Hari ini aku memulai kembali aktivitas. Aku bisa kembali melanjutkan pekerjaanku. Pagi ini aku sudah masuk kembali ke kantor. Tami sudah menyambutku lebih dulu.
"Selamat pagi, Maurine!"
"Tami."
"Wah, sudah pulih yah. Tambah segar dan cantik kamu."
"Habis sakit kok."
"Sakitmu gak ngelunturin cantikmu."
"Haha. Kamu juga tambah glowing aja, Tami."
"Makasih." Ujar Tami sambil mengibas rambutnya.
"Muka loh bukan rambut."
"Hahaha."
"Aku mau ke ruang Andiz dulu yah."
"Sudah datang dia?"
"Katanya tidur di kantor semalam."
"Sendirian, gak takut dia?"
"Hantunya malah takut sama dia. Hahaha."
"Kamu bikin parno terus. Memang ada hantu di kantor?"
"Bisa jadi."
"Bukan hantu, mungkin jin."
"Sama aja."
"Sering banget kerja sama Andiz. Nanti malah cinlok lagi. Hayo!"
"Andiz udah punya cewek kok."
"Masa? Orangnya pemalu gitu."
"Bisa dong. Dia kan ganteng."
"Ya, juga yah."
"Cuma aku yang masih jomblo nih."
"Mau carikan gak?"
"Mau. Sama siapa?" Tanya Tami antusias.
"Sama Banyu aja mau gak?"
"Ih kok Banyu."
"Kata kamu dia ganteng. Yah, walaupun anaknya urakan."
"Kapan-kapan aja deh, kalau oppa aku pulang ke korea."
"Oppa? Hahaha."
"Jadi buat cadangan aja kalau gak ada oppa?"
"Yah."
Aku menyalakan kembali komputerku. Hari ini aku hendak melanjutkan kembali pekerjaan yang tertunda kemarin.
"Maurine!"
"Banyu, akhirmya datang juga."
"Kamu nungguin aku yah. Kenapa sudah kangen?"
"Gak!"
"Jutek jawabnya. Cepat banget lagi."
"Yah, emang salah?"
"Sedikit."
Saat kami tengah mengobrol Tami muncul. Ia hendak mengambil barang.
"Tami kenapa?"
"Eh, anu ada yang ketinggalan."
"Apa sih?"
"Alat kerjaku."
"Kok bisa?"
"Terlalu semangat ketemu kamu mungkin."
"Hahaha."
Tami pun berlalu meninggalkan kami. Ia tampak buru-buru sekali.
"Aku kemarin melihat ulang videonya loh."
"Oh gitu."
"Aku seperti mengenal wanita di video itu."
"Kamu kenal, siapa?"
"Bukan bu Arifa yah, dia yang diam-diam sengaja mengambil video CCTV."
"Siapa?"
"Aku mau bilang ke kamu. Namun aku masih belum yakin."
"Katakan saja. Gak apa kok."
"Tapi kamu bisa jaga rahasia kan?"
"Kamu ini takut sekali. Aku malah lebih khawatir dengan masalah ini. Jadi apapun yang terjadi, itu tanggung jawabku!"
"Dugaan sementaraku, yang mengambil video itu wanita. Dia Tami."
"Apa? Kamu yakin?"
"Masih dugaan sementara."
"Gak mungkin, Tami itu baik sekali orangnya. Dia dari dulu selalu bersikap baik padaku. Kamu tahu gak? Dulu waktu aku pertama kali masuk kerja, dia hampir menyelematkan nyawaku. Aku hampir saja tertimpa puluhan patung manekin!"
"Kamu jangan marah dulu. Itu kan baru dugaanku."
"Yah. Aku harap begitu."
"Aku juga percaya Tami orangnya sangat baik. Cuma kita harus tahu disini mana yang benar dan salah."
"Semoga bukan Tami."
"Sini kuperlihatkan!"
"Apa?"
"Aku sudah menyimpan screenshot wanita itu. Topi kupluk yang dia pakai sempat terbuka. Lihat kulitnya mulus seperti wanita, caranya berjalan. Ini yang lebih meyakinkanku. Screenshot wanita itu sempat terbuka kupluknya!"
Banyu menjelaskanku sambil menerangkan sedetail mungkin.
"Ini lihat, mukanya dari samping terlihat!"
"Iya seperti Tami. Tapi bisa saja potongannya memang mirip."
"Kamu masih ragu?"
"Entahlah."
"Aku ke ruang kerjaku dulu yah. Gini, aku bukannya maksud memperburuk hubunganmu dengannya. Aku juga merasa Tami itu sangat baik. Tapi kita gak ada salahnya bersikap hati-hati dulu dengannya."
"Ya."
Aku jadi tambah galau. Tak mungkin aku tak tak mendengarkan saran Banyu. Lagipula ini untuk diriku sendiri.
***
Di kantor aku seperti orang celingukan saja. Aku jadi tak berani menyapa Tami. Apalagi meja kerjanya tepat disampingku.
"Maurine, hey!" Sapa Tami.
"Yah Tami."
"Ayo makan siang bareng!"
"Hari ini aku pesan bento."
"Loh kenapa?"
"Lagi pengen aja."
"Oh kondisimu masih lemah yah?"
"Ya."
"Oke, aku duluan yah!"
"Ya."
Setelah makan siang, Tami malah kembali ke kantor dengan membawakanku potongan buah.
"Maurine! Nih tadi aku kan makan di fastfood. Di sampingnya ada stand jualan buah potongan. Masih segar-segar loh. Ada buah melon, alpukat, peach, dan lain-lain."
"Wah enak yah."
"Ini buat kamu!"
"Jangan Tami gak usah."
"Ayolah diterima. Anggap ini gantiku karena gak jenguk kamu yang sakit."
"Iya kemarin Banyu memang berencana gitu ngajak kamu. Tapi aku bilang tak usah. Sebentar lagi aku juga akan pulih."
"Ya. Tapi diterima yah buahnya. Biasanya kamu belum dikasih udah minta, hehe. Masa ini ditolak?"
"Mungkin karena bawakan baru sembuh. Aku jadi tak terlalu nafsu makan."
"Yah sudah dicoba! Dijamin badanmu segar loh."
"Ya."
"Ayo ambil Maurine!"
Aku mengambil sekotak buah dari Tami. Rasanya memang tak enak hati jika kutolak.
"Ini aku ada satu lagi loh. Ayo dicicipi!"
"Ini kebanyakan Tami. Aku cukup yang ini saja."
"Masa gak mau? Ini sudah kubuka loh."
Melihat wajah Tami, aku seolah mengingat kembali teror yang kualami.
"Ayo dicoba!" Pintanya.
"A-aku makan yang ini saja yah!"
"Yah.."
Aku langsung membuka sendiri sekotak potongan buah yang diberikannya tadi. Kuambil sepotong, lalu kumakan. Entah mengapa terasa berat saat aku mengunyahnya. Jangan sampai aku diteror lagi. Itulah yang dalam benakku.
"Enak gak?"
"Enak, segar."
"Syukurlah kamu suka. Semoga lekas lebih baik lagi Maurine."
"Yah, Tami."
Dalam kepalaku sekarang ketika berhadapan dengan Tami, hanya ada kata celaka. Tami maafkan aku. Kamu sangat baik. Aku tak bisa kalau menyakitimu terus. Apa memang benar kamu orang dalam dari kasus ini?
Saat pulang, aku merasa semua ototku sudah bekerja. Badanku terasa kembali segar dan sehat. Ternyata harus banyak bergerak biar cepat pulih. Sebaiknya aku olahraga rutin tiap pekan. Jadi kondisiku tetap sehat.
Aku kemudian menutup jendela. Hari sudah menjelang maghrib. Namun, aku sangat kaget saat melihat ada gumpalan kertas. Benda itu tersangkut di sela jendela dalam. Pikirku mungkin mas Alan yang membuangnya. Namun tak lantas keluar jendela. Saat kupegang, betapa kagetnya aku. Ternyata di dalamnya berisi batu. Saat kubuka kertas itu bertuliskan tulisan. Tulisan itu berwarna merah darah. Seketika tanganku gemetaran saat memegangnya.
"Teror lagi? Hidup atau mati?"
Di kertas itu bertuliskan kalimat hidup atau mati?
Aku tak bisa menahan rasa takut ini. Mas Alan belum juga pulang. Spontan aku langsung menelepon Banyu. Disaat seperti ini, aku malah ingin menelponnya. Sebab hanya dia yang tahu bahwa aku punya masalah. Namun aku masih belum berani bicara pada mas Alan. Aku tak mau dia marah padaku. Itu karena aku lembur malam sendirian di kantor.
"Hallo Banyu?"
"Ada apa Maurine?"
"Aku kembali diteror."
"Kok bisa?"
"Kemarin aku sama sekali tak mendapatkan teror. Aku heran, setiap kerja aku selalu mengalaminya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Kustri
yaa siapapun bs jd tersangka
lanjuuuut
2023-10-13
0