Vani memijit pelipisnya sambil menggoreng ikan. Kepalanya terasa pusing karena kurang tidur. Sisi demam sejak dini hari tadi dan mengeluh jika seuruh badannya terasa sakit. Beruntung setelah diberi obat, demamnya turun dan Sisi bisa tidur. Tapi hal itu tak lantas membuat Vani tenang.
"Kamu kenapa Van, Muka kamu kelihatan pucat?" tanya Fatimah.
"Mbak, bisa bantuin aku masak gak, biar cepet selesai."
"Kamu gak enak badan?"
"Bukan aku, tapi Sisi. Selesai buat sarapan, aku mau bawa Sisi kerumah sakit." Dia tak bisa tenang sebelum tahu kondisi Sisi.
"Sisi itu sebenarnya sakit apa sih, Van? Kok aku lihat setiap hari minum obat terus."
"Leukemia."
"Innalillahi," pekik Fatimah sambil menutup mulutnya yang menganga lebar. Selama ini, dia hanya tahu tentang penyakit itu disinetron, tak menyangka jika sekarang, dia melihat langsung orang yang terkena penyakit mengerikan tersebut. "Be-beneran Sisi sakit leukemia?"
"Iya, Mbak. Aku harus membawanya kerumah sakit segera, takut ada apa-apa."
Mereka berdua memasak dengan cepat lalu menghidangkan dimeja makan.
Setelah semua siap dimej makan, Vani mengecek kondisi Sisi dikamar. Wajah bocah itu terlihat makin pucat. Dan saat dia menyentuh keningnya, ternyata Sisi kembali demam.
"Si, bangun sayang," Vani mengguncang pelan lengan Sisi. Dan perlahan, Sisi mulai membuka matanya. "Sarapan yuk, setelah itu kita kerumah sakit."
"Bi, badan Sisi sakit semua," gumam Sisi. Bocah itu tampak sangat lemas. Bahkan untuk membuka mata dan bicara saja, seperti kesulitan.
"Iya sayang, kita kerumah sakit setelah ini." Vani membuka almari, mengambil tas berisi surat-surat yang diperlukan untuk berobat menggunakan asuransi gratis dari pemerintah. Vani juga menyiapkan rekam medis Sisi dari rumah sakit sebelumnya.
"Van, gimana Sisi?" tanya Fatimah yang tiba-tiba masuk. Dia mendekati Sisi yang terbaring lemah diatas ranjang lalu menyentuh keningnya.
"Aku harus segera ke rumah sakit Mbak, Sisi makin lemas."
"Apa gak lebih baik minta tolong Mas Dilan buat ngater?"
Vani menggeleng, "Aku gak mau ngerepotin siapa-siapa. Lagian Mas Dilan kan harus kerja. Nitip Sisi bentar ya Mbak, aku mau mandi dulu." Vani keluar kamar setelah menitipkan Sisi pada Fatimah. Saat hendak masuk kekamar mandi, dia dipanggil Siska.
"Van, Mas Dilan minta dibuatin kopi tanpa gula." ujar Siska yang baru saja masuk dapur. Tadi saat melewati meja makan, Dilan memanggilnya, menitip pesan untuk menyuruh Vani membuatkan kopi untuknya.
"Tolong Mbak Siska buatin ya, aku lagi terburu-buru."
"Enak aja nyuruh aku," sentak Siska. "Giliran jalan-jalan sama Mas Dilan, kamu. Kok giliran buatin kopi jadi aku?" Siska menunjuk dirinya sendiri. "Jangan mentang-mentang deket sama Mas Dilan, kamu jadi kayak majikan, main perintah."
Vani membuang nafas kasar. Bukankah tadi dia bilang tolong, bukan memerintah? Dan kenapa hanya gara-gara kopi, jadi merembet kemana-mana seperti ini, bahkan sampai kemasalah jalan-jalan.
"Masak itu bagian kamu, bagian aku cuma laundry, ingat itu," tekan Siska.
"Iya, maaf, aku lupa." Vani mengambil panci kecil lalu merebus air. Kalau diladenin, bisa panjang lebar urusannya dengan Siska nanti. Selesai membuat kopi, Vani langsung membawanya kemeja makan.
Dilan yang sedang ada dimeja makan, tersenyum melihat Vani membawakan kopi untuknya. Biasanya dia tak pernah minum kopi, tapi semalam dia tak bisa tidur setelah mimpi bertemu Rani. Setelah bertahun-tahun dan akhirnya bisa merelakan Rani, entah kenapa gadis itu semalam hadir dalam mimpinya. Dan yang bikin dia terus terngiang, Rani sedang menggendong bayi dalam mimpi itu. Karena itulah, pagi ini dia merasa sangat mengantuk.
"Makasih." Dilan tersenyum saat Vani meletakkan kopi didepannya.
"Van, gue juga buatin dong," pinta Damian yang tak mau kalah dari Dilan. "Tapi jangan tawar, yang manis kayak kamu."
Bu Retno sontak menatap Damian tajam, tapi yang ditatap seolah tak peduli. Malah tersenyum miring seolah menantang mamanya.
"Gak pakai lama Van," seru Damian saat Vani berjalan kembali kedapur. "Tapi pakai cinta."
Huk huk huk
Dilan yang sedang makan langsung tersedak. Pria itu meraih air putih didepannya dan langsung menegaknya untuk meredakan sakit ditenggorokan. Sudut matanya melirik kearah Damian tajam.
Vani menggerutu sambil merebus air. Padahal dia harus segera kerumah sakit, tapi Dilan dan Damian malah menambah pekerjaannya. Karena kesal, Vani memasukkan 4 sendok gula dikopi Damian. Dia tak peduli jika nantinya Damian akan kemanisan.
Setelah siap, dia mengantarkan kopi tersebut kemeja makan. Meletakkan didepan Damian lalu hendak pergi, tapi pria itu menahan pergelangan tangannya. Vani langsung menarik tangannya dan reflek melihat kearah Dilan. Padahal antara dia dan Dilan tak ada hubungan apa-apa, entah kenapa dia takut pria itu salah faham.
"Tunggu bentar, aku cicipin dulu, pas atau enggak rasanya." Damian mengangkat cangkir tersebut lalu meniup kopi beberapa kali. Ingin sekali Vani mengumpat, dia sedang tergesa-gesa, tapi Damian malah bikin ulah. Kalau dia ngomong Sisi sakit, takutnya Damian dan Dilan malah berebut nganter kerumah sakit seperti kejadian dia tersiram air panas. Yang ada malah riweh karena 2 pria itu. Dan bisa-bisa, dia dipecat Bu Retno, jangan sampai itu terjadi, karena misinya belum selesai.
"Busyet," pekik Damian. Tak ayal semua mata langsung melihat kearahnya. "Sumpah, ini manis banget, persis kayak senyuman kamu." Entah apa maksudnya, Damian seperti terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada Vani. Dipuji seperti itu, Vani jadi salah tingkah.
"Vani, kembali kedapur," titah Bu Retno. Siapapun yang melihat, akan tahu jika wanita itu sedang marah. Tapi Damian seolah tak peduli. Menyeruput kopi rasa gula itu dengan ekspresi sangat menikmati. "Jangan terlalu dekat dengan pembantu, mereka tak selevel dengan kita." Vani yang hampir mencapai dapur, masih bisa mendengar ucapan Bu Retno tersebut.
"Bagi Damian, semua orang itu sama," bukannya takut, Damian malah menantang. "Jangan samakan Damian dengan Bang Dilan yang bisa Mama atur harus menikah dengan siapa. Damian akan menentukan siapa yang akan_."
"Cukup," potong Pak Salim. "Jangan berdebat dimeja makan."
Damian meletakkan sendok dan garpunya lalu meninggalkan meja makan. Tak berselang lama, Dilan juga melakukan hal yang sama.
"Lihat mereka, makin hari makin tak bisa diatur." Bu Retno membanting sendok dan garpunya. "Mereka berasal dari bibit, bebet dan bobot yang bagus, entah kenapa, seleranya rendahan macam kamu." Bu Retno menatap Pak Salim nyalang lalu meninggalkan meja makan. "Aku harus segera memecat gadis itu," gumamnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
EsTefaYe
haah...lho koq dibilang selera rendahan macem pak salim.., emg bu retno pembokat jg/CoolGuy/
2024-12-25
0
himawatidewi satyawira
lho berarti buret no rendahan dong🤔
2025-01-29
0
Ima Kristina
makin seru ceritanya lanjut kakaaa
2024-12-22
0