Ketika hendak menyerahkan kertas itu, perasaanku menjadi tidak enak. Aku takut kalau ada yang memata-matai kami. Aku langsung menarik kembali kertas itu. Banyu sampai terheran, ia baru saja ingin meraihnya.
"Apaan sih, Maurine?"
"Nanti saja!"
"Kenapa?"
"Aku takut ada mata-mata."
"Memang siapa?"
"Itu instingku saja."
"Wanita memang penuh insting yah."
"Semua makhluk punya insting kok!"
"Jadi kapan mau diperlihatkan? Jangan-jangan kamu salah kira tadi. Padahal sebenarnya gak ada kan?"
"Ada. Nanti sepulang kerja kuperlihatkan."
"Lama."
"Sabar. Eh ini makananmu datang. Ambil sana keluar!"
"Yah, bentar."
Setelah selesai istirahat siang, aku melanjutkan pekerjaan. Tugas yang sudah kucetak lagi, akan kuserahkan ke manager. Namun saat itu pak Kusuma tak ada di ruangan. Aku terpaksa menyerahkannya ke wakil manager. Aku pun berjalan agak jauh ke ruang wakil manager. Saat berjalan, aku melihat Tami dan Andiz tampak sibuk. Mereka pasti akan mengerjakan tugas tadi. Aku baru tersadar dengan nama yang disebut Tami. Errisa, mungkinkah dia yang bersama mas Alan?
Lalu, aku mengintip ke arah koridor. Aku terpaksa melakukan cara ini. Rasa penasaranku sangat besar untuk mengetahuinya. Tiba-tiba saja ada yang menepuk pundakku. Aku langsung terkaget saat merasakannya.
"Siapa?"
"Kenapa kamu disini, Maurine?"
"Eh, Bu Elsa. Maaf, saya mau mengantarkan proposal ini ke ruangan anda."
"Ke saya?"
"Iya, pak Kusuma sedang tidak ada di ruangan, Bu. Katanya beliau sedang keluar."
"Oh, kalau ini sebaiknya kamu serahkan saja langsung. Lagipula kamu butuh tanda tangannya kan? Nanti kemungkinan pak Kusuma sudah kembali ke kantor."
"Yah, Bu."
Aku merasa malu dengan bu Elsa. Rasanya keringat dingin, ketika aku ketangkap basah olehnya. Ia pasti tahu jelas, aku sedang mengintip ke arah koridor.
"Kamu lihat apa disini?" Tanya Bu Elsa.
"Aku cuma mau...."
"Erissa, sudah tiba kamu disini? Sejak tadi kami tunggu."
Tiba-tiba bu Elsa menyapa seseorang di belakangku. Betapa kagetnya aku ketika mendengar namanya. Padahal belum lagi aku menjawab pertanyaan bu Elsa.
"Ini ruangannya, Bu?"
"Yah, benar. Ayo Erissa, masuk ke dalam!"
Aku tak kuasa untuk menoleh ke arah belakang. Takut jika itu benar wanita yang kumaksud. Lalu, kupejamkan mataku menahan rasa takut. Saat dia melintas di depanku, aku langsung membuka mata. Rasa penasaranku ternyata masih ada. Betapa terkejutnya aku, sosok wanita itu benar nyatanya Erissa. Dia wanita cantik dengan tinggi proporsional. Benar dialah saat itu yang bersama mas Alan.
***
Pandanganku terasa kaku, ternyata aku bisa bertemu dengannya disini. Tapi dia tak merasakan keberadaanku. Mungkin karena baru sekali kami bertemu. Aku langsung kembali ke ruangan kerja.
Di meja kerjaku, aku masih melamun saja. Pandanganku kaku, hingga aku tak tahu memulai darimana.
"Maurine, kenapa?"
"Banyu?"
"Kamu kok kayak stres gitu?"
"Ini masalahku. Gak ada hubungan sama kamu."
"Maksudnya?"
"Ini bukan tentang bu Arifa yah. Jadi kamu gak perlu banyak tanya."
"Huh. Yah sudahlah, aku kembali kerja. Kalau ada apa-apa bilang padaku!"
"Kenapa aku harus cerita ke kamu?"
"Apa?"
"Maaf, maksudku kalau bukan masalah bu Arifa mungkin aku gak cerita. Tapi kalau tetang bu Arifa, aku pasti cerita."
"Oke. Aku pergi dulu."
"Kemana?"
"Yah ke ruanganku. Melanjutkan pekerjaan yang menumpuk."
"Yah."
Dalam benakku bertanya-tanya. Memang wanita itu ada masalah apa? Sampai ia meminta mas Alan menjadi psikiaternya. Aku jadi cemburu begini. Rasanya naif juga jika aku cemburu. Hanya karena wanita itu sangat cantik. Dibandingkan denganku, rasanya aku tak sebagus dia. Cantik, proposional, muda, kaya, dan mapan. Setiap pria pasti akan jatuh hati pada wanita seperti itu.
***
Pulangnya aku mengajak Banyu untuk bertemu di suatu tempat. Aku hendak memperlihatkan kertas itu. Di sebuah taman kecil, aku menantinya. Tak berapa lama, Banyu menghampiriku yang duduk di kursi taman.
"Kok sampai segitunya ngajak janjian disini?" Tanya Banyu heran.
"Aku hanya tidak mau barang bukti ini terekam CCTV." Jelasku.
"Oh, coba perlihatkan padaku!" Pinta Banyu.
"Ini!"
Banyu melihatnya dengan detail. Ia seperti sudah tahu dengan noda di secarik kertas itu.
"Yah, ini memang bercak darah." Ungkap Banyu.
"Benar kan? Malam itu karena tergesa-gesa pulang, aku lupa menyimpannya. Jadi kubiarkan saja terkapar di atas meja. Besok paginya, kurapikan tanpa memperhatikan. Aku tidak menyepelekannya karena hanyalah kertas. Aku malah memperhatikan keadaan sekitar kalau ada yang mencurigakan. Tadinya kukira ini teror."
"Tidak. Kamu jangan kira dulu ini bukan teror!"
"Kenapa?"
"Bisa jadi ini memang teror. Kamu tidak perhatikan apa, sebelum kita kembali ke kantor. Seperti ada hal aneh yang terjadi. Aku yakin, semua ini perbuatan orang dalam. Pelakunya tidak lebih dari satu saja."
"Gawat kalau memang begitu!"
"Kamu harus tetap tenang. Biar urusan ini bisa selesai dengan baik. Sedari tadi kamu terlihat galau di kantor."
"Aku ada masalah pribadi. Tapi ini tidak ada sangkut pautnya dengan bu Arifa."
"Mangkanya kuminta kamu tenang."
"Yah."
"Kita harus menyelidiki keluarga bu Arifa."
"Kenapa harus keluarganya?"
"Kalau kita tahu keberadaan keluarganya, kita pasti tahu tentang bu Arifa. Kalau memang bukan bu Arifa yang kamu lihat itu, bisa jadi orang lain. Orang itu pasti ingin menjatuhkan bu Arifa atau perusahaan."
"Oh Tuhan. Andai saja aku tidak lembur. Jika aku tahu kantor ini bermasalah, aku memilih berhenti."
"Kamu mau mengundurkan diri?"
"Mungkin."
"Lantas kalau kamu mengundurkan diri, kamu yakin tidak akan ditangkap?"
"Maksudmu?"
"Tetaplah menjadi saksi. Kalau tidak, kamu akan menjadi tersangka."
"Kamu jangan menakutiku Banyu!"
"Mangkanya kamu harus tetap bertahan."
"Ya. Jadi bagaimana rencanamu ingin mencari tahu keluarga bu Arifa?"
"Nanti akan kucari tahu. Aku bisa saja bertanya dengan bu Trista atau manager. Bu Arifa pasti punya anak. Kalau pasangan, Bu Arifa setahuku seorang single parent."
"Apa coba kutanyakan saja pada Tami?"
"Jangan dulu! Tami pasti sama seperti karyawan lainnya. Kamu tahu kan bu Arifa itu sangat menjaga privasi. Jadi rasanya tidak mungkin semuanya tahu keluarga bu Arifa. Aku yang sudah lama bekerja disana saja tidak tahu."
"Menurutmu beliau tipikalnya seperti apa sih? Pasti kamu pernah bertemu dengannya kan, bahkan mengobrol?"
"Yah, pernah. Bu Arifa itu orangnya pendiam. Namun ia ramah senyum. Bertemu dengannya saja aku hanya sebentar."
"Keluarganya saja kamu gak pernah lihat?"
"Mana pernah. Beliau itu sangat tertutup. Rumah pribadinya saja aku tidak tahu."
"Ternyata memang sulit menyelidikinya. Semoga saja nanti ada petunjuk lagi."
"Yah, aku harap begitu."
"Andai saja bu Arifa pulang. Aku pasti bisa terlepas dengan semua belenggu masalah ini."
Belum lagi aku harus menjaga hati mas Alan. Kini aku harus menyelidiki keberadaan keluarga orang lain. Aku tak habis pikir semua ini menimpaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments