"Kamu yang tenang, Maurine. Simpan itu sebagai bukti!"
"Yah, akan kusimpan."
"Aku masih belum dapat petunjuk dengan pak Kusuma. Belum ada yang mencurigakan darinya. Padahal ia satu-satunya orang yang bisa kita kira."
"Itulah sebabnya kita gak bisa prasangka buruk dulu."
"Bisa jadi memang bukan dia."
Aku tak habis pikir ini semua terjadi. Rasanya aku ingin menumpahkan semuanya pada suamiku. Mas Alan mungkin bisa jauh lebih baik menenangkanku. Bagaimanapun dia seorang psikiater. Aku butuh perhatian darinya. Sampai kapan kupendam masalah ini pada mas Alan. Aku takut ia akan marah.
"Halo, Mas Alan?"
"Aku pulang larut malam hari ini. Pasienku minta di kontrol ketat."
"Kontrol ketat. Memangnya dia kenapa, Mas?"
"Dia tak bisa menenangkan diri. Hampir saja nyaris bunuh diri. Jadi keluarganya minta aku menanganinya."
"Yah, Mas. Lakukanlah yang terbaik. Aku baik-baik saja disini."
"Yah, Maurine."
Rasanya berat sekali. Aku harus jujur dengan Banyu. Sementara mas Alan, tidak. Mungkin aku memang harus jujur dengan mas Alan. Aku butuh ditenangkan dia.
Sudah larut malam, mas Alan belum pulang juga. Tadi ia bicara seolah panik sekali. Sepertinya ia sangat sibuk dengan pekerjaannya.
"Belum tidur juga Maurine?"
"Belum, Ma."
"Alan kenapa belum pulang?"
"Lagi ada klien yang harus ditangani, Ma. Kliennya mau bunuh diri dia bilang."
"Memang masalahnya apa?"
"Belum tahu. Dia kedengaran panik tadi."
"Kamu gak telepon lagi? Tanya kabarnya."
"Takut ganggu dia kerja, Ma."
"Dichat saja tak apa kan?"
"Yah."
Mama menyarankanku demikian. Sebaiknya memang harus kulakukan. Sudah pukul jam 11 malam. Lalu kucoba chat mas Alan.
Setelah kuchat, aku langsung tidur. Aku harus istirahat, kalau tidak aku bisa sakit lagi. Semoga mas Alan lekas pulang ke rumah. Aku harap dia baik-baik saja diluar. Terasa sangat sulit sekali. Aku tak dapat tidur. Pikiranku masih tertuju pada mas Alan. Ditambah lagi aku terus mengalami teror. Bahkan hal yang mengejutkan, Tami bisa terlibat.
Setelah beberapa jam, akhirnya mas Alan pulang. Aku bersyukur sekali ia sudah pulang. Hingga aku tak dapat tidur karena menantinya. Aku langsung terbangun dari kasur. Kemudian mas Alan mengajakku bicara.
"Belum tidur juga?"
"Gak bisa tidur lagi, Mas. Aku khawatir kamu belum pulang."
"Nanti kamu sakit lagi."
"Iya sekarang mau tidur. Setidaknya aku tenang Mas sudah pulang."
"Aku kan sudah telepon tadi. Aku pulang larut malam."
"Pasienmu gimana?"
"Dia sudah agak baikan."
"Syukurlah. Memang masalah apa sih, Mas?"
"Kamu jangan tanya sedetail itu tentang pekerjaanku. Bagaimanapun istri tidak boleh ikut campur."
"Yah, aku gak ikut campur selagi hal itu baik."
"Ya sudah."
"Mas, besok ada yang mau kubicarakan padamu."
"Bicara apa?"
"Besoklah kukasih tahu. Malam ini istirahat."
***
Hari minggu ini, aku dan mas Alan libur. Pagi ini aku mengajaknya joging. Kami berlari di sepanjang jalan. Jalanan ini sangat tenang. Banyak orang yang joging dan bersepeda disini. Apalagi udara pagi ini sangat sejuk.
"Mas, kita istirahat dulu disini."
"Ya."
Aku mengajak mas Alan istirahat. Kami duduk di taman. Sambil sesekali aku meneguk air putih. Kuminum untuk melepas dahagaku.
"Mas gak ngantuk menemaniku joging?"
"Gak apa. Olahraga sehat kok, kamu juga harus memulihkan kondisi kan?"
"Ya. Mas, aku mau bicara."
"Ayo bicara, aku akan dengarkan."
"Mas jangan marah yah."
"Kenapa aku harus marah?"
"Mungkin Mas akan marah setelah tahu."
"Memang masalah apa sih?"
Tiba-tiba ponsel mas Alan berdering. Ia kemudian mengangkatnya.
"Halo. Ada apa Mbak?"
Baru aku mau bicara, mas Alan sudah dihubungi seseorang. Katanya tadi mbak, memang siapa?
"Oke, nanti aku kesana."
"Siapa, Mas?"
"Klienku. Dia yang mau bunuh diri kemarin."
"Dikasih obat penenang saja. Memang kenapa dia, gila?"
"Depresi. Aku jam 9 ini harus kesana."
"Sekarang jam 8. Sebentar lagi."
"Yah. Kamu mau pulang jam berapa?"
"Sekarang saja, nanti Mas telat."
"Baiklah. Ayo pulang!"
"Mas gak capek? tahu gini aku urungkan niat tadi ajak joging."
"Gak apa. Kalau kelar, aku bisa istirahat sejenak di kantorku."
"Yah, Mas."
Kami pun pulang juga. Aku akhirnya mengurungkan niatku untuk jujur. Terpaksa aku pendam lagi. Nanti akan kucari waktu yang tepat. Selanjutnya akan kuceritakan dengan mas Alan. Aku sudah tak bisa menahannya lagi.
"Mas Alan pergi lagi, Ma."
"Hari minggu gini dia pergi? Seharusnya dia libur."
"Gak tahu, Ma."
"Nanti kamu mau gak Mama ajak ke Mall?"
"Ada yang mau Mama beli?"
"Daripada suntuk di rumah. Sekalian kita refreshing. Mama juga ada keperluan yang habis nih."
"Mama kalau belanja ribet. Nanti sampai malam pulangnya."
"Banyak belanjaan yang harus Mama beli. Yah, mau bagaimana lagi."
"Aku pengen mas Alan ikut juga bareng kita, Ma. Kapan yah bisa kayak gitu lagi?"
"Sabar sajalah. Suamimu kan lagi bagus kariernya. Barangkali saja, dia bisa jadi psikiater handal."
"Tapi gak enak, Ma. Semakin sibuk, semakin sulit cari waktu buat bareng."
"Yah, mau gimana lagi. Semoga Alam bisa meluangkan waktunya buat kamu."
"Ya."
"Gimana, jadi kan?"
"Ke Mall?"
"Yah."
"Hahaha. Mama pengen banget jalan-jalan yah."
"Ya iyalah. Suntuk di rumah terus. Sekali-kali pengen jalan ke mall."
"Oke Mama. Apa sih yang gak? Ayo lekas siap-siap!"
"Sip!"
"Hahaha."
Jangan sampai setelah mas Alan, mama yang terkena imbas. Aku akan terbiasa dengan teror ini. Asal jangan mamaku kalian ganggu. Cukup aku dan mas Alan saja yang menanggung kejadian itu. Tapi mencengangkan, paket bom kemarin bukan orang yang sama?
Kenapa mas Alan memutuskan kasus kemarin orang yang iseng saja? Padahal jelas aku sudah sering diteror.
***
Siang ini, aku dan mama menghabiskan waktu ke mall. Seperti biasa, setiap ke mall bawakan mama sibuk. Banyak sekali yang dibelinya. Sampai aku kelelahan mengikutinya. Mama memang jarang keluar seperti ini. Sekali ia keluar, rasa tak ada lelah di dirinya.
"Ma, gak capek apa mondar-mandir gitu?"
"Mau gimana lagi, banyak yang harus dibeli."
Aku rasanya mau duduk. Ternyata pegal juga lama berdiri sambil membawa troli. Kala itu, mataku seolah menangkap suatu celah. Aku seperti melihat bayangan orang yang kukenali.
"Erissa?"
Yah, benar itu dia. Tapi ia nampaknya hanya sendirian. Disaat weekend, dia hanya jalan sendiri? Memang tak ada teman, kerabat, atau pacar disisinya?
Tak mungkin ia seorang introvert. Lalu aku hendak mendekatinya. Aku ingin menghampirinya. Dia juga sudah kukenal. Lebih baik aku menegurnya.
"Erissa?"
"Yah, oh Mbak."
Dia tampak sangat elegan dengan setelan jas. Memang benar-benar jiwa desainer melekat di dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Kustri
perlu dicurigai sialan🤭
UP
UP
UP
💪💪💪
2023-10-13
0
Isli Herlina
lanjut thor,, 💪💪
2023-10-12
0