°°°•••
Keesokan harinya Ketika siang hari sekitar pukul satu lebih. Di dalam kelas Dimas termenung di samping sahabatnya yaitu Nanda sembari menatap jarinya yang ditekukkan. Bunyi krek itu terdengar nyaring hingga memecah keheningan di dalam kelas kami sembari menunggu dosen yang masuk.
Mukanya masam mengingat apa yang barusan terjadi mungkin, atau lagi ada masalah pribadi.
“Jangan ambil hati teman-teman memang kayak gitu orangnya. Biasalah, mereka lebih asyik dengan dirinya sendiri,” ujar Cintia sambil tertawa.
Perasaan Dimas pun berkecamuk antara kesal, malu, sekaligus merasa jengkel dengan Wiber dan teman-temanya. mengapa teman kelasnya yang diajak ngobrol justru malah benci padanya. ia dibilang macam merusak suasana aja. Dimas merupakan mahasiswa dikelas kami yang tidak pernah marah dengan siapa pun dan merupakan teman akrab kami di kampus.
Jika tidak suka, ia biasanya akan lari menjauh dari orang yang merendahkannya itu. Namun, semakin lari semakin dirinya tambah dibenci tetapi hal itu tidak disadarinya. Dimas terus merenungi dirinya.
“Saya tau kamu kasihan dengan aku. makanya aku ingin curhat supaya kamu tau aku ini seperti apa,” ucap Dimas ke Nanda.
“Aku salah apa sih sebenarnya? Padahal aku tak pernah berbuat jahat kayak maling, mencuri, memukul, menghamili anak orang. Tapi bencinya mereka samaku sampai sedalam-dalam hati.”
Kamu tahu kenapa suka dimarahi Wiber dan teman-temannya, karena aku pernah bermasalah dengan aku. Saya pun tidak bisa dibenci sedemikian rupa oleh Wiber dan teman-temannya yang goblok itu, karena mereka tau kalau saya orangnya cepat emosi dan tegas, “ucap Nanda.”
Padahal saya tak pernah ada masalah dengan mereka dan tidak ada kata-kata yang menghina dan merendahkan mereka, “ucap Dimas.”
Dimas seperti dicuci otaknya dan diprogram oleh program alam semesta untuk membenci dirinya. Nanda masih menatap dirinya dengan tatapan yang tajam dan merasa kasihan karena ulahnya. Matanya agak menyipit namun badanya berisi. Kulit putih Dimas jika memperhatikan orang selalu mencengkeram apa saja permukaan datar yang ditemui.
Ia hanya bilang teruskan tanpa membalas apa yang maksud Nanda menatapnya. Lalu Nanda mengatakan selebihnya hanya sabar saja ya Mas, memang begitu orangnya.
“Aku curiga deh, jangan-jangan kamu termasuk yang membenciku ya Nan. Kok, kamu Cuma bilang biasa saja,” ujar Dimas kepada Nanda.
“Jangan baper Mas. Kalau mau ngomong ya ngomong aja. Anggap aja aku tidak ada. memang selalu aku dianggap tidak ada.” Jawab Nanda dengan tegas karena kesal dikit dengan sahabatnya itu.
“Aku tahu kamu itu teman baik aku. Makanya, aku paksa kamu untuk mau berbagi peduli dengan aku.” Lanjut Nanda.
Dimas kemudian mengambil botol teh susu rasa matcha yang barusan dibeli dari supermarket dekat kampus tadi. Lalu dia langsung membuka tutup botol minuman itu dan mengenggaknya sebagian.
“Ngomong aja, kan tidak ada yang mendengar kecuali aku. untuk apa memaksaku ngobrol dari tadi ke sini kalau yang mengajak cuma diam lama,” ucap Dimas setengah memaksa.
Aku cuma heran ... “ucap Nanda.”
“Kenapa aku yang selalu dibenci seakan ada yang nista dari diri aku. Keluargaku bukan orang jahat kok, pembuat onar bukan, bukan juga mahasiswa bermasalah, bukan juga pelaku perkelahian, mencuri enggak pernah. Memangnya senista apa sih aku ini,” ucap Dimas dengan muka agak kesal sambil menatap Wiber.
Lalu Dimas membuka tasnya itu terus menuliskan sesuatu di Iphonenya. Nanda hanya mendengar saja sambil mengetik.
“Setiap mau berkumpul selalu saja ada marah. mau ngomong juga ada marah. Bicara santai juga ujungnya marah. Orang sampai bilang kekuatanku hanya satu, yaitu marah. Tepatnya, bikin orang marah. Padahal yang pantas dimarahi kan harusnya penjahat atau pembuat onar. Aku baru tahu, orang pendiam itu ternyata merupakan makhluk yang dibenci ya sehingga harus dinista,” Tulis Dimas.
Dimas pun selesai mengetik di layar telepon pintarnya. ia langsung menegakkan badannya. matanya menatap lurus menghadap Nanda, ia menatap dengan serius.
“Problemmu cuma satu Dimas. Kamu harus punya perhatian terhadap orang lain. sikapmu itu saja sudah cukup memberi penilaian bagi orang lain, kalau kamu itu berbeda sikapmu dengan aku,” ujar Nanda.
“Apa yang kamu lakukan kepada mereka suatu saat akan dibalas sebagaimana perlakuan kamu,” ujar Dimas seperti kesal deh.
“Aku anak baik-baik Mas, enggak pernah marah dan benci. Sebaik apa kamu sama mereka. cobalah kamu bercermin. Seperti apa kalau kamu menatap dirimu sendiri,” ujar Nanda
“Kamu pastinya bisa menanggapi apa yang kamu lakukan. selama ini kamu menilai dirimu seperti apa? mereka marah sama kamu karena ada yang salah dengan dirimu,” ujar Dimas.
“Kenapa kamu diam saja dengan orang lain? Padahal kan teman-temanmu yang lain masih banyak kok seperti bang Kardy, Cintia, Cika, Santi, Rehan.,” ujar Nanda.
Dimas mendengar dengan lemah lembut dari Nanda.
“Satu lagi, kamu tidak pernah ngumpul. cobalah kumpul sama anak-anak yang paling dekat dengan dirimu. Tidak perlulah yang populer, yang cantik, yang ganteng, ataupun yang kaya. Kalau yang jadi temanmu peduli sama kamu. tidak ada salahnya bersahabat. ajak juga main ke rumahmu kapan-kapan. Suguhi hidangan atau kasi permainan. Kesenangan mereka adalah harga yang diberikan karena kepedulianmu,” lanjut Nanda.
Dimas mengangguk dan tak bicara sama sekali. Sambil menunjuk dada Dimas. Selain itu juga, jangan mudah terpengaruh orang lain sehingga kamu membandingkan dirimu dengan mereka. Sekayanya mereka pasti juga karena minjam punya orang tua. Padahal aslinya miskin.
Dimas mengetuk jarinya lagi. Bunyi nyaring terdengar jelas.
“Ada juga yang populer dan punya banyak teman. Padahal, dia itu aslinya cari perhatian saja. Tapi lama-lama juga sengsara. Ya ... karena harus memenuhi permintaan mereka,” ujar Nanda.
Dimas mulai tertarik dengan diskusi ini. Matanya berbinar dengan penjelasan teman sebangkunya itu yang umurnya lebih muda 2 tahun dari dirinya. Kemudian saya mulai mendekat sama mereka dan mencoba berdiskusi karna bosan dari tadi terus mendengar.
“Benci orang-orang terhadapmu itu sebenarnya karena prihatin. apa bisa orang yang pasif dan kurang peka dengan dirinya bisa menjamin hidupnya sendiri. Mereka benci bukan karena dirimu secara fisik tapi perlakuanmu. Aku tidak mungkin mengguruimu. Tapi, kasihan saja melihatmu merana terus begini, padahal kamu punya sahabat yang orangnya kaya dan terkenal, seperti Cintia, Rehan, Nanda dan yang lain teman akrab ku juga,” ujarku.
“Aku senang ada yang mau peduli denganku. aku sering tanyakan ini. kenapa aku dimarahi malah tidak ada yang jawab. Di jawab cuma disuruh sabar,” ucap Dimas.
“Itu karena kamu harus merenungi dirimu. Apa yang salah dengan dirimu dan apa saja kesalahan dan kekuranganmu semua harus diperbaiki. Memang, orang sering dikasih tahu kalau marah pasti karena perbuatan tercela seperti kejahatan. Padahal, lingkungan sosial itu sangat luas dan tidak bisa kalau baik itu hanya sekedar diam. Makanya juga, kita seringkali di doktrin oleh sistem pendidikan yang salah. Seringkali hanya mengajarkan teori-teori tanpa melihat keluar lingkungan sekitar,” ujarku sembari menasehati Dimas.
Dimas melebarkan senyumnya.
“Kita tidak tahu bagaimana caranya bergaul dengan tukang es cendol, dengan guru, dengan orang tua mahasiswa, dengan polisi, dengan pengangguran, bahkan dengan gelandangan. Itu semua tidak bisa kalau hanya berdiam diri tidak berbuat apa-apa. Terus ada yang bilang marah itu tidak baik. aku sangat setuju karena bisa merusak psikis dan mental, tetapi itu kan hanya untuk marah berlebihan.” Nasehat Nanda kepada Dimas.
Dimas langsung berkomentar, “Betul Nan dan bang Kardy, marah itu karena tidak suka melihat aku diam ya.”
“Makanya Mas, menjadikan dirimu baik akan menjadi dipandang baik oleh orang lain. Satu lagi, perbaiki dirimu ya.” ujarku.
Dimas mengacungkan jempolnya sambil berlalu. Lalu Dimas mencatat sebuah pesan di layar ponselnya yang menjadi nasihat saya dan Nanda tadi.
Setelah beberapa hari kemudian......
•••°°°
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments