Vani menuntun Dilan menuju kursi malas yang ada dipinggir kolam. Darah dari telapak kakinya terus menetes kelantai. Berkali-kali pria mendesis karena perih yang dia rasakan.
"Tunggu sebentar disini, aku ambil obat dulu." Belum sempat Dilan menjawab, Vani sudah lebih dulu pergi, masuk kedalam rumah untuk mengambil obat dan perban.
Tak lama kemudian, Vani kembali dengan sekotak obat. Dia berjongkok didekat kursi. Dan dengan telaten mengobati luka dikaki Dilan. Tak lupa meniup luka tersebut saat mendengar rintihan Dilan yang merasa perih saat lukanya terkena obat.
"Hati- hati dong, Mas. Mas Dilan emang gak cocok kerjaan ginian. Jadi kena pisaukan tangannya." Rani membasuh jari Dilan yang luka karena teriris pisau saat memotong kentang. "Udah, gak usah sok bantuin aku masak. Takutnya nih jari nanti habis, kepotong semua." Seloroh Rani sambil tertawa ngakak. Gadis itu meniup luka Dilan lalu mengambil plester dan memasangkan dijari telunjuk yang terluka.
Air mata Dilan meleleh saat teringat kenangannya dengan Rani. Sudah 7 tahun berlalu, tapi dia tak juga mampu melupakan cinta pertamanya itu. Rani, gadis lugu yang mampu membuatnya jatuh cinta sangat dalam.
"Kamu dimana, Ran?" gumam Dilan tanpa sadar.
Deg
Vani yang mendengar Dilan menyebut nama Rani, langsung menatap pria itu. Cepat-cepat Dilan menyeka air matanya karena tak mau ketahuan menangis.
"Apa sangat sakit?" tanya Vani. Dia masih bisa melihat jejak air mata diwajah Dilan.
"Hem, sakit sekali," sahut Dilan sambil mengangguk. Bukan luka dikakinya yang sangat sakit, tapi luka tak berdarah dihatinya. Dia dan Rani pernah mengingat janji suci, akan selalu bersama. Bahkan mereka mengucapkan janji selayaknya orang yang baru menikah. Akan hidup bersama selamanya, tapi pujaan hatinya itu malah menghilang bak ditelan bumi. "Setelah selesai, bisa tolong antar aku ke kamar?" Vani mengangguk lalu menyelesaikan membalut luka Dilan dengan perban.
Sisi, bocah itu tiba-tiba datang menghampiri Vani dan Dilan.
"Ada apa, Si?" tanya Vani yang baru selesai membalut luka Dilan.
"Sisi mau ambil teddy, Bi."
Vani mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan boneka beruang kecil tersebut. Dan ternyata sudah ada dipinggir kolam, sepertinya Dilan yang mengambil.
Sisi berlari mengambil boneka basah yang ada dipinggir kolam. Untung letaknya jauh dari pecahan gelas tadi.
"Bawa sini, Si." Teriak Vani sambil melambaikan tangan. Bocah kecil itu langsung berlari kembali ke tempat bibinya.
"Basah Bi, enaknya dijemur dimana ya?" Sisi celingukan mencari tempat panas yang sekiranya cocok untuk menjemur teddi.
"Nanti Bibi keringin dimesin cuci. Baru setelah itu dijemur."
Dilan memperhatikan boneka kumal itu. Sudah sangat jelek, masih haruskah di jemur?
"Itu sudah jelek, kenapa tak dibuang saja," celetuk Dilan.
Sisi menggeleng cepat sambil memeluk boneka basah itu. Raut wajahnya seperti takut kehilangan. "Ini boneka dari ibunya Sisi. Sampai kapanpun, Sisi tak akan membuangnya." Gadis kecil itu tampak sangat menyayangi boneka yang sebenarnya bukan pemberian ibunya, melainkan dibelikan Vani. Keluarganya hanya ingin Sisi mempunyai barang yang dianggap kenangan dari sang ibu. Makanya mereka berbohong dengan mengatakan jika boneka itu dari ibunya.
"Kenapa gak minta dibelikan baru sama ibu kamu?" Sisi langsung menangis gara-gara ucapan Dilan barusan. "Kenapa malah nangis?" Dilan jadi bingung.
Vani memeluk Sisi sambil membujuknya agar berhenti menangis. "Udah jangan nangis, nanti Bibi keringin bonekanya." Sisi mengangguk sambil menyeka air matanya.
"Kenapa malah nangis sih?" Dilan kembali bertanya karena belum mendapatkan jawaban.
"Ibu Sisi sudah meninggal," sahut Sisi disela isakannya. Gadis kecil itu menatap Dilan dengan mata sembabnya.
Dilan bergeming beberapa saat. Tatapan itu mengingatkannya Rani. Mata bocah itu, mirip sekali dengan mata Rani. Mata indah yang membuat Dilan jatuh cinta. Buru-buru Dilan mengalihkan pandangan. Akhir-akhir ini, kenapa semua orang seperti mengingatkan dia pada Rani. Luka yang dia coba kubur selama 7 tahun ini, seperti kembali kepermukaan.
"Kenapa dia ikut denganmu bekerja? Apa dia tak ada saudara lain lagi? Dimana ayahnya?" tanya Dilan.
"Ayah Sisi juga sudah meninggal," sahut bocah itu. "Sisi ke Jakarta, untuk nyari makamnya ayah."
Vani meremat ujung kaosnya, menggigit bibir agar air matanya tak terjun bebas. Andai saja dia bisa jujur pada Sisi, jika kemungkinan ayahnya masih hidup. Dan mungkin saja, pria dihadapannya itulah ayahnya.
"Mencari makam ayah? Memang dimana makam ayah kamu?"
Sisi menggeleng. "Sisi tidak tahu dimana. Sisi tidak pernah datang ke makam ayah. Padahal Sisi ingin sekali membawakan bunga dan mendoakan ayah dimakamnya." Raut wajah Sisi berubah sendu. Bocah itu memang ingin sekali tahu tentang ayahnya. Saat menanyakan foto ayahnya saja, keluarganya bilang tidak ada ada. Dan siapa namanya, mereka juga tidak penah memberitahu.
"Sisi masuk kedalam ya, istirahat," titah Vani. "Ingat, Sisi gak boleh capek." Sisi mengangguk cepat lalu masuk kedalam rumah.
"Apa yang dikatakan bocah itu benar?" tanya Dilan.
"Yang bagian mana?"
"Kalian ke Jakarta untuk mencari makam ayahnya?"
Vani menggeleng. "Itu tidak benar. Kami ke Jakarta untuk mencari ayah Sisi, bukan makamnya."
"Maksudnya?" Dilan mengernyit bingung.
"Sudahlah, ayo saya antar ke kamar." Vani mengulurkan tangan, membantu Dilan bangun lalu menuntunnya menuju kamar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Hariyanti
mungkin Rani korban perkosaan.dia kabur karena takut mengecewakan dilan 🤔
2025-03-26
1
Ima Kristina
q yakin bukan Dilan pelakunya tapi papa Salim atau Damian
2024-12-22
0
vie gumi
mungkin aja sisi mmg anak dilan, tapi sebelum dilan tau rani hamil, Rani sudah di usir dari rumah majikannya.
2024-06-14
1