Lolongan anjing di pagi ini menyadarkanku dalam lamunan. Aneh, sepagi ini ada bunyi anjing yang melolong? Atau mungkin ini hanya halusinasiku saja. Tek! tiba-tiba pintu ruangan karyawan terbuka. Tak lama sudah ada beberapa karyawan yang tiba di kantor. Kulihat Tami rekan kerjaku juga telah datang. Aku langsung menyapanya dan mengajaknya bicara.
"Pagi, Tami!"
"Wah tumben Maurine sudah datang."
"Haha, iya aku banyak kerjaan pagi ini."
"Sini aku bantu!"
"Gak usah, Tami. kamu kerjakan saja tugasmu."
"Mumpung pagi ini aku ada luang. Biar pekerjaanmu bisa cepat selesai."
"Gak apa-apa Tami, aku bisa sendiri."
"Oke, kalau perlu bantuan jangan sungkan minta tolong padaku yah!"
"Iya."
Tami memang sangat baik orangnya. Sebenarnya aku sangat ingin memberitahukan masalahku kemarin. Aku takut Tami akan memberitahu pada rekan kerja yang lain. Rasa penasaranku semakin berkecamuk. Hasratku semakin dalam untuk membuka file rekaman CCTV semalam. Aku masih belum jelas melihat rekaman tadi. Kuperhatikan suasana di sekitar, masih belum ramai. Karyawan belum banyak yang datang. Sementara Tami sedang mempersiapkan dokumennya. Apa sebaiknya kubuka saja saat ini di laptopku? Yah, mumpung belum ada orang banyak di ruangan ini.
Aku langsung menarik tas yang kuletakkan di sudut meja kerja. Lalu, kuambil laptop dari dalam tas. Secepat mungkin kubuka file rekaman CCTV itu. Rasa penasaran ini kian bergejolak. Aku tak bisa menahannya lagi, seperti ada yang mengganjal dalam pikiranku. Bayangan hitam itu seperti wujud seseorang yang kulihat kemarin. Aku juga ingin memastikan, benarkah itu ibu Arifa? Atau ia hanya seseorang yang hanya ingin menakutiku saja. Akhirnya kutemukan sosok yang menjadi rasa penasaranku itu. Kuperhatikan hingga kujeda berulangkali. Sosok itu terlihat samar dalam rekaman. Lalu, aku screenshot seseorang yang kucurigai itu.
"Video apa itu Maurine?"
Oh Tuhan! aku terkejut tiba-tiba mendengar ada suara dari belakang. Aku langsung menoleh kebelakang.
"Banyu."
"Nonton apa hayo?"
"Bukan apa-apa kok."
"Film horor yah?"
"Ngapain juga aku nonton film horor pagi-pagi."
"Kerja ayo kerja, nanti ketahuan audit kamu."
"Aku gak nonton, cuma lihat sebentar aja."
"Video apa sih tuh?"
"Huh kepo!"
"Haha, emang salah?"
"Yah, iyalah."
"Aku kan penasaran."
"Udah sana kerja, jangan kepo mulu!"
"Tapi aku benar-benar melihat suasananya seperti di kantor ini."
"Kamu ngomong apa sih Banyu?"
"Jangan-jangan video tadi CCTV yah. Hahaha."
"Memang kelihatannya begitu?"
"Gak bercanda. Kalau iya, hati-hati kamu bisa dimarahin manager loh."
"Kalau direktur yang tahu sendiri gimana?"
"Maksudmu bu Arifa?"
"Gak aku cuma bercanda. Serius banget kamu!"
"Yah aku serius."
Aduh, Jujur perasaanku kacau dan bercampur aduk saat ini. Banyu sepertinya memang curiga padaku. Aku harus bagimana, dia kelihatannya bercanda, ternyata tidak. Perlahan kuhela nafas, kucoba menjernihkan pikiran ini. Sengaja kutenangkan diri ini, agar tidak terlihat mencurigakan. Namun, haruskah aku jujur pada Banyu? Entahlah, saat ini aku hanya mencoba untuk tenang.
"Hey, Maurine!"
"Apa sih?"
"Ditanya melamun aja. Rekaman apa itu?"
"Oke akan aku beri tahu. Tapi mungkin tidak sekarang."
"Kalau dibiarkan belarut-larut bisa jadi bumerang buat kamu."
"Yah, aku tahu. Kasih aku waktu sampai besok."
"Maurine, mumpung belum banyak saksi. Setidaknya kamu jujur mulai dari sekarang."
"Saksi apa maksudmu?"
"Itu rekaman CCTV kantor kan?"
Gawat, Banyu sepertinya sangat curiga padaku. Namanya juga Banyu, seseorang yang sulit untuk kutipu. Dia memang pintar untuk mencari tahu tentang rasa penasarannya. Sepertinya baku harus jujur padanya sekarang. Masalah ini benar-benar menguras pikiranku. Terpaksa aku memberi tahunya. Aku juga tidak ingin ada rasa sesal jika tidak jujur. Namun untuk mengeluarkan sepatah katapun sulit. Bibirku seolah bergetar, tatkala harus jujur. Banyu seperti tidak sabaran mendengar pengakuanku. Langsung saja dia ingin meraih flash diskku. Ia sangat mantap untuk membongkar rahasiaku ini.
"Kamu mau apa Banyu?"
"Pinjam sebentar yah."
"Baiklah aku jujur, ini benar rekaman CCTV kantor."
"Tuh benar kan dugaanku."
"Kemarin aku lembur tanpa sepengetahuan kalian."
"Apa yang terjadi semalam."
"Aku juga tidak tahu."
"Aneh."
"Aku belum selesai bicara. Kemarin malam aku bertemu Bu Arifa."
"Beliau belum pulang dari Paris. Tidak mungkin, apa itu hantu yah?"
"Jangan sembarangan kamu bicara!"
"Hahahaha."
Seketika omongan Banyu membuatku takut. Walaupun terkesan naif, jelas ia menganggap itu hantu. Aku berucap istighfar dalam hati berkali-kali. Kenapa hal ini bisa menimpaku? Belum lagi selesai pekerjaan kantor, aku harus dihadapkan dengan masalah kantor. Apalagi Banyu sudah tahu tentang rahasiaku ini.
"Kalau memang jadi hantu, Bu Arifa meninggal karena apa?" Kata Banyu.
"Hey, jangan sembarangan kamu bicara!" Pungkasku.
"Jadi apalagi kalau bukan hantu?"
"Kalau pun meninggal, pasti beritanya sudah tersebar. Orang seisi kantor pasti heboh!"
"Belum tentu. Kalau kematiannya disembunyikan gimana?"
"Memang siapa yang sembunyikan? Kamu?"
"Kalau aku yang membunuhnya, pasti aku sudah ditangkap polisi. aku ini kan jujur orangnya."
"Aku mau kabur saja dengar kamu bicara."
"Kabur kemana maksudmu?"
"Kemana saja, asal jangan mendengar bicaramu yang omong kosong!"
"Omong kosong dari mana? Aku tidak tahu apa-apa dengan bu Arifa. Lagipula aku tak ada terlibat masalah kemarin."
"Kamu yakin tidak terlibat? Caramu bicara begini saja, sudah menunjukkan kamu terlibat."
"Hahaha, Masa iya?"
"Bicara denganmu ini gak bisa serius apa?"
"Hey, Maurine! Mau kemana kamu? Aku serius kok."
Lebih baik aku pergi menjauh darinya. bicara dengan Banyu membuatku hilang kesabaran. Kenapa juga ia bisa tahu semua. Memangnya ada apa sih di dalam dirinya? Jangan-jangan dia terlibat dengan masalah ini. Sebaiknya aku tak usah berprasangka buruk dulu.
Aku terus melamun karena ini. Jujur aku sampai tak bisa istirahat memikirkannya. Di rumah saja, aku sampai tak dapat tidur. Apalagi untuk makan, aku jadi tak selera. Ibuku sampai menegurku karena ini.
"Maurine, ayo makan. Jaga kesehatanmu, kamu itu sudah capek kerja!" Desak Ibuku.
"Iya Bu. Aku lagi banyak kerjaan." Ujarku.
Aku terpaksa tak jujur pada ibu. Takut jikalau ia banyak pikiran. Namun haruskah aku terus diam. Tanpa aku jujur dan bicara pada ibu. Bahkan dengan mas Alan, haruskah aku juga diam?
Memang seharusnya aku bicara pada suamiku. Bagaimanapun dia suamiku. Dia harus tahu masalah ini. Barangkali ia bisa meringankan bebanku. Apalagi mas Alan adalah seorang psikiater. Ia bisa membantuku menenangkan diri ini. Aku tak mau terus bergumul dengan masalah ini. Rasa penasaranku semakin memuncah. Haruskah aku jujur pada mas Alan. Tapi kapan aku bisa siap menceritakan semua padanya? Semoga ia bisa jadi pendengar yang baik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Nurgusnawati Nunung
kayaknya misterius
2023-10-24
0
Kustri
seruuu
2023-10-12
0