"Maurine!"
"Siapa?"
Di kala hujan, aku merasa getaran yang kembali memanggilku. Tapi ini bukanlah bu Arifa. Andai beliau, aku sangat senang sekali. Keberadaannya tentu menenangkanku. Lalu, aku akan bertanya, siapa yang menjerit di malam itu?
"Hey!"
"Aduh!" seruku sambil memegang pundak.
"Kamu ini budek apa Maurine?"
"Kamu kalau manggil aku gak usah sambil mukul gitu!"
"Kamu dipanggil dari tadi gak dengar-dengar."
"Iya maaf, aku melamun."
"Ngelamun bu Arifa terus?"
"Yah."
"Hahaha. Ngapain dilamuni? Manager saja tidak peduli."
"Aku hanya tak enak hati saja pada bu Arifa."
"Kamu itu baru sekali ketemu sama dia. Itu pun juga kalau dia yang kemarin."
"Perasaanku gak enak aja. Seandainya aku diamkan masalah ini, takutnya akan muncul."
"Maksudnya?"
"Kalau suatu saat ada tanda-tanda kalau bu Arifa hilang."
"Hilang?"
"Iya."
"Kita pastikan saja dulu keberadaan bu Arifa."
"Kapan mau ke kantor pusat?"
"Itulah aku bingung."
"Apa kita izin saja tidak masuk?"
"Jangan!"
"Kenapa?"
"Bisa jadi keberadaan kita diketahui orang kantor sini."
"Jadi gimana?"
"Nanti aku akan upayakan bisa kesana."
"Sendiri?"
"Aku akan usahakan kita bisa kesana tanpa dicurigai."
"Baiklah. makasih yah Banyu."
"Sama-sama."
***
Dua hari telah berlalu, aku tak kunjung mendapatkan hasil. Setiap kutanyakan pada Banyu, ia bilang sabar. Aku hanya takut ia lupa akan janjinya. Di hari ketiga ini, aku menantikan ia dengan cemas.
"Maurine!"
"Yah, Banyu"
"Kok Banyu?"
"Aduh, Tami!"
"Kenapa hayo bilang Banyu?"
"Aku hanya ada urusan saja sama dia."
"Ini aku ada cokelat buat kamu. Semoga relax yah hari ini."
"Makasih Tami."
"Kamu kenapa mukanya cemas gitu?"
"Gak ada apa-apa."
"Ada masalah sama Banyu?"
"Ada urusan dikit aja."
"Urusan apa sih?" Tami bertanya sambil mengernyitkan dahinya.
"Dia..pinjam uangku."
"Oh, hahaha. Anak itu memang hobinya pinjam. Terus lupa balikin."
"Kamu pernah digituin?"
"Iya pernah."
Gawat, Banyu aja kayak gini sama Tami. Jangan-jangan dia lupa sama aku juga.
"Tami, kamu pernah ketemu bu Arifa yah?"
"Bu Arifa pimpinan?"
"Iya."
"Dia sering di kantor pusat."
"Katanya dia ke luar negeri kan?"
"Iya, ke Paris. Belum pulang kok."
"Belum?"
"Iya. Aku lanjut kerja dulu yah."
"Oke."
Aku celingak-celinguk saja di kantor. Kuperhatikan sekitar ruangan. Setiap kali aku mencari keberadaan Banyu. Dia tak ada di sekitar sini. Bahkan kucari di meja kerjanya pun tak ada. Apa dia ke ruangan lain yah atau meeting?
"Maurine!"
"Yah. Ada apa lagi Tam..?"
"Hey, gua Banyu."
"Kamu ini! Kemana aja sih?"
"Orang datang langsung marah-marah aja."
"Yah maaf. Aku cemas gak ada kabar dari kamu. Gimana?"
"Aku sudah bilang, sabar!"
"Ya."
"Kita bisa ke kantor besok."
"Gak ada yang curiga?"
"Aku sudah kasih alasan ke manager. Ceritanya panjang, pokoknya besok kita kesana berdua."
"Syukurlah. Makasih yah Banyu. Besok aja jelasin ke aku alasan boleh kesana."
"Yah."
Akhirnya aku bisa tenang. Walaupun Banyu orangnya sedikit usil, ternyata ia bisa diandalkan. Orangnya juga kelihatan sangat baik. Yah, meskipun kemarin uangku habis buat kasih ke dia. Hatiku sekarang sedikit tenang. Namun, rasa khawatir ini masih ada. Aku berharap, kisah yang kualami di balik hujan itu perlahan terungkap.
***
Besok harinya, kami ke kantor pusat. Rasanya tak percaya bisa kesini. Namun aku penasaran, alasan apa yang membuat bisa kesini. Manager pula yang tahu. Aku merasa cemas, langsung saja kutanyakan pada Banyu.
"Banyu, pak Kusuma kok bisa ngijinin kamu?" Tanyaku.
"Aku bilang, ada urusan mengembalikan data perusahaan pusat yang dipinjam. Semula sulit meyakinkan manager. Tapi kebetulan semua karyawan sedang sibuk. Jadi aku bisa bantu mengembalikannya kesini. Untung aku ini kepala cabang. Jadi aku bisa dipercayai."
"Yah memang kepala cabang top."
"Keren kan?"
"Aku gak tanya jabatanmu!"
"Hahaha."
"Lantas, manager kenapa bisa mengizinkanmu ajak aku?"
"Oh itu. Lantaran kamu masih anak bawang. Jadi aku ajak kamu sekalian mau kenalkan perusahaan pusat. Aku anggap kamu bisa dipercayai."
"Enak aja panggil aku anak bawang!"
"Kamu kan masih bau kencur. Hahaha."
"Sudah jangan ngeledek terus. Terpenting kita fokus sekarang. Kita sudah disini, ayo cari petunjuk!"
"Oke."
Kami mendatangi kantor pusat. Kemudian menuju ruang resepsionis. Pandanganku tak berkedip memperhatikan sekitar. Aku berharap mendapatkan petunjuk bu Arifa.
"Ayo, pantau apa?"
"Kita kesini kan memang mau memantau!"
"Hehehe. Kayak detektif dong, seru!"
"Kok kayak gak ada petunjuk yah. Biasa aja."
"Berarti memang gak ada."
"Duh, sia-sia dong kesini!" Kataku gusar.
"Sabar. Berdoa sama Tuhan. Semoga diberi petunjuk segera."
"Ya. Kamu bantuin Banyu. Kamu kan kepala cabang. Mungkin ada yang kamu tahu tentang ini."
"Nanti, sabar."
Saat aku di tengah kebingungan. Tiba-tiba muncul seorang wanita berpostur tinggi besar. Dia menghampiri kami berdua. Jantungku serasa berdetak kencang. Mungkinkah ini bu Arifa? Jika benar, berarti yang kulihat malam itu bukan bu Arifa. Kejadian malam saat hujan itu, ternyata yang kulihat orang lain.
"Selamat siang, Bu." Sapa Banyu sambil mengulurkan tangannya. Dia hendak berjabat tangan.
"Oh, Pak Banyu. Sejak kapan disini?"
"Kurang lebih setengah jam, Bu."
"Sudah menunggu agak lama yah?"
"Gak apa, Bu. Sudah biasa. "
"Mari masuk ke ruangan saya."
Aku seraya tak ingin hilang kesempatan. Langsung ingin berjabat tangan dengan beliau.
"Bu Trista, ini kenalkan Maurine! Dia karyawan baru di perusahaan, bagian agensi." Kata Banyu.
"Yah, salam kenal. Saya Trista."
"Saya Maurine. Senang bisa berkenalan dengan Bu Trista."
"Sama-sama."
Ternyata bukan ini, mungkinkah bu Arifa memang tidak ada?
"Ayo masuk ke ruangan saya!" Ajak Bu Trista.
"Baik, Bu." Pungkas Banyu.
Aku masih terdiam, serasa galau tentang Bu Arifa. Kami pun dipersilahkan duduk oleh bu Trista. Beliau ini sangat ramah. Bahkan dengan tangannya sendiri ia menyuguhkan kopi di ruangannya. Alat pembuat minuman kopi itu, memang ada di ruangannya. Jadi ia hanya tinggal menuangkan sendiri dalam cangkir.
"Silahkan duduk, tunggu sebentar, saya ambil minuman."
"Sudah, jangan repot-repot, Bu!"
"Oh gak apa-apa. Sudah biasa kok, setiap ada tamu pasti saya layani."
Aku memerhatikan di sekitar ruangannya. Barangkali saja, ada foto ibu Arifa.
"Ini silahkan diminum!" Ujar Bu Trista.
"Aduh repot-repot, Bu." Kataku.
"Gak apa-apa."
"Ibu pimpinannya dimana yah, Bu?" Tanyaku.
Aku langsung memberanikan diri bertanya pada bu Trista. Rasa penasaranku mau kukeluarkan karena ini.
"Pimpinan yang mana?" Tanya Bu Trista.
"Bu Arifa." Kata Banyu.
"Ibu Trista kan lagi ke Paris. Loh Pak Banyu gak bilang?" Jawab Bu Trista.
"Sudah, Bu. Tapi dia masih gak percaya. Maklumlah karyawan baru. Jadi kepo kepingin lihat wajah pimpinan perusahaan." Ujar Banyu.
"Apaan kepo!" Jawabku.
"Hahaha." Tawa Banyu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments