Angkasa memakai bantal yang tinggi, gara-gara kejadian tadi dirinya hampir saja pingsan. Kepala belakangnya terasa sekali berdenyut nyeri. Akh, untung saja Arthur langsung menolongnya dan membawanya ke kamar.
Angkasa bangun dari tidurnya, mengambil wine yang ada di dalam nakas. Ia meneguknya beberapa gelas. Memang yang paling ampuh untuk menghilangkan stress nya hanya sebotol wine. Wine memanglah teman terbaik dalam segala keadaan.
Sophia membuka pintu kamar Angkasa sambil membawa nampan berisi satu gelas air dan satu set obat. Dirinya tidak tahu itu jenis obat apa, dirinya hanya diperintahkan Agatha untuk memberikannya pada Angkasa.
Angkasa buru-buru memasukkan wine ke kolong ranjang kemudian berpura-pura sedang tertidur.
"Tuan Muda, kamu harus meminum obat!" ucap Sophia melangkah dengan hati-hati.
"Kenapa kau yang membawakan obat untukku? Di mana Agatha dan Arthur?" tanya Angkasa memijat keningnya.
"Agatha sedang memasak untuk nona Abigail dan Arthur sedang membereskan kamar nona Abigail juga. Jadi Agatha memintaku untuk memberikan ini padamu, Tuan."
"Ah, baiklah. Ke mari!" Angkasa menggeser dirinya untuk memberi Sophia ruang.
Sophia mengendus-endus area di sekitarnya, seperti bau wine. Ia mendekati Angkasa untuk lebih yakin.
"Oho, Tuan pasti habis minum wine, kan? Aku mendengar wine tidak baik untuk seseorang yang sedang sakit. Kamu tidak boleh meminumnya sebelum sembuh. Sekarang di mana Tuan meletakkan botol wine tersebut?" Sophia celingukan ke kanan dan kiri mencari botol wine agar dirinya bisa membawa itu jauh dari tuannya.
"Gila. Aku tidak meminum wine," sangkal Angkasa menyeringai.
"Tapi aroma mu seperti minuman wine. Aku masih ingat kok aroma ini," keukeuh Sophia.
"Jangan ngarang. A-aku tidak minum wine. Aku hanya makan buah anggur. Tidak semua anggur itu wine," kilah Angkasa bicaranya gelagapan.
"Berapa gelas?"
"Hanya empat gelas," jawab Angkasa refleks.
"Sial," umpatnya ketika sadar. Sophia tersenyum lebar seperti badut.
Tuk
Sophia menyentil kening tuannya tanpa asa-asa. "Berbohong itu dosa, Tuan."
"Ck, aku hanya berbohong sekali saja. Tuhan pasti akan memaafkan aku," decak Angkasa mengelus-elus keningnya.
Angkasa memukul-mukul pundaknya yang terasa berat. Umur boleh muda, tapi tubuh kadang kala ringsek seperti orangtua. Ya, namanya juga kerja banting tulang, tak heran jika dirinya akan mengalami hal seperti ini.
"Andai aku punya istri mungkin dia akan memijat ku setiap malam," celoteh Angkasa membuang muka dari Sophia.
"Untuk apa istri? Ada aku yang siap melayani mu, Tuan." Sophia meletakkan kembali obat yang hendak diberikannya kepada Angkasa.
"Apa kau bisa memijat?" tanya Angkasa memicingkan ujung matanya, menatap selidik Sophia. dari wajahnya sih tidak terpancar Sophia pandai memijat, tapi kita tidak bisa menilai seseorang hanya dari penampilannya saja, kan.
Angkasa memajukan dirinya agar ada ruang di belakangnya untuk Sophia tempati. Tanpa diminta, Sophia langsung beranjak naik ranjang dan menekuk kedua lututnya di belakang Angkasa.
Sophia meletakkan dua tangannya di pundak Angkasa, ia memijatnya dengan gerakan yang teratur.
Angkasa bahkan sampai memejamkan matanya menikmati pijatan Sophia.
"Oho, bahumu benar-benar kaku, Tuan. Aku jadi penasaran dengan yang di bawah,-"
"Di bawah apa maksud mu?" sergah Angkasa spontan meletakkan dua tangannya di bagian tengah dirinya. Ia mengintip sedikit bagian tengah miliknya, barangkali itu berdiri dan Sophia melihatnya. namun itu tidak terjadi sama sekali.
"Maksud ku, kakimu, Tuan. Kaki mu juga pasti merasa pegal. Apa kau mau aku memijatnya untukmu?"
"Ya, jika kau memaksa ingin memijat ku, silakan saja. Pijatan mu lumayan juga."
Napas Angkasa tersendat ketika Sophia mendorong sebelah punggungnya ke depan, dan yang satunya ditarik ke belakang sehingga tulang-tulangnya terdengar renyah sekali.
Mulanya Angkasa takut tulang-tulangnya patah, namun yang ia rasakan saat ini tubuhnya menjadi ringan dan tidak pegal-pegal lagi. Tangannya menjadi mudah untuk digerakkan. Uh, untuk pijatannya Sophia patut diacungi jempol.
"Bagaimana, Tuan?" tanya Sophia melangkah dengan kaki yang menekuk ke depan Angkasa dengan niat hendak memijat kakinya.
"Lumayan," jawab Angkasa menyimpan dua tangannya di belakang kepalanya, kemudian ia sandarkan ke sandaran ranjang. Ia kembali memejamkan matanya ketika Sophia sudah mulai memijit kakinya.
Angkasa menyeringai. Tau Sophia pandai memijat, mungkin dirinya akan mengangkat Sophia menjadi tukang pijat pribadinya ketimbang dijadikan tukang kebun. Bakat sebagus ini sia-sia saja jika tidak dipakai, kan? Menyesal ia tidak meminta Sophia memijatnya sejak dulu.
"Apa dahulu ibumu juga tukang pijat?" tanya Angkasa membuka matanya.
"Bukan. Tapi aku sering melihat ibu memijat ayah. Ibu bahkan sering menginjak punggung ayah. Kata ayah itu terasa enak dan meringankan punggungnya yang terasa berat. Apa kamu mau mencobanya?" tawar Sophia dengan tangan yang terus memijat kaki Angkasa.
Angkasa mengangguk. "Tidak ada salahnya mencoba," gumamnya. Toh, tubuh Sophia juga kecil.
Lantas Angkasa tidur dengan tengkurap, meletakkan tangannya di bagian dada, dan di bawahnya lagi pun ia menggunakan bantal sebagai penahan.
"Izin, ya, Tuan!" Sophia tidak menginjakkan kakinya ke punggung Angkasa sebelum Angkasa mengizinkannya lagi.
"Ya, silakan saja!"
Sophia pun menginjakkan kakinya ke punggung Angkasa, ia naik dan turun berjalan di punggung Angkasa.
"Apa aku berat, Tuan?"
"Tidak sama sekali. Aku seperti diinjak oleh seekor semut," ucap Angkasa menenggelamkan wajahnya ke bantal.
Hanya berselang beberapa menit, Sophia pun turun dari punggung Angkasa. Ia lantas duduk lagi di bawah kaki Angkasa untuk melanjutkan pijatan di kakinya.
Sophia memijat kaki Angkasa sambil melihat-lihat interior kamar Angkasa. Tak bosan matanya melihat seisi kamar tuannya yang mewah. Meski bukan menjadi pemiliknya, tapi dirinya tetap bersyukur karena Tuhan mengizinkan dirinya masuk ke tempat mewah seperti ini meski hanya jadi pelayan.
Yeah, hatinya tidak berhenti berharap sih kalau suatu hari nanti dirinya juga akan tidur di kamar semewah ini. Keajaiban, kan datang tanpa diduga.
Sophia membulatkan matanya sempurna tatkala sesuatu yang mengganjal tak sengaja dirinya pegang. Ia melihat ke bawah tangannya, dan ternyata ia memijat tepat di paha atas Angkasa.
Sophia terus melihat tangannya yang masih memegang benda tersebut dan berkali-kali menatap mata tuannya. Jika benda sebesar ini terselip di paha atas, mustahil itu pensil. Dan lagi tuannya hanya memakai celana short. Itu pasti benda pusaka milik tuannya.
Yang membuatnya semakin yakin itu karena benda yang kini digenggamnya mengeras secara tiba-tiba.
"Run!" teriak Sophia hendak kabur namun Angkasa menarik tangannya sehingga membuat Sophia terjatuh di kasur.
"Sial, kau tidak bisa kabur begitu saja," ucap Angkasa akhirnya melepaskan cengkraman tangannya.
"Aku bukan predator jadi kau tidak perlu setakut itu setelah membangunkan senjataku. Aku bisa menahannya," ucap Angkasa meyakinkan. Ia membasahi bibirnya, meneguk salivanya berkali-kali hingga membuat jakunnya naik turun.
Yah, semua orang pun tahu dengan kondisi dirinya saat ini.
"A-aku minta maaf, Tuan!" lirih Sophia gemetar takut tuannya akan melakukan sesuatu hal yang diluar kendalinya.
"Tidak masalah, itu sudah terjadi. Lupakan saja!"
"Sekarang berikan aku obat yang kau bawa tadi!" pinta Angkasa sambil menyelimuti dirinya.
Sophia turun dari ranjangnya untuk mengambil obat yang Angkasa minta. Gerakannya sedikit terburu-buru karena dirinya takut.
Sophia memberikan obat tersebut bersamaan dengan airnya.
"Bacakan untukku apa yang tertulis di resepnya!" pinta Angkasa menahan dirinya untuk meminum obat tersebut sebelum tahu semua detail tentang obatnya.
"Tapi aku tidak bisa membaca, Tuan."
"APA?"
^^^Follow Ig : maeeee331^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments