°°°•••
Keesokan harinya, pagi ini mentari bersinar cukup terang. Awan-awan kecil menghiasi langit, membuat suasana menjadi semakin indah. Ketika sedang duduk di depan perpustakaan kampus, saya melihat Rehan sedang berjalan mengitari lapangan sepak bola terlihat begitu sangat murung hari ini.
Dia melayangkan pandangannya ke langit, dan sepertinya ia sedang berdoa dalam hati. Saya melihat sepertinya di dalam hatinya ada perasaan kesal, marah dan kecewa yang membuatnya begitu tak bersemangat saat ini.
Rehan mencoba mendekatiku, ia menceritakan apa yang membuat hatinya hari ini sangat kesal.
“Lagi apa bang?”
“Lagi santai aja sih.”
“Kenapa Re, kok kelihatan wajah lo murung sih.”
“Tuhan, ini tidak adil. Bagaimana aku bisa mengikuti pertandingan sepak bola itu? Sementara sepatuku aja sudah rusak begini.” Keluh Rehan sambil melihat sepatunya yang rusak.
Ia pun berjalan pelan menuju rumahnya, yang hampir tak terlihat jelas karena tertutup pepohonan.
Rehan adalah seorang anak tunggal dari orang tuanya yang berasal dari keluarga yang kaya dulu tapi usaha orang tuanya bangkrut. Ia adalah anak yang baik, dan juga rajin membantu orang tuanya setelah ia pulang dari kampus.
Namun hari ini, Rehan tampak sangat bersemangat, sehingga ia pulang lebih awal dari rumah orang tuanya.
Sementara di rumah orang tua Rehan merasa khawatir, karena tak biasanya ia pulang selarut ini. Sesil Ibu dari Rehan melihat jam telah menunjukkan pukul 19.30 WIB.
“Pak, kenapa Rehan belum pulang juga ya?” ucap Ibu Sesil, sambil mondar mandir, merasa cemas dan khawatir.
“Entah lah, tak biasanya dia pulang selarut ini. Pasti dia bermain dengan temannya hingga lupa waktu!” balas Pak Yumin ayah Rehan.
“Bapak ini, anak belum pulang bukannya khawatir malah nuduh yang aneh-aneh deh, bapak kan tau sendiri kalau Rehan itu satu-satunya anak kita pak.”
“Iya bu, bapak paham kalau Rehan itu anak kita satu-satunya.”
Tak lama setelah itu, Rehan pun datang.
Tok ... tok ... tok ...”
Rehan datang sambil mengetuk pintu. Ibu Rehan bergegas membuka pintu.
“Kamu dari mana nak?” sambut Ibu Sesil sambil memegang wajah Rehan. “Ibu sangat khawatir padamu, apa kamu baik-baik saja?” lanjutnya lagi.
“Aku baik-baik saja bu,” jawab Rehan.
“Lalu apa yang terjadi denganmu sehingga pulang selarut ini? Dan mengapa mukamu murung begini sayang?” tanya Ibu Sesil.
“Begini bu, Tim kami terpilih untuk ikut pertandingan sepak bola tingkat Fakultas.”
“Lo, harusnya kamu kan senang nak bukan malah sedih begini,” jawab Ibu Sesil.
“Iya bu, aku memang senang. Tapi ...”
“Tapi apa nak?” tanya Ibu Sesil dengan antusias.
"Ibu kan tau, kalau Rehan itu tidak ada perlengkapan untuk mengikuti pertandingan itu seperti sepatu bola, baju seragam nanti bu dan lain-lainya.”
"Iya nak, kamu tuh sabar sayang y.”
"Iya bu, truss bapak dimana bu?"
"Bapak lagi diluar kota, sedang mengurus bisnis kita sekarang yang hampir bangkrut.”
"Iya y bu.”
Sementara Rehan adalah anak yang baik, ia tidak ingin menyakiti hati orang tuanya. Ia tau bahwa saat itu, keadaan ekonomi keluarganya sedang sulit, sehingga ia tidak berani meminta uang kepada orang tuanya.
Keesokan harinya, Rehan pun pergi ke kampus dengan membawa beberapa helai pakaian serta buku-bukunya. Ia pun berpamitan seperti biasanya kepada ibunya.
"Permisi bu y.” Sambil mencium tangan ibunya.
"Kok tas kamu kelihatanya hari ini besar sekali y Re? mau kemana?”
"Gak kemana mana kok bu, cuma ini hanya pakaian ganti aja nanti.”
"Ohh ... yaudah hati-hati dijalan y.”
"Iya bu.”
Namun, ia bingung harus kemana.
Ia pun terus berjalan dan melangkahkan kakinya tanpa tujuan yang pasti. sementara Rehan duduk di taman, Nanda dan Dimas memperhatikannya dari kejauhan.
Nanda dan Dimas adalah teman kampus kami. Mereka putus kuliah karena tidak ada biaya dari orang tuanya.
“Eh bro, lo liat deh tu. Kayak tampangnya si Rehan deh.” Ucap Nanda ke Dimas.
“Iya, kayak tampang si anak alim itu. Kita samperin yuk, kayak kusut banget mukanya.”
Mereka pun menghampiri Rehan yang sedang melamun, di tepi taman itu.
“Eh, Rehan. Ngapain lo di sini? Bete banget deh itu muka.” Sapa Dimas.
“Iya, lo kenapa, Tumben muka lu kusut banget,” ucap Nanda.
“Jangan bercanda bah, lagi males ni,” balas Rehan.
“Cerita aja lah, kita kan temen baik lo. Ya meski lo nggak separah gua, sambil menengok botol minuman,” pinta Nanda.
Rehan pun menceritakan masalahnya pada Nanda dan Dimas.
“Oh, begitu masalahnya bro, maaf y, kamu kan tau posisi kami sekarang seperti apa? Yah kalau misalkan ada jalan keluar sih pasti kami bantu,” jawab Dimas.
“Sorry bro y, hidup kami aja susah untuk makan apalagi yang lain,” jawab Nanda.
“Mending lo ikut kami aj,” jawab Dimas.
“Iy bro,” jawab Nanda.
“Ok ... lah.” jawab Rehan.
Orang tuanya pun merasa sangat khawatir tentang keadaan Rehan. Mereka pergi ke sekolah untuk bertanya pada teman-teman Rehan, namun tak ada satu pun yang tahu di mana keberadaan Rehan karena Rehan sudah seharian tak pulang ke rumah.
Sambil membawa foto Rehan, Pak Yumin dan Ibu Sesil terus bertanya pada setiap orang yang ditemuinya.
Suatu hari, ketika bangun dari tidurnya Rehan merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya. Perutnya terasa keram dan ia tidak dapat bangun. Ia mencoba untuk berdiri dan akhirnya terjatuh. kepalanya terasa sangat sakit dan ia pun memuntahkan darah dari mulutnya.
Nanda dan Dimas kemudian membawa Rehan ke puskesmas dekat tempat mereka tinggal. Dokter mencoba memeriksanya dan dugaan, Rehan mengalami masalah detak jantung. karena tidak cukup biaya untuk membayar pengobatan, mereka kemudian meninggalkan puskesmas.
Rehan merenung sendirian di sebuah taman sementara Nanda dan Dimas telah pergi meninggalkan Rehan begitu saja. Tiba-tiba, Rehan mau balik ke rumah, eh malah bertemu dengan Saya yang lagi jalan sama pacarku Cindi di taman itu pula.
“Ehh, kemana bro?”
“Pulang kerumah bro.”
“Kamu kemana aja selama ini, orang tua lo mencari mu dimana mana lo bro.”
“Biarin aj lah.”
“Kok biarin aja bro.”
“Iya.”
“Ada apa sebenarnya Re? coba ceritakan masalahmu itu,” bujuk Saya.
Rehan kemudian menceritakan masalahnya kepada Saya.
“Ohh begitu y masalah lo. Astaga bro, jangan dipaksakan lah, mungkin ada waktunya tuh nanti. kamu sabar aja y Re.”
“Iya lo Re, kasihan dong orang tua lo,” ujar Cindi.
"Iya bang.”
Kami kemudian meninggalkan taman. Sambil menemani Rehan kembali ke rumah.
Tok, tok, tok “permisi.” Sapa Rehan.
Ketika Ibu Sesil membuka pintu ia pun sangat kaget “Rehan, Anakku, kamu akhirnya kembali.” Sambil menangis terharu.
“Pak, Rehan pulang Pak.”
“Akhirnya anak kita kembali bu. Maafkan bapak karna bapak tidak menuruti permintaanmu.” Ujar Pak Yumin.
“Tidak pak, akulah yang terlalu egois mementingkan kepentingan sendiri, padahal bapak lagi dalam masalah bisnis, maafkan saya pak y.”
Setelah sampai malam di rumah Rehan, kami disuguhi makanan dari keluarganya. Saya dan Cindi kemudian pulang setelah jam menunjukkan jam setengah sepuluh malam. Pulangnya Rehan membuat hidup mereka kembali normal seperti semula, keluarga mereka dipulihkan secara perlahan.
Pada suatu hari, Rehan memutuskan untuk menemui Nanda dan Dimas. akan tetapi, kedua temannya itu menolak untuk bertemu dengannya karna merasa malu untuk datang bertemu Rehan. Akhirnya Rehan pun balik lagi di rumah.
Pada suatu hari, Rehan menceritakan keadaan temanya yang sudah putus kuliah karna biaya ekonomi keluarganya yang tak cukup. Ibu Sesil dan Pak Yumin kemudian memutuskan untuk meminta Nanda dan Dimas tinggal bersama mereka. lalu mereka ijin ke rumah orang tuanya Nanda dan Dimas.
Tanpa penolakan, orang tua Nanda dan Dimas kemudian merelakan anak mereka di asuh oleh orang tua Rehan sebab mereka tidak mampu untuk membiayai anak mereka. Dengan pengasuhan Ibu Sesil dan Pak Yumin, Nanda dan Dimas kemudian dapat melanjutkan kuliahnya dan mulai belajar dengan sungguh-sungguh.
Akhirnya.........
•••°°°
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments