satu pun yang berani memanggil nama gadis itu, biasanya mereka hanya akan memanggilnya "putri" atau "putri jenius".

"Jenius dari mana?" tanya Dhemiel tak sabaran.

Mengetahui bahwa tidak ada yang menjawab, dia kembali bersuara dengan nada membentak.

"Cepat jawab!"

"Itu ... itu karena putri bisa berbahasa inggris," jawab pelayan itu.

Dhemiel yang mendengarnya menyunggingkan senyum meremehkan. Heh, sesusia adiknya dia juga bisa berbahasa inggris, jadi apa yang masih diagungkan sebagai jenius?

Namun, setelah mendengar kalimat selanjutnya, Dhemiel merasa tubuhnya tersambar petir.

" ... Sejak usia 3 tahun," lanjut pelayan itu.

"Apa! Coba katakan! Ulangi perkataanmu!"

"Pu-putri bisa berbahasa inggris sejak ... usia 3 tahun."

Boom!

Rasanya Dhemiel ingin pingsan saat ini juga.

Tidak!

Itu mustahil!

Masih dengan wajah pucat yang seperti hendak pingsan, Dhemiel berkata dengan tertatih, "Kau ... kau berbohong. Kau pasti ... berbohong padaku!"

Pelayan itu menggeleng. Tubuhnya sedikit gemetar, takut bila nantinya pangeran di hadapannya menjatuhkan hukuman untuknya.

"Saya ... tidak berbohong."

"Lalu ... lalu di mana Stella sekarang?" tanya Dhemiel tidak sabaran.

Dia harus memastikan apakah hal itu benar atau tidak.

Mendengar pertanyaan Dhemiel, para pelayan saling memandang dengan gurat kecemasan terpancar di wajah mereka. Sejak Stella berlatih berpedang, semua orang yang bekerja di istananya diminta menutup mulut perihal apa pun yang dikerjakaannya.

Jika ada yang menanyakan keberadaannya saat ia masih berlatih berpedang, Stella menyuruh mereka mengatakan bahwa dia sedang beristirahat dan tidak ingin diganggu oleh siapa pun, bahkan raja sekalipun.

"En ... anu .... Menjawab Pangeran, Putri sedang beristirahat dan kami diberi perintah untuk tidak mengganggu waktu istirahat beliau sampai Putri sendiri yang memanggil kami jika beliau membutuhkan sesuatu."

Raja Shavir menatap tidak suka pada pelayan di depannya. Sejak kedatangannya di istana putrinya, akhirnya dia membuka mulutnya dan berbicara.

"Bahkan jika itu raja negeri ini?"

"Benar, Yang Mulia."

"Lancang sekali!" sahut Dhemiel. "Di mana sopan santun anak itu? Bahkan jika Ayah ingin bertemu dengannya dia tidak akan menemuinya? Huh. Sepertinya, Putri Stella tidak memiliki sopan santun sama sekali!" tukasnya.

"Oh? Lalu kau apa? Masuk ke wilayah orang tanpa izin kemudian membuat kekacauan di sini, maka apa namanya itu? Tidak punya sopan santun? Kurang ajar?"

Sebuah suara yang sangat tajam menusuk indra pendengaran semua orang. Semua yang ada di sana lantas memfokuskan pandangan mereka pada seorang gadis kecil berpakaian sederhana. Mata tajamnya yang penuh dengan aura mengintimidasi membuat bulu kuduk Dhemiel dan Xylia meremang.

Melihat ada tuan mereka, para pelayan dengan cepat memberi hormat dengan tubuh gemetar.

"Memberi hormat pada Putri Stella."

Gadis kecil itu, Stella, mengangguk singkat. Lalu tatapannya mengarah pada anak laki-laki yang kira-kira berumur 7 tahun.

"Oh, kupikir siapa. Ternyata ada keluargaku di sini. Mari masuk."

Raja Shavir menatap sosok gadis kecil itu dengan pandangan rumit. Apa itu anaknya? Kenapa tidak seperti anak kecil pada umumnya, malahan terlihat seperti wanita dewasa.

Sedangkan Xylia, ketika melihat siapa yang datang, dia dengan langkah tergesa-gesa berjalan menuju Stella. Senyumnya perlahan merekah.

Sesampainya di hadapan Stella, dia spontan berkata, "Selamat pagi, Putri!"

Mendapat salam dari Xylia, Stella hanya menatapnya datar.

'Apa dia Xylia, orang yang mengambil semua hak-hak Stella di cerita dongeng itu?'

"Putri?"

Gadis kecil itu, Xylia, memiringkan kepalanya.

Dia menatap mata ungu Stella penuh minat, sebelum akhirnya berucap, "Wah, mata Putri sangat indah! Seperti Yang Mulia Raja!"

Stella mengabaikan pujian itu―yang entah asli atau palsu. Dia menatap Xylia dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Kau Xylia? Xylia Chareeze Fictin, benar?"

Saat Xylia mengetahui bahwa Stella tahu tentangnya, ia dengan polos mengangguk dengan mata berbinar.

"Ternyata Putri tahu aku! Aku senang sekali!" serunya dengan nada riang.

Stella menatap Xylia yang sedang berbunga-bunga dalam diam.