Setelah melihat rekaman CCTV, kami pulang. Saat aku beranjak dari cafe, pandanganku teralihkan. Aku seperti melihat keberadaan mas Alan disini. Langsung saja aku kembali ke pintu masuk cafe.
"Maurine!" Seru Banyu.
"Aku seperti melihat suamiku tadi. Kamu pulanglah duluan."
"Oh, oke."
Itu mas Banyu atau bukan? Semoga saja ini hanya halusinasiku. Aku berharap ini bukan pengaruh dari masalah kantor. Jangan sampai aku jadi sering berhalusinasi karena ini. Nah, ternyata benar, itu mas Alan. Tapi, belum lagi aku memanggilnya, ada sosok wanita di samping dia. Mereka hanya berdua saja. Aku langsung menghampirinya.
"Mas Alan!" Seruku sambil meraih tangan Mas Alan.
"Maurine?"
"Mas kesini juga?"
"Iya. Kok gak bilang di Cafe Coffee?"
"Aku lupa kasih tahu. Mas gak ada tanya."
"Yah, maaf."
"Ini siapa?" Tanyaku.
"Rekan kerjaku."
"Rekan kerja? Aku kesini sama rekan kerja juga tadi."
"Mana?"
"Dia sudah pulang."
"Mas ada kerjaan disini sama dia?"
"Iya."
Tiba-tiba wanita itu berubah masam mukanya. Ia seperti ingin pergi dari tempat ini. Seolah ia merasa tidak nyaman denganku.
"Alan, aku pulang dulu yah. Kata ibuku service AC nya sudah datang."
"Service AC?"
"Iya."
"Oh, yah. hati-hati!"
"Pulang dulu, Mbak." Ungkapnya lirih
"Iya."
Wanita itu pergi berlalu dengan langkah tergesa-gesa. Barangkali ia ingin cepat pulang.
"Namanya siapa?"
"Kamu belum sempat kenalan tadi?"
"Dia langsung pulang kok."
"Erissa namanya."
"Cantik juga yah, tingginya juga semampai."
"Kalau tahu gitu, kita tadi janjian berdua disini. Sama-sama bahas kerjaan kan?"
"Iya. lebih bagus memang kalau janjian." Jawabku ketus.
"Kamu kenapa jawabnya kayak marah gitu?" Ujar Mas Alan sambil sumringah.
"Gak kenapa-napa kok. Cuma lebih bagus Mas jujur aja."
"Jangan cemburuan gitu!"
"Emang gak boleh?"
"Asal jangan berlebihan saja."
"Gak berlebihan, Mas. Setidaknya Mas berusaha biar aku gak cemburu."
"Jadi aku harus gimana?"
"Yah, minimal telepon aku. Kasih tahu kamu dimana."
"Yah, Maaf. Tadi aku mendadak jadi lupa."
"Lupa?"
"Yah. Nah kamu tadi disini sama teman cewek apa cowok?"
"Cowok."
"Tuh kan. aku gak tahu kalau cowok."
"Aku gak suka sama dia kok."
"Sudahlah, kamu mau pulang atau tetap disini?"
"Pulang ajalah."
"Ayo!"
"Aku kan bawa mobil sendiri Mas."
"Memang apa salahnya bareng ke parkiran?"
"Teman wanitamu tadi gak diajak pulang?"
"Sudahlah itu urusan dia."
"Pulanglah duluan!" Ujarku.
"Loh kenapa?" Tanya mas Alan.
"Aku masih mau ke tempat lain."
"Kemana?"
"Ke taman atau kemana."
"Kamu mau ke taman?"
"Mungkin."
"Taman mana? Biar aku susul."
"Belum tahu."
"Nanti chat saja aku."
"Kalau juga jadi ke taman."
"Yah chat saja!"
Mas Alan langsung pergi dengan mobilnya. Aneh, aku tadi seperti melihat mereka berpegangan tangan berdua. Sedangkan aku saja sama Banyu, seperti Tom dan Jerry. Kami berantem terus, sementara mas Alan? Aku bisa tambah stres, kalau mentalku tabrakan kayak gini. Ketika ada masalah kantor, aku dan mas Alan juga. Jangan sampai terjadi seperti itu. Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku masih dihantui rasa cemas. Apalagi aku pulang terpisah dengan mas Alan. Aku pulang bawa kendaraan sendiri. Sudah terbiasa aku pergi dan pulang kerja sendirian. Aku takut karena kesibukanku, mas Alan jadi lalai dari pengawasanku.
Aku masih galau harus kemana? Pikiranku terasa kacau. Aku rasa tak ingin pulang. Aku hanya ingin sendiri. Pikiranku masih bingung, aku lantas masuk ke mobil. Lalu, kukemudikan mobilku. Aku tak tahu arah kemana. Aku terus berjalan. Mas Alan itu tak memikirkan perasaanku sepertinya. Aku seperti tidak fokus membawa kendaraan. Hampir saja aku menabrak tempat sampah di pinggir jalan. Aku langsung memutar ke arah kanan. Lalu kuinjak rem untuk berhenti. Aku sungguh kaget dengan yang terjadi. Untung saja ini jalan sepi. Aku takut kalau ada orang lain bisa celaka. Jangan sampai karena ulahku membuat semuanya kacau. Tiba-tiba aku kepikiran ke suatu tempat. Lalu aku mencoba ke arah lain. Sepertinya kuurungkan saja untuk duduk di taman. Aku jadi berniat ke kantor pusat. Barangkali saja aku melihat bu Arifa disana. Aku langsung membelokkan arah ke kantor pusat. Kalau tidak salah, tidak perlu menunggu lama untuk kesana. Kemungkinan sekitar setengah jam.
Akhirnya aku tiba juga disana. Aku memperhatikan keadaan di sekitar sana. Sudah kurang lebih satu jam aku disini. Namun tak kudapatkan petunjuk. Hanya kulihat sekilas ada sebuah mobil alphard yang keluar dari kantor. Sayangnya aku belum pernah melihat bu Arifa. Bodohnya aku tidak minta foto bu Arifa pada Banyu. Aku akhirnya memilih untuk pulang. Rasanya sia-sia juga kesini.
***
"Hallo?"
"Hallo Maurine. Kamu bisa kirim file video itu gak? kirimnya ke emailku saja."
"Gak bisa Banyu. Itu rahasia, kita langsung bertemu saja kalau ingin lihat."
"Kamu kok kayak gak percaya gitu sih?"
Di saat seperti ini, Banyu malah sibuk mau minta video itu. Tiba-tiba dia telepon.
"Baiklah kukirimkan saja file yang penting. Gimana kalau video saat ada orang lain itu?"
"Kenapa gak semuanya?"
"Aku lagi banyak kerjaan. Besok-besok saja kalau kamu mau, langsung minta."
"Yah sudah. Kirimkan saja yang katamu itu."
"Ada yang dibicarakan lagi tidak? Kalau tidak, aku mau pulang."
"Kamu belum pulang juga?"
"Belum, aku lagi di jalan sekarang."
"Kamu tadi benar ketemu sama suamimu yah?"
"Iya. Lagipula tidak penting kamu tanyakan. Dia juga suamiku."
"Berarti kamu lagi sama dia nih?"
"Suamiku bawa mobil sendiri. Kami sekarang terpisah pulangnya. Tapi memang sama-sama arah mau ke rumah."
"Jadi sekarang kamu lagi pulang sendiri?"
"Yah, benar sekali. Bahkan aku lagi bawa mobil."
"Kamu lagi mengemudi? Aduh maaf Maurine, aku tidak tahu. Maaf ganggu kamu pulang yah. Lebih baik tadi kamu matikan saja telepon dariku."
"Gimana mau diriject? Sedangkan kamu bolak-balik gak ada putusnya telepon."
"Yah setidaknya beri tahu saja kamu lagi di jalan. Jadi aku putuskan teleponnya."
"Yah sudahlah. Aku mau pulang ini. Jadi putus gak teleponnya?"
"Iya jadi."
Aku langsung mematikan teleponnya. Banyu ini benar-benar ribet orangnya. Rasanya mau bernapas lepas dari dia saja sulit. Ada saja yang dilakukannya. Masalah bu Arifa, mas Alan, Banyu juga. Kenapa sebanyak ini yang membuatku pusing? Aku hanya ingin kerja. Bukan untuk membuat masalah. Kalaupun lembur aku tahu itu memang salahku. Tiba-tiba teleponku berdering lagi. Sontak saja aku langsung naik emosi. Ini anak gak ada putusnya bikin ribet.
"Halo. Mau apa lagi kamu?"
"Kenapa jawabnya marah gitu?"
"Eh, Mas Alan?"
"Sudah jangan banyak emosi. Nanti kamu gak fokus bawa mobilnya!"
"Iya, maaf."
"Jangan banyak pikiran. Gimana jadi ke taman?"
"Gak jadi, ini lagi di jalan mau pulang."
"Oke. Hati-hati."
"Yah Mas."
Ternyata mas Alan yang telepon. Aku merasa malu sekali. Ia pasti mengira aku stres sejak tadi karena dia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Kustri
hrs'a tunggu dl, lihat apa yg dilakukan alan ama wanita tadi spy tau ada apa mereka
2023-10-12
0