Selesai dengan kegiatan makan tengah malam, Lovi membersihkan peralatan masak yang tadi digunakannya. Sementara Devan masih di pantry. Entah kenapa lelaki itu tidak kembali ke kamarnya lalu melanjutkan tidur.
Lovi sengaja melakukan semuanya dengan lambat. Ia takut kalau Devan masih berada di sana karena memiliki tujuan meminta pelayanan darinya setelah semua itu berhasil Ia kerjakan.
Devan memperhatikan Lovi dari belakang. Ia jenuh. Tapi rasa jenuhnya tidak menjadikan Ia pergi dari dapur.
"Aku tahu kamu sengaja menghindarinya,"
Tangan Lovi yang sedang membilas piring bekas mereka makan pun sempat berhenti bergerak. Ia membeku apalagi saat mendengar langkah kaki di belakangnya.
Alarm bahaya dalam otaknya langsung berbunyi. Ia tersentak ketika pinggangnya disentuh oleh Devan, Ya itu Devan karena aromanya sangat dikenali oleh Lovi.
Lovi berbalik dengan keadaan tangan yang masih terdapat busa, Ia melakukannya secara tiba-tiba hingga wajah Devan menjadi sasaran busa-busa tersebut. Lovi panik dan ketakutan. Ia merutuki kebodohannya.
"Pedih mataku, Bodoh!" maki Devan seraya menyingkirkan Lovi dari balik wastafel. Ia akan membilas matanya yang terkena busa sabun cuci piring.
"Maaf, Tuan." cici Lovi di belakang Devan yang masih sibuk menghilangkan rasa pedih di matanya.
Lovi menjulurkan kepalanya ke depan untuk melihat mata Devan. Bersamaan dengan Devan yang menoleh. Ia sudah memastikan tidak ada lagi busa di sana. Walaupun rasa pedih masih menusuk korneanya.
Lovi berdiri dengan tegak dan canggung. Ia memundurkan wajahnya yang hampir bersentuhan dengan wajah Devan.
"Ma..maafkan.. aku, Tuan." ucap perempuan itu dengan terbata.
Hukuman apa yang akan Ia terima setelah ini, Ya Tuhan?
"Akan aku buat kamu tidak bisa berjalan besok!"
Lovi berteriak kaget saat tubuhnya di angkat oleh Devan secara tiba-tiba. Lelaki itu melakukannya dengan mudah seolah Ia sedang membawa kapas.
"Tuan..."
Lovi memalingkan wajahnya ketika Devan ingin memberi kecupan. Melihat penolakan itu, Devan tidak tersinggung seperti sebelum-sebelumnya. Sekarang Ia malah merasa gemas?
Benarkah gemas?
Ah! entahlah, Devan tidak tahu kalau ternyata Ia bisa merasa senang seperti ini bila mendalami peran mereka dengan baik sebagai suami istri.
******
Vanilla tampak menuruni tangga menghampiri kedua orangtuanya yang sedang menonton televisi. Vanilla tak menghiraukan Devan dan Elea yang saat ini sedang berada di meja makan menatap ke arahnya yang berjalan dengan langkah kesal.
Vanilla membanting tubuhnya di sofa yang berhadapan dengan Raihan dan Rena.
Vanilla menatap Rena yang mengerinyitkan dahi menatapnya. Melihat mimik kesal di wajah putrinya, Rena yakin ada sesuatu yang ingin disampaikan Vanilla.
"Aku ingin yang membereskan kamarku adalah Lovi bukan yang lain," Ucap vanilla seraya melipat kedua tangannya di depan dada.
Devan menoleh sebentar saat mendengar ucapan Vanilla. Itu tak luput dari pandangan Elea. Melihat reaksi yang di tunjukkan lelaki itu ketika nama Lovi sampai ke telinganya, membuat perasaan ganjil hadir di hati Elea.
Merasa diperhatikan oleh kekasihnya, Devan berusaha rilex kembali. Ia takut Elea salah mengartikan sikap tubuhnya.
Rena diam tak menanggapi. Ia bingung harus berbicara seperti apa lagi pada Vanilla yang selalu mencari masalah dengan Lovi.
Vanilla beralih pada Raihan saat melihat Rena lebih mementingkan hiburannya di Televisi.
"Mereka malah membantahku, Pa. Harusnya mereka mendengarkan ucapanku untuk itu mereka dibayar,"
"Kamu terlalu kekanakan, Vanilla. Lovi bukan pelayan di sini. Dia adalah kakak mu juga,"
Mendengar hal itu Vanilla makin cemberut. Hatinya sudah menggeram tak terima.
"Kamu ingat Lovi adalah istri Devan,"
Elea menghela nafasnya saat kembali mendengar Fakta yang membuatnya sakit hati.
Devan mengunyah makanannya pelan saat mendengar Vanilla yang menjawab Raihan dengan suara bergetar.
"Dia adalah seorang pelayan. Hanya membereskan kamarku saja, Papa melarangnya?"
"Papa tidak mengajarkan kamu untuk berbuat kurang ajar, Vanilla!"
Suasana berubah menjadi tegang ketika Raihan berucap penuh penekanan. Menurut Raihan, Vanilla sudah keterlaluan. Banyak pelayan di mansion ini yang bisa mengerjakan tugas itu.
"Kamu sudah dewasa seharusnya bisa melakukan apapun seorang diri. Kehidupan apa yang kamu jalani selama pisah dari mama dan papa?"
"Papa berlebihan dalam melindungi perempuan itu,"
Rena memperingati Vanilla melalui sorot matanya. Vanilla akan mendapat akibatnya jika masih membantah ucapan Raihan.
"Maksud Papa melindunginya karena papa pernah menjalin hubungan dengan perempuan semacam itu?"
Gigi Raihan bergemelutuk bibirnya menipis berusaha menahan luapan amarah yang menguasainya.
"Perempuan ******, Maksudku."
BRAKK
Semuanya terlonjak kaget saat melihat tangan kekar Raihan yang baru saja hampir menghancurkan meja di depannya.
Kondisi sudah tidak memungkinkan oleh Karena itu Devan membawa Elea pergi dari meja makan. Elea tidak boleh mendengar perdebatan itu. Karena akan membawa dampak buruk bagi mentalnya.
"Jaga ucapanmu, Vanilla!"
"Ap...."
Belum sempat Vanilla menanggapi kalimat Raihan, Rena langsung menyanggahnya dengan peringatan keras.
"Vanilla! Kamu tidak pantas berkata seperti itu. Itu bukan urusanmu!"
Vanilla sudah terlalu ikut campur dalam masalah pribadi orangtuanya. Kesalahan Masa lalu tidak pantas untuk di ulas kembali. Cukup menjadikannya sebagai pelajaran.
"Aku hanya mengutarakan apa yang ada di otakku. Tidak salah bukan?"
"Perilakumu semakin buruk!" Bentak Raihan dengan tangan yang menunjuk Vanilla dengan berang.
"Sebelum papa membicarakan masalah perilaku. Coba Papa bercermin. Agar papa bisa melihat betapa banyak perilaku buruk yang papa lakukan dulu padaku, Mama dan Devan. Contoh paling mudah ketika Papa meninggalkan tanggung jawab Papa atas kami demi perempuan ****** di luar sana,"
Topik pembicaraan sudah menjalar ke segala arah. Vanilla tidak bisa mengendalikan dirinya.
Devan kembali di tengah pertengkaran keluarganya usai mengantarkan Elea ke kamarnya. Ia menatap adiknya.
"Hanya karena hal kecil kamu jadi bersikap seperti ini, Vanilla? Maka lakukanlah apa yang kamu inginkan. Aku bebaskan kamu untuk itu,"
Rena menatap putranya tidak percaya. Apa yang baru saja di dengarnya? Devan memberi kebebasan pada Vanilla untuk memperlakukan Lovi dengan buruk.
Raihan tersenyum miring melirik Devan.
"Kamu gila!" Hardiknya yang mengalihkan perhatian Devan dari adiknya.
"Dia memang pantas untuk melaksanakan perintah Vanilla,"
"Perlakukan dia semaumu! Bila dia membantah, jangan sungkan untuk menyakitinya,"
Seringan kapas Ia memberi izin untuk adiknya. Kalimatnya memang terdengar kejam namun sudut hati Devan yang lain menolak keras keinginan Vanilla. Devan yakin Tidak ada lagi sisi baik dalam dirinya. Namun yang terjadi akhir-akhir ini malah sebaliknya.
"Percuma saja Papa memberi tahumu. Rasanya Tuhan pun bosan melihat perilakumu. Terserah, Devan. Seperti apa katamu, Lovi adalah milikmu, hanya kamu yang bisa menyakitinya. Dan karena itulah, bila terjadi sesuatu pada Lovi atau pernikahanmu, jangan berharap apapun pada orang lain. Jalani karmamu seorang diri,"
Sekeras apapun Raihan memperingatinya, sekejam apapun Raihan memberi bayangan buruk yang akan terjadi dalam pernikahan Devan, Tidak menghadirkan perubahan yang berarti pada Devan. Dia tetap kukuh pada prinsipnya.
**************
Aku ngedit buru² nih malum yak kalo ada salah². makasihh
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 383 Episodes
Comments
Wa Ode Hasriani
alur ceritanya hancur sprti gado2,dri halaman pertama bacanya masi blm memgerti
2021-04-03
0
Mutiaa AnanTasya II
koq gini amat si cerita nya
2020-09-17
0
Yulia Cipta Ningsih Utami
hahahahahwhhwhwhshhahahahaha
2020-09-09
0