...Author point of view....
Jessie segera menyiapkan apa saja yang perlu di tata, ia tersenyum senang saat Lita, asistennya sudah berjaga di depan rumah. Ya, memang. Jessie mempunyai satu orang asisten, sekaligus karyawan. Sebagai asisten rumahan, juga karyawan yang membantunya berjualan donat.
Lita sedang menyiapkan apron. Dia dan Jessie sudah lama mengenal, di hitung tiga tahun lamanya, karena usaha kue Jessie yang bergerak cepat, sehingga dapat memperkerjakan seorang karyawan.
Jessie hanya perlu melihat-lihat saja, ketika Lita yang menata pernah pernik bubuk pancake. Orang-orang mulai datang bergantian, di hitung sudah ada lima belas pengunjung yang datang ke ruko kecilnya.
“Datang lagi ya nyonya, semoga enak kue nya.” ucap Jessie ramah pada si pembeli, pembeli itu mengangguk ramah.
Lita dan Jessie kembali bekerja, “Kak, adonannya habis.” ujar Lita pada Jessie, di saat pengunjung yang berdatangan mulai pulang.
Jessie mengangguk, ia peka, bahwa berarti ia harus kembali membuat adonannya, membuat adonan tidaklah sulit, ketika ia biasa membuat setiap harinya.
Setengah jam kemudian.
Ternyata semakin banyak yang datang, Jessie sudah tak heran atau kaget lagi jika ada yang mampu berdiri karena tak mendapatkan tempat duduk. Jessie bersyukur bahwa hanya Lita dan dirinya saja sudah mampu menangani pembeli sebanyak ini.
Sudah agak siang, yaitu pukul 11.
Jessie langsung menitipkan ruko kecilnya pada Lita, ia harus bergegas menjemput Lauryn di sekolahnya, Jessie menaiki mobil, lalu kembali menancapkan gas.
“Ah ya... Ini ada uang lebih sekali, untuk apa ya kira-kira? Tapi, ini bukan uangku. Lalu bagaimana aku bisa menyimpan dan mempergunakannya.” ujar Jessie ber monolog, Jessie letakkan dompetnya di kursi belakang.
Sudah sampai di sekolah anaknya, Jessie turun setelah memarkirkan mobilnya di parkiran khusus. Lalu ia memasuki gerbang, Jessie meneguk ludahnya kasar. Saat tatapan tajam di lemparkan untuknya, dari wanita-wanita yang mungkin lebih tua beberapa tahun darinya.
Kadang Jessie heran, mereka bahkan belum pernah berbicara atau mengobrol padanya, tapi ada saja yang men cap buruk dirinya dengan begitu mudah.
Tak memperdulikan tatapan tajam itu, Jessie melenggang pergi menuju depan kelas Lauryn. Ketika lonceng bel berbunyi, sorak pekikan cempreng khas anak-anak sangat terdengar jelas.
“Lau!” teriak Jessie sambil mengangkat satu tangannya, lalu mengibaskannya ke arah Lauryn. Anak yang sedang mencari keberadaan ibunya pun, langsung menghampiri dan memeluk Jessie.
“Mamaa!” seru Lauryn senang, Jessie menguraikan pelukan di antara mereka, ia usap kepala belakang anaknya sayang, lalu ia kecup kening Lauryn sekilas.
Lauryn tersenyum hingga menampakkan deretan gigi susunya yang sudah tumbuh rata. Jessie berjalan meninggalkan sekolah dengan Lauryn yang berada di genggamannya. Perhatian itu tak luput dari sesosok pria ber jas hitam, yang memperhatikan dari balik pohon besar di taman kanak-kanak.
Sampai di depan rumahnya, Jessie melirik Lauryn yang ternyata tertidur di samping kemudi. Jessie keluar dari dalam mobil, lalu ia buka pintu mobil anaknya. Jessie menggendong Lauryn yang sudah terlelap. Ia ambil ransel kecil berwarna merah muda milik Lauryn. Lalu ia bawa ke dalam rumah.
Karena jika mau memasuki rumahnya, harus melewati etalase kue, lalu Jessie lewati pagar kecil yang muat hanya untuk tiga orang. Berbeda seperti di sekolah anaknya, justru wanita yang sedang membeli kue nya kini pada tersenyum.
Mereka kagum sekaligus haru melihat sesosok wanita seperti Jessie, yang terlihat kuat dan teguh. Bukan rahasia umum lagi jika Jessie adalah seorang single parents. Dan juga, dengan terpaksa Jessie mengatakan bahwa ayah dari Lauryn sudahlah meninggal sewaktu Lauryn masih di dalam kandungan.
Kalimat itu tidak betul-betul ber bohong bukan? Karena yang terjadi memang layaknya seperti itu. Jessie mengurus anaknya sendiri, tanpa bantuan siapa pun.
“Lita, kamu di sini aja ya. Nanti Kaka bantuin habis Rynryn tidur di kamar.” Lita mengangguk, Jessie pun membawa Lauryn ke kamar untuk menidurkannya.
Jessie menaruh Lauryn di pinggir ranjang, saat ia berbalik arah ingin pergi, tangannya di cekal dari belakang. Membuat Jessie terkejut sekilas. Lauryn membuka matanya, ia menahan nafasnya yang tercekat.
“Besok Rynryn engga mau masuk sekolah ya Ma..” ujar Lauryn terbata-bata, Jessie mendadak ingin menegur Lauryn. Namun ia segera tahan.
“Kenapa?” tanya Jessie sambil terduduk di pinggiran kasur. Lauryn pun bangun dari tidurnya. Tapi wajahnya menoleh enggan menatap Jessie.
“Rynryn, capek....” desah Lauryn masih enggan menatapnya, Jessie menjepit dagu Lauryn lembut, ia bawa wajah anaknya, untuk bertatap mata dengannya langsung.
“Istirahat sayang, mau jadi apa kamu kalo ga sekolah? Hayo..” goda Jessie ingin mencairkan suasana, namun bukannya terhibur, justru Lauryn menjawab hal yang seharusnya anak itu katakan.
“Rynryn mau buru-buru ketemu Papa. Biar bisa- Emm....” wajah Lauryn yang tadinya murung, kini terperanjang berpikir penuh semangat, seolah ada banyak hal yang perlu ia ceritakan.
“Biar bisa main sama Papa, terus di ajarin naik sepeda sama Papa. Tau ga ma? Masa temen Rynryn kemarin jatuh pas dia lagi naik sepeda. Tapi karena Papanya langsung beliin dia mainan, dia jadi engga sakit lagi! Rynryn juga mau kaya gitu!” pekik Lauryn terlonjak-lonjak.
Jessie menatap nanar anaknya, ia memaksakan senyumannya yang melengkung kaku, “Ayolaah Maa.. Samperin Papaa... Kata Mama, Papa udah di surga! Tadi Guru Rynryn bilang kalau di surga itu enaakk! Jadi mendingan Rynryn mau samperin Papa ke surga aja maa.. Yaa Maa..” rengek Lauryn begitu polos.
Jessie membuang nafasnya pasrah, “Rynryn, sekarang tidur siang ya? Nanti Mama punya hadiah buat kamu.” ujar Jessie berusaha mengalihkan topik.
“Tapi abis itu, kita ke surga kan Ma?” tanya Lauryn kembali membuat Jessie bingung menjawabnya.
“Hmm...” Jessie menarik kepala anaknya lembut, lalu ia bisikkan untaian kalimat yang berhasil membuat Lauryn terdiam.
Ketika Lauryn sudah berhasil ia buat diam, Jessie menyuruh anaknya untuk segera tertidur, Lauryn tersenyum lebar, rambutnya yang lurus ia biarkan tergerai dan berkumpul di atas pucuk kepalanya.
Jessie tidak jadi menemani Lita untuk berjualan di depan, ia lebih memilih untuk duduk di taman kecil belakang rumahnya. Jessie termenung diam di sana, ia meremas ponselnya yang menampakkan foto seorang pria sedang bersama keluarga kecilnya.
Jessie menyesal telah mengatakan suatu kebohongan pada Lauryn, anaknya. Jessie menggigit bibir bawahnya kelu. Bagaimana ia bisa menepati janjinya pada Lauryn.
“Nanti Mama bakalan bawa Lauryn ketemu Papa. Tapi Lauryn harus tidur siang dulu, oke?” itu lah kalimat yang meluncur dari bibir Jessie secara refleks.
Jessie tak mau nekat, untuk menghubungi Ayah kandung dari Lauryn. Tapi di sisi lain, ia hanya ingin Lauryn mengetahui bahwa ayahnya sesungguhnya masih lah ada. Menghirup udara di satu kota yang sama dengan mereka.
Tak memiliki jalan keluar lain, dada Jessie terasa sesak saat ibu jarinya menekan fitur menghubungi'. Ia menelfon nomor lama Troy, yang masih ia simpan di antara nomor lama orang-orang yang sudah ia hapus.
Bibir naif Jessie tersenyum hampir lega, melihat bahwa telfon itu tak kunjung di angkat juga. Jessie meneguk ludahnya kasar, ketika ia ingin mengakhiri panggilannya.
Ternyata,
Troy mengangkatnya.
Hingga munculah kalimat, 'Panggilan terhubung'
...Author point of view off....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
veronika waitaby
up lg tor
2020-07-09
0
❤ iRaa 🍌
siapa pria berjas hitam itu..
2020-07-09
4
Alya_Kalyarha
semangat nulisnya kk, udah aku like ya
kalau sempat mampir baliklah ke karyaku "love miracle" dan "berani baca" tinggalkan like dan komen ya makasih
2020-07-09
1